Saatnya Merevisi UU
Peradilan Militer Opini Tempo : Redaksi Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 4
September 2023
TIGA tentara tersangka
pelaku penculikan dan pembunuhan pemuda asal Bireuen, Aceh, Imam Masykur,
harus diadili di pengadilan umum. Meski berstatus anggota Tentara Nasional
Indonesia, mereka disangka melakukan kejahatan yang merupakan pidana umum—dan
tidak semestinya diajukan ke pengadilan militer. Ketiga tersangka itu
adalah anggota Pasukan Pengamanan Presiden, Prajurit Kepala Riswandi Manik;
anggota Direktorat Topografi TNI Angkatan Darat, Prajurit Kepala Hery Sandi;
serta anggota Komando Daerah Militer Iskandar Muda, Prajurit Kepala Jasmowir.
Mereka disangka menculik Imam Masykur yang sedang menjaga toko kosmetik di
Jalan Sandratex, Tangerang Selatan, Banten, pada Sabtu sore, 12 Agustus lalu. Ketiga tersangka meminta
keluarga Imam Masykur memberi tebusan Rp 50 juta. Jika permintaan itu tidak
dipenuhi, Imam bakal dibunuh. Ketiganya juga menyiksa pemuda 25 tahun itu
sebelum kemudian membunuhnya. Jasadnya ditemukan di sebuah sungai di
Karawang, Jawa Barat, tiga hari kemudian. Kejahatan ketiganya
menambah panjang daftar tindak kekerasan yang dilakukan anggota TNI kepada
warga sipil. Belum hilang dari ingatan publik ketika Kolonel Priyanto dan
anak buahnya membuang dua orang yang tertabrak mobil mereka ke sungai.
Padahal korban sebenarnya masih hidup dan bisa diselamatkan. Peristiwa lain adalah
penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Ada pula pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani di Papua.
Di wilayah yang sama, empat anggota TNI terlibat kasus mutilasi. Kasus kekerasan
berujung hilangnya nyawa warga sipil masih akan terus terjadi jika tidak ada
hukuman yang maksimal bagi anggota TNI pelaku kejahatan. Peradilan militer
memungkinkan adanya bias semangat korps. Hukuman bagi pelaku menjadi tidak
maksimal sesuai dengan kejahatan yang mereka lakukan. Panglima TNI Laksamana
Yudo Margono memang berjanji tak akan memberikan impunitas kepada para pelaku
penculikan dan pembunuhan itu. Meski begitu, peradilan umum yang terbuka dan
transparan akan lebih menguatkan kebenaran jaminan itu. Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak lagi kontekstual dengan
perkembangan zaman. Aturan itu juga disusun pada akhir masa Orde Baru,
didesain untuk melindungi anggota militer yang melakukan kejahatan demi
melindungi rezim Soeharto. Undang-undang ini harus segera direvisi. Revisi
harus menitikberatkan pemberlakuan peradilan militer yang didasarkan pada
delik pelanggaran internal kemiliteran. Adapun kejahatan yang merupakan
kejahatan umum, termasuk kejahatan perang, harus diadili di pengadilan umum,
termasuk pengadilan korupsi dan pengadilan hak asasi manusia. Pada masanya, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono telah menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1997. Namun tarik-menarik kepentingan terjadi kala itu hingga akhirnya kabar
revisi ini tak terdengar lagi suaranya. Kini sudah saatnya Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat mengubah undang-undang tersebut. Apalagi konstitusi pun
jelas menyatakan kesetaraan hukum berlaku bagi semua warga negara. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/169631/uu-peradilan-militer |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar