Kunci Keberhasilan Implementasi Kebijakan
Publik Yanuar Nugroho : Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Jakarta; Pendiri Nalar Institute; Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI
2015-2019 |
MAJALAH TEMPO, 4
September 2023
DALAM pidato kenegaraan 16
Agustus 2023, Presiden Joko Widodo kembali menegaskan visi Indonesia menjadi
pemimpin dunia pada 2045. Untuk mencapainya, menurut kami, tak ada cara
selain mengakselerasi pembangunan untuk mengejar pertumbuhan sembari
memperkuat keberlanjutan sosio-ekologi, inklusi, dan keadilan. Kunci
akselerasi pembangunan adalah implementasi kebijakan publik. Sejarah pembangunan
menunjukkan kebijakan “baik” tak serta-merta sukses implementasinya. Kebijakan
bisa gagal dan ada dampak tak termaksud (unintended consequences). Tapi
unintended consequences ini berbeda dengan kegagalan kebijakan (policy
failure). Misalnya kebijakan
penyempurnaan kurikulum pendidikan dasar. Kebijakan ini bisa punya dampak tak
termaksud seperti defisit guru karena sedikitnya guru dengan kompetensi yang
dibutuhkan kurikulum tersebut. Namun, ketika jumlah guru mencukupi, kebijakan
penyempurnaan kurikulum juga bisa gagal jika pola belajar siswa dan dukungan
orang tua tidak berubah. Contoh lain adalah
kebijakan bantuan modal kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah untuk
meningkatkan skala ekonomi mereka. Saat skema bantuan berakhir, mereka tak
mampu meningkatkan skala bisnis sehingga menggantungkan keberlanjutan usaha
pada bantuan permodalan. Banyak contoh lain, dari mangkraknya proyek
infrastruktur hingga mandeknya revolusi mental. Tentu ada banyak faktor
yang menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan, bukan semata
hal teknis implementasi. Para pembuat kebijakan acap mengabaikan faktor
penting kegagalan kebijakan, yakni perilaku manusia—mereka yang terkena
dampak ataupun birokrat yang menjalankannya. Karena itu, ada banyak
pemikiran tentang pentingnya ilmu perilaku (behavioural science) dalam
pembuatan kebijakan. Sebab, perilaku berkait erat dengan mental dan mindset
yang penting dan terkait dalam pembuatan kebijakan dan pelaksanaan serta
dampaknya. Integrasi ilmu perilaku dalam kebijakan pada dasarnya
memperhitungkan aspek dan pendekatan psikologis dalam siklus kebijakan karena
terkait dengan perilaku masyarakat dan para pembuat kebijakan. Integrasi ilmu perilaku
dalam kebijakan menjadi disiplin ilmu terapan praktis dalam ranah kebijakan
publik, yaitu behavioural policy (Oliver, 2023). Ilmu perilaku membantu memahami
tindakan atau perilaku manusia, alasan membuat pilihan dan keputusan, pilihan
tindakan, serta dampaknya. Karena itu, behavioural policy bisa menciptakan
perubahan sistemik dengan membantu para praktisi dan pembuat kebijakan
membuat regulasi yang tepat guna berdasarkan pemahaman perilaku manusia
(Banerjee & Mitra, 2023). Salah satu acuan utama
studi perilaku adalah percobaan “classical conditioning” Ivan Pavlov (1927)
yang menyatakan bahwa stimulus yang dikondisikan menggantikan stimulus alami
akan menghasilkan respons yang diinginkan dan dikondisikan. Dengan eksperimen
menggunakan bel, anjing, dan daging, Pavlov menunjukkan apa yang disebut
dengan pengkondisian perilaku. Daging disebut perangsang asli (unconditioned
stimulus) dan bel perangsang netral (neutral stimulus). Keduanya—kombinasi
daging dan bel—menjadi stimulus bersyarat (conditioned stimulus) yang
diberikan berulang sehingga memunculkan reaksi (conditioned responses), yaitu
munculnya air liur meskipun anjing itu hanya mendengar bunyi bel. Situasi yang sama
sebenarnya berlaku bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kebijakan,
dengan mengacu pada Pavlov, masyarakat dapat dikondisikan dengan cara
mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan
pengulangan respons yang diinginkan sehingga mengubah perilaku mereka. Ini
bisa diterapkan pada sektor atau bidang yang terkait dengan manusia, yaitu
kesejahteraan sosial. Kebijakan kesejahteraan
sosial bisa disusun dengan pendekatan ilmu perilaku secara sederhana.
Misalnya mengganti kata “bantuan” dengan “tanggung jawab”. Sebab, kata
“bantuan” cenderung dekat dengan makna “pertolongan”, sementara “tanggung
jawab” lebih dekat dengan arti wajib menanggung. Ini lebih sesuai dengan
tujuan: negara wajib menanggung kondisi sosial masyarakat. Hal ini berdampak
bukan hanya pada persepsi masyarakat dan perubahan perilaku mereka, tapi juga
perubahan perilaku pembuat kebijakan itu sendiri. Di sini penilaian dan
interpretasi makna (hermeneutika) menjadi penting untuk merefleksikan apa yang
mendorong munculnya perilaku yang diharapkan—baik masyarakat maupun
pemerintah (Sungkar, 2021). Penekanan pada kata “tanggung jawab” dalam
program sosial membuat pembuat kebijakan dan pejabat negara menyadari serta
berperilaku secara sadar bahwa kewajiban negara adalah menyejahterakan
masyarakat, bukan menyeleweng apalagi korup. Penekanan pada kata itu juga
mengikis persepsi dan rasa tidak berdaya sehingga masyarakat tidak melulu
bergantung pada program “bantuan sosial”.
Penerapan ilmu perilaku
dalam pembuatan kebijakan pemerintah dapat membantu mengelola persepsi dan
perilaku publik serta birokrasi demi berhasilnya sebuah kebijakan. Persepsi
publik dan birokrasi mempengaruhi keberlanjutan kebijakan, sementara
kebijakan mempengaruhi persepsi publik dan birokrasi—begitu seterusnya. Efek
umpan balik ini, pada akhirnya, akan mengubah sikap dan perilaku seluruh
masyarakat. Karena itu, ke depan,
setidaknya ada dua alasan behavioural policy menjadi penting. Pertama,
kebijakan publik adalah bentuk intervensi pembuat kebijakan dalam
menyelesaikan masalah-masalah publik di berbagai aspek kehidupan. Di
dalamnya, pemahaman akan perilaku publik menentukan keberhasilan atau
kegagalan kebijakan. Kedua, behavioural policy berbasis data dan bukti.
Intervensi dan eksperimen tentang perilaku yang digunakan memungkinkan untuk
menguji dan memvalidasi kebijakan agar tepat dan sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai. Bagaimana mendorong dan
memprioritaskan behavioural policy? Belajar dari pengalaman beberapa negara,
ada unit khusus yang memastikan pelaksanaannya. Di Inggris, ada
Behavioural Insights Team (BIT) yang dibentuk pada 2014 untuk
mengimplementasikan ilmu perilaku dalam pembuatan dan pengembangan strategi
serta kebijakan. Unit ini mengambil pendekatan empiris, menggunakan uji coba
dan eksperimen di tingkat lokal untuk menguji gagasan kebijakan lewat
perilaku. Intervensi yang dilakukan
antara lain kerja sama dengan Kantor Pajak dan Cukai (Revenue and Customs)
yang berhasil membangun sistem pajak dan kepatuhan membayar pajak dengan
mempertimbangkan pendekatan perilaku, termasuk dengan mengirimkan surat
kepada mereka yang belum membayar pajak tepat waktu dan mengingatkan mereka
agar membayarnya. Selain itu, BIT bekerja sama dengan National Health Service
untuk merombak layanan kesehatan melalui penggunaan teknologi. Ilmu perilaku terbukti
membantu menciptakan sistem perawatan kesehatan yang lebih efisien, efektif,
dan berpusat pada kebutuhan pasien dengan menggunakan teknologi kesehatan
digital untuk memperbaiki layanan kesehatan dan memudahkan akses masyarakat
(BIT, 2023). Singapura menerapkan
behavioural policy di semua lini pemerintahan. Pemerintah bermitra dengan
akademikus—misalnya di Lee Kuan Yew School of Public Policy dan Singapore
Management University—mengintegrasikan pemikiran desain (design thinking) dan
ilmu perilaku dalam kebijakan publik. Pada 2013, Kementerian Ketenagakerjaan
serta Kementerian Komunikasi dan Informatika mulai mengeksplorasi behavioural
insights sebagai bagian dari upaya mengembangkan komunikasi berbasis data
(Afif, et al, 2018). Di Kanada, pemerintah
Ontario mendirikan Behavioural Insights Unit pada 2015 dan meluncurkan Centre
of Excellence for Evidence-Based Decision Making untuk menggunakan ilmu
perilaku dalam meningkatkan layanan dan kinerja pemerintah, merancang dan
menguji intervensi yang hemat biaya, dan memberikan hasil terbaik (UNEP,
2017). Meskipun sudah berjalan
dan terbukti berhasil di banyak negara dan bidang, behavioural policy masih
belum dipandang sebagai sesuatu yang penting dan menjadi prioritas di
Indonesia. Padahal, untuk mengejar capaian visi Indonesia 2045, dan menerobos
berbagai kebuntuan pelaksanaan kebijakan, sudah saatnya kita juga
menerapkannya. Untuk itu, di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
atau Sekretariat Negara perlu dibentuk unit dan tim khusus untuk mengkaji
pendekatan ilmu perilaku dalam pembuatan kebijakan pembangunan dan
mengevaluasinya. Visi Indonesia 2045 bukan
hanya soal pencapaian agenda teknokratis dan politis, tapi juga soal
perubahan perilaku warga negara sebagai bagian dari pembangunan keadaban dan
kebangsaan. Ilmu perilaku bisa menjadi penopang untuk mencapainya. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/kolom/169602/ilmu-perilaku-kebijakan-publik |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar