Bibit Intoleransi
Dalam Aturan Pendirian Rumah Ibadah Opini Tempo : Redaksi Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 10
September 2023
PEMERINTAHAN Presiden Joko
Widodo terus mempersulit pendirian rumah ibadah. Bukannya mencabut
peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006 yang
restriktif, Jokowi kini akan menandatangani Rancangan Peraturan Presiden
tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama yang substansinya juga
kebablasan. Jika draf itu lolos, kaum minoritas bisa jadi bakal lebih sulit
memiliki rumah ibadah. Draf tersebut, misalnya,
masih mempertahankan syarat 90/60 yang tidak jelas asal-muasalnya. Dibutuhkan
90 tanda tangan pemeluk agama di satu kelurahan yang ingin mendirikan rumah
ibadah serta 60 penduduk di kelurahan yang sama untuk meneken surat
persetujuan. Syarat itu kerap menjegal proposal pendirian tempat sembahyang.
Padahal hidup beragama, juga memiliki rumah ibadah, adalah hak setiap
individu. Negara seharusnya memfasilitasi, bukan malah menihilkan hak
tersebut. Aturan pada draf juga tak
mengeliminasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Bahkan FKUB—yang salah
satu tugasnya merekomendasikan pendirian rumah ibadah—dibentuk pula di
tingkat pusat. Hasil studi Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Wakaf
Paramadina pada 2020 menunjukkan kegiatan FKUB sering bersifat seremonial dan
tak efektif memberikan rekomendasi. Dalam praktiknya, lembaga itu justru
kerap ikut-ikutan menolak pendirian rumah ibadah. Setelah 17 tahun berlaku,
peraturan bersama dua menteri tak terbukti mampu memperjuangkan hak minoritas
untuk beribadah. Hingga kini, misalnya, di Kota Cilegon, Banten, tak ada satu
pun gereja, wihara, ataupun pura berdiri. Sementara itu, berdasarkan catatan
Kementerian Agama pada 2019, ada 382 masjid dan 287 musala di sana. Lebih
dari 8.000 pemeluk Kristen di Cilegon yang ingin beribadah harus melaju ke
daerah lain yang memiliki gereja. Di wilayah seperti
Cilegon, bibit intoleransi tumbuh subur. Pada 2022, Setara Institute
menobatkan Cilegon sebagai kota paling intoleran se-Indonesia. Namun
intoleransi justru menjadi dagangan politik para pejabat. Ketika masyarakat
menolak pendirian Gereja HKBP Maranatha pada tahun lalu, kepala daerah
hingga anggota dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Cilegon ikut
meneken petisi penolakan. FKUB pun mengeluarkan rekomendasi agar tak ada
gereja di daerah ini. Para pejabat yang menghalangi pendirian rumah ibadah
itu tak mendapat sanksi apa pun. Dengan berbagai kelemahannya,
draf aturan kerukunan beragama yang kini berada di meja Presiden Jokowi akan
terus membuka ruang persekusi oleh kelompok mayoritas. Untuk meluruskan
konteks, kelompok mayoritas di beberapa daerah beragama nonmuslim. Mimpi
lebih buruk bisa dialami para penghayat kepercayaan yang tak termaktub di
dalam aturan itu. Setiap saat mereka bisa saja terusir karena beribadah di
sanggar yang tak masuk kategori rumah ibadah. Aturan anyar yang akan
diteken Presiden Jokowi tak bisa memberikan rasa aman untuk beribadah bagi
para pemeluk kepercayaan. Daripada menambah persoalan baru, Jokowi lebih baik
mencabut pangkal persoalan pendirian rumah ibadah, yakni peraturan bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006. Hampir dua periode penuh
berkuasa, Jokowi terus membiarkan aturan itu berlaku. Jika ia punya nyali
mencabut aturan tersebut, sebenarnya, ia bisa meninggalkan warisan yang nyata
untuk kehidupan beragama di negeri ini. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/169688/pendirian-rumah-ibadah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar