Tantangan Bursa
Karbon Indonesia Agus P. Sari : Chief Executive Officer Landscape Indonesia,
lembaga advisori dengan pengalaman di pasar karbon selama 30 tahun |
MAJALAH TEMPO, 4
September 2023
BULAN ini, Indonesia bakal
memiliki bursa karbon. Bursa karbon berdiri dengan dasar hukum Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023 yang terbit pada 23 Agustus lalu.
Melalui aturan itu, sertifikat penurunan emisi karbon atau kredit karbon bisa
dianggap sebagai efek, aset yang dapat diperjualbelikan oleh entitas di
Indonesia untuk memenuhi kewajiban penurunan emisi. Aset ini bisa pula
diperjualbelikan trader untuk memperoleh keuntungan, seperti halnya dalam
perdagangan efek. Lahirnya bursa karbon menjadi era baru dalam upaya
merealisasi nilai ekonomi karbon di Indonesia. Mekanisme pasar melalui
bursa karbon mampu mendorong asas ketaatan pada aturan pembatasan emisi gas
rumah kaca penyebab krisis iklim, apabila dibandingkan dengan regulasi
semata. Sebab, mekanisme pasar akan menemukan solusi yang paling murah dan
efisien. Mekanisme pasar juga memberikan nilai ekonomi pada kegiatan
penurunan dan penghindaran emisi gas rumah kaca sehingga pada akhirnya
mendorong munculnya teknologi bersih. Ini juga yang akan melahirkan
entrepreneur dalam ekonomi hijau. Bursa karbon bakal
mengampu perdagangan kredit karbon, biasa dikenal sebagai pasar sekunder.
Sebelum pasar sekunder, ada pasar primer tempat investor berperan mendanai
kegiatan penurunan emisi dan produksi kredit karbon yang tersertifikasi.
Selain melalui bursa, kredit karbon dapat diperjualbelikan secara bilateral
atau over-the-counter. Kredit karbon diproduksi
dalam pasar primer melalui dua mekanisme umum, yaitu cap and trade (batasi
dan perdagangkan) serta offset. Cap and trade adalah mekanisme di mana
beberapa entitas diberi izin melepaskan emisi yang dibatasi pada jumlah
tertentu. Sejumlah entitas mungkin akan mampu menurunkan emisi lebih dari
kewajiban mereka (surplus) dan beberapa lainnya justru mengalami defisit.
Untuk memenuhi kewajibannya, entitas yang mengalami defisit penurunan emisi
dapat membeli penurunan emisi dari entitas yang mengalami surplus. Sementara itu, walaupun
tidak diwajibkan, penurunan emisi dapat pula dilakukan secara mandiri oleh
sebuah entitas melalui metodologi dan standar tertentu yang disertifikasi
sebagai penurunan emisi yang kredibel. Di Indonesia, metodologi sertifikasi
penurunan emisi diatur dalam Sistem Registri Nasional di bawah Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Entitas yang mengalami defisit penurunan
emisi dapat pula membeli sertifikat ini untuk meng-offset atau menutup
defisit sekaligus memenuhi kewajibannya. Ada beberapa hal yang
harus diperhatikan agar bursa karbon menjadi efektif. Bursa karbon akan
berlangsung dengan baik bila pasar sekunder bisa likuid, dengan pasokan dan
permintaan kredit karbon yang cukup banyak. Di dunia, sudah banyak entitas
yang membutuhkan sertifikasi penurunan emisi, baik untuk memenuhi aturan di
negara mereka maupun demi memenuhi kebutuhan internal. Pasar yang melayani
pemenuhan kewajiban atas peraturan biasanya disebut sebagai pasar ketaatan
atau compliance, sementara yang melayani pemenuhan komitmen sukarela sebuah
entitas adalah pasar sukarela atau voluntary market. Belum diketahui berapa
besar permintaan di dalam negeri karena penyusunan aturan pembatasan emisi
untuk semua sektor belum tuntas. Terkecuali beberapa sektor utama yang pernah
dibuatkan model pembatasan emisinya, seperti pembangkit listrik. Pasar sukarela
di dalam negeri pun hampir tidak ada. Bursa karbon juga akan
berlangsung dengan baik bila sertifikasi penurunan emisinya kredibel.
Kredibilitas, yang sering disebut environmental integrity, sangat penting
dalam pasar karbon. Sebab, sertifikasi penurunan emisi karbon memberikan
ruang kepada pembeli untuk mengklaim penurunan emisi tanpa harus melakukannya
sendiri. Untuk itu, penurunan emisi yang tersertifikasi tidak akan terjadi
tanpa ada dukungan tambahan dari pendanaan karbon. Tanpa tambahan atau additionality,
pasar karbon hanya menyediakan penurunan emisi di atas kertas yang sebenarnya
tidak terjadi. Pembuktian atas
additionality tidak mudah. Sebab, additionality tidak hanya harus
diperlihatkan oleh tambahan dorongan akibat pendanaan, tapi juga hambatan-hambatan
nonfinansial yang dapat diterobos. Karena itu, salah satu ujian terpenting
dalam proses sertifikasi adalah menguji kebenaran additionality. Kajian oleh Öko-Institut
untuk Uni Eropa, misalnya, menunjukkan bahwa bahkan dalam proyek-proyek
penurunan emisi karbon di bawah clean development mechanism (CDM) pada
Protokol Kyoto terlihat kelemahan yang cukup mengkhawatirkan. Padahal CDM
dianggap sebagai standar tertinggi dalam praktik pasar karbon. Selain didasari
additionality, integritas pasar karbon ditentukan oleh baseline, yaitu emisi
yang akan terjadi secara hipotetis apabila tidak ada upaya dan pendanaan
karbon. Karena merujuk pada skenario emisi di masa depan yang belum
diketahui, argumen mengenai baseline ini mungkin saja overstated. Belum lama ini, Verra,
pemegang standar terbesar dan yang mendominasi pasar karbon sukarela,
dihantam kecurigaan bahwa beberapa sertifikat penurunan emisi yang
diterbitkannya tidak kredibel atau bodong. Dugaan ini mengemuka dalam sebuah
analisis yang dimuat The Guardian. Tuduhan paling utama adalah ancaman
kerusakan hutan yang dibesar-besarkan sehingga kegiatan yang tersertifikasi
itu memperlihatkan penurunan emisi yang juga dibesar-besarkan. Tentu saja
Verra menampik tuduhan itu, dengan memperlihatkan kelemahan metodologi
investigasi yang dilakukan The Guardian bersama mitranya, Die Zeit dan
SourceMaterial. Artikel The Guardian itu
sempat menurunkan kepercayaan pasar. Harga karbon terjun bebas dari US$ 10
menjadi US$ 2 per ton di pasar sukarela. Pada akhirnya, Verra menarik
beberapa metodologi penghitungan emisinya untuk diperbaiki, dan baru-baru ini
menerbitkan pembaruannya yang diklaim lebih kredibel. Untuk memperbaiki
kepercayaan pasar, pemainnya membentuk Integrity Council for the Voluntary
Carbon Market yang berfungsi menjaga integritas dan kredibilitas klaim
penurunan emisi. Tampaknya langkah ini efektif karena harga karbon mulai
stabil lagi. Kecenderungan
overregulation juga mungkin akan menghambat likuiditas pasar karbon, termasuk
di bursa. Pembatasan yang kadang berlebihan tidak perlu ada. Kekhawatiran
bahwa Indonesia akan oversell atau menjual penurunan emisi terlalu banyak ke
luar negeri memang beralasan. Sebab, Indonesia memiliki komitmen cukup tinggi
pada Nationally Determined Contribution (NDC) yang terikat dalam Persetujuan
Paris, yaitu 32 persen di bawah emisi referensi dengan kekuatan sendiri atau
43 persen dengan kerja sama internasional pada 2030. Apabila terlalu banyak
yang dijual ke luar negeri, pencapaian komitmen domestik akan lebih sulit.
Tapi risiko ini selalu ada dan kelebihan jual sebetulnya bisa dengan mudah
diperbaiki dengan membeli kembali dari pasar di luar negeri. Apalagi masih
ada opsi menerapkan domestic market obligation seperti komoditas ekspor lain. Sebaiknya pasar ketaatan
dan pasar sukarela dipisahkan. Pasar ketaatan internasional akan mengoreksi
NDC negara penjual dan pembeli. Untuk sertifikasi emisi yang terjual ke luar
negeri, penurunan emisi sebanyak itu harus dikeluarkan dari penurunan emisi
dalam negeri dan dimasukkan ke penghitungan emisi negara pembeli. Ini adalah
mekanisme corresponding adjustment. Sedangkan pasar sukarela
memiliki perbedaan. Emisi yang terjual ke luar negeri tidak diperhitungkan
sebagai penurunan emisi oleh negara pembeli. Ia hanya diklaim sebagai
penurunan emisi swasta yang belum tentu akan menentukan penghitungan emisi
negaranya. Dengan demikian, penurunan emisi di pasar sukarela ini tetap dapat
diklaim sebagai penurunan emisi dalam negeri dan diperhitungkan dalam target
NDC. Akankah Indonesia memiliki
bursa karbon yang kredibel dan efektif? ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/169623/plus-minus-bursa-karbon |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar