Pengakuan Korban
Penculikan Paspampres Riky Ferdianto : Jurnalis
Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 4 September 2023
TERIAKAN dari dalam
kios obat dan kosmetik milik Imam Masykur menyita perhatian warga yang sedang
melintas di Jalan Sandratex, Kelurahan Rempoa, Ciputat Timur, Tangerang
Selatan, Banten, pada Sabtu sore, 12 Agustus lalu. “Rampok! Rampok!” ujar
Raihan—bukan nama sebenarnya—menirukan teriakan tersebut kepada Tempo.
Sehari-hari Raihan menjadi juru parkir di sekitar kios Imam. Mengira ada
perampokan dan penganiayaan, ia langsung bergegas menuju kios.
Empat pemuda lain
mendengar teriakan yang sama. Raihan melihat seorang pria bertubuh kekar
tengah berhadapan dengan Imam, 25 tahun. Bersama empat orang lain, Raihan
menyeret sang pria ke luar kios. Mereka memiting lalu meninju dan menendang
pria tersebut secara bergantian. Pengeroyokan itu berhenti setelah seorang
pria lain mendatangi mereka. “Dia mengaku sebagai polisi,” tutur Raihan.
Pria yang baru
datang itu menunjukkan sehelai kertas putih di map berwarna cokelat untuk
meyakinkan massa bahwa mereka polisi. Semula Raihan ragu atas pengakuan itu.
Namun keraguan itu meredup ketika pria tersebut mengeluarkan borgol. Raihan
dan pemuda setempat memilih mundur melihat Imam diseret ke sebuah mobil
dengan tangan terborgol. Itulah hari terakhir mereka melihat Imam masih
hidup. “Belakangan, lihat di berita, Imam sudah tewas,” ujar Raihan.
Dari berita, Raihan
baru mengetahui Imam menjadi korban penculikan personel Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Salah seorang di antaranya adalah anggota Pasukan Pengamanan
Presiden. Setelah kabar ini terungkap, Raihan berondok. Itu sebabnya ia minta
identitasnya disembunyikan.
Jasad Imam
ditemukan mengambang di Sungai Cibogo, Desa Klari, Karawang, Jawa Barat, pada
Selasa, 15 Agustus lalu. Awalnya tubuhnya sulit dikenali karena sudah
membengkak. Identitas jasad itu baru dikenali delapan hari berselang setelah
polisi dan tim penyidik Polisi Militer Komando Daerah Militer Jakarta Raya
(Pomdam Jaya) mengajak perwakilan keluarga menyambangi Rumah Sakit Umum
Daerah Karawang.
Polisi dan TNI
mensinyalir mayat itu identik dengan ciri-ciri fisik Imam. Mereka mendapatkan
ciri-ciri itu dari Fauziah, ibu Imam, yang tinggal di Bireuen, Aceh. Fauziah
yang datang ke Jakarta memastikan korban adalah anak kandungnya. Ia menjerit
histeris dan lunglai seketika saat menyaksikan jasad anaknya yang tersimpan
dalam lemari pendingin ruang penyimpanan mayat. Jasadnya lebam penuh luka.
“Itu anak saya,” ucap Fauziah yang datang bersama sepupu Imam, Sayed
Sulaiman.
Jenazah Imam
langsung diautopsi pada hari itu. Sayed mengungkapkan, dokter menyimpulkan
adanya luka di kepala bagian belakang. Trauma akibat benturan benda tumpul
itu menyebabkan perdarahan berat di otak. Punggung Imam juga biru lebam dan
memperlihatkan jejak luka akibat pecutan. Tulang rusuknya patah. Ada pula
lubang di bahu kiri. “Waktu itu dokter belum bisa memastikan apakah luka
tersebut akibat peluru atau bukan,” ujarnya. Keluarga membawa pulang jasad
Imam ke permakaman dekat rumah neneknya di Dusun Arafah, Gampong Mon Keulayu,
Kecamatan Gandapura, Bireuen.
Sayed adalah orang
pertama yang dihubungi Imam tak lama setelah terjadi kegaduhan di kios
Rempoa. Ketika itu Imam memintanya mengirimkan uang Rp 50 juta. Suaranya
terdengar lirih dan terisak. Imam mengatakan sudah tak kuat disiksa. Kepada
penculik, Sayed mengaku tak bisa memenuhi permintaan itu. Rupanya, setahun
lalu Imam pernah diculik dan diperas hingga Rp 13 juta. “Pelakunya orang yang
sama,” tuturnya.
Tak mendapatkan
uang dari Sayed, Imam menghubungi adik kandungnya, Fakhrul Razi. Sang adik
mengaku tak punya uang. Penolakan Fakhrul berbalas video yang memperlihatkan
penyiksaan punggung Imam dengan sabuk kulit oleh pelaku. “Ada video anak saya
saat berdarah-darah,” kata Fauziah saat ditemui Tempo di rumahnya di Bireuen,
Rabu, 30 Agustus lalu.
Komunikasi terakhir
Imam dengan keluarga terjadi pada Sabtu pukul 21.42 WIB, 12 Agustus lalu.
Imam tetap memohon agar keluarga mencari uang tebusan. Fauziah yang berada di
ujung sambungan telepon mendengar anaknya menjerit kesakitan. “Katanya sudah
tidak tahan lagi,” tutur Fauziah. Menurut dia, pelaku sempat menghubungi
kembali sambil melontarkan ancaman. “Kalau Ibu sayang kepada anak, kirim uang
Rp 50 juta,” ujar Fauziah menirukan ucapan pelaku.
Fauziah memohon
agar penculik berhenti menyiksa Imam. Ia berjanji bakal mencarikan uang itu
asalkan Imam tak disiksa. Fauziah meminta toleransi waktu karena belum punya
uang. Pelaku membalas ucapan Fauziah dengan ancaman: “Kalau tidak Ibu kirim,
anak Ibu nanti kami bunuh dan kami buang ke sungai.”
Setelah itu, nomor
telepon seluler Imam tak lagi bisa dihubungi. Keesokan hari, Fauziah
berangkat ke Jakarta. Bersama Sayed, Fauziah mendatangi kolega Imam sesama
perantau asal Aceh guna mencari bantuan. “Saya pergi karena rasa gelisah,
tapi belum tahu kalau Imam sudah meninggal,” katanya. Dua hari kemudian, ia
melapor ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya.
Imam adalah anak
kedua dari tiga bersaudara. Selama ini ia menjadi tulang punggung ekonomi
keluarga. Imam menjajal peruntungannya dengan mengontrak kios 3 x 3 meter di
pertigaan Jalan Sandratex. Kios itu dipakai sejak tiga bulan lalu. Ia juga
menyewa kamar kos tak jauh dari kios. Ia berjualan kosmetik, bedak bayi, dan
obat-obatan jenis tramadol.
Penyidik Pomdam
Jaya turun tangan setelah mendapat petunjuk ihwal keterlibatan tiga personel
TNI dalam kasus itu. Mereka adalah Prajurit Kepala Riswandi Manik yang
bertugas di Batalyon Pengawal Protokoler Kenegaraan Paspampres. Pelaku lain
adalah Prajurit Kepala Hery Sandi yang berdinas di Direktorat Topografi TNI
Angkatan Darat. Pelaku ketiga adalah Prajurit Kepala Jasmowir yang tercatat
sebagai personel Komando Daerah Militer Iskandar Muda yang bermarkas di Banda
Aceh.
Identitas ketiganya
muncul selepas Fauziah melapor ke Polda Metro Jaya pada Senin, 14 Agustus
lalu. Setelah mendapat laporan, polisi kemudian menggandeng TNI karena ada
dugaan keterlibatan prajurit. Pomdam Jaya langsung bergerak. “Ada laporan
kasus penculikan, penganiayaan, dan pemerasan,” ujar Kepala Dinas Penerangan
TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Hamim Tohari.
Selain ketiga
personel TNI, penyidikan kasus itu mengungkap peran seorang pria lain bernama
Zulhadi Satria Saputra. Namun penanganannya berada di bawah kewenangan Polda
Metro Jaya lantaran Zulhadi warga sipil. Hamim menjamin kasus ini bakal
diusut tuntas dan transparan. Terlebih setelah pemimpin TNI menaruh atensi.
“TNI tidak akan memaafkan perbuatan para pelaku,” ucapnya.
Zulhadi adalah
kakak ipar Riswandi. Ia ikut dalam proses penculikan dan menyopiri mobil
ketika meninggalkan kios Imam. Belakangan, polisi menemukan indikasi
keterlibatan dua warga sipil lain berinisial H dan AM. “Keduanya berperan
sebagai penadah barang-barang hasil kejahatan komplotan ini,” tutur Direktur
Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Haryadi.
Sejak kabar
kematian itu terungkap, kios Imam kerap dikunjungi berbagai orang. Di
antaranya tim penyidik Pomdam Jaya serta pegawai Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban. Menjelang Kamis dinihari, 31 Agustus lalu, Tempo melihat tiga
pria yang datang menggunakan dua sepeda motor. Mereka lalu mengganti gembok
pintu kios tersebut. Ketika ditemui, ketiganya enggan mengungkap identitas.
Belakangan,
terungkap Imam bukanlah satu-satunya korban komplotan penculik tersebut.
Komandan Pomdam Jaya Kolonel Irsyad Hamdie Bey Anwar mengatakan pelaku
diketahui pernah mengangkut seorang pria lain yang bernama Al Qhaidar. Namun
ia dilepas di jalan tol Jagorawi di sekitar Cikeas, Bogor, Jawa Barat, karena
kesulitan bernapas. Dari keterangan saksi ini, penyidik mengungkap peristiwa
penculikan itu. “Pelaku memeras dengan berpura-pura sebagai polisi,” katanya.
Rupanya, ketiga
pelaku adalah personel TNI asal Aceh. Lewat jaringan di komunitas perantau
asal Aceh, mereka bisa mengetahui identitas dan aktivitas bisnis para korban.
Kolonel Irsyad tak membantah kabar bahwa ada banyak korban lain asal Aceh
yang pernah dijadikan target para pelaku. Untuk informasi ini, penyidik
Pomdam Jaya masih menyidik pola operasi kejahatan mereka dan sejak kapan
mereka beroperasi. “Masih kami dalami,” ucap Irsyad.
Tempo mendapatkan
rekaman kamera pengawas atau CCTV ketika komplotan itu beraksi menyasar
pemilik kios kelontong di Sawangan, Depok, Jawa Barat, pada Oktober 2022.
Pelaku berjumlah tiga orang. Mereka mengenakan seragam abu-abu dengan rompi
hitam bertulisan “polisi”. Wajah mereka tertutup masker. Ketiganya tampak
memaksa masuk ke kios serta menggeledah dan memeriksa barang dagangan.
Pada Juni 2022,
mereka juga pernah menyasar seorang pedagang asal Aceh yang membuka kios di
Cibungbulang, Bogor. Ada pula kejadian pada April lalu saat mereka menyasar
pria asal Sawang, Aceh Utara, yang berdagang di Bekasi, Jawa Barat. Para
korban juga disiksa dan diperas. Tapi mereka enggan melapor kepada polisi.
“Sebagian korban memilih pulang kampung karena trauma,” ucap salah seorang
anggota Pengurus Pusat Taman Iskandar Muda, komunitas perantau asal Aceh,
yang enggan identitasnya diungkap.
Dia menerangkan,
selain Imam, korban penculikan dan pemerasan komplotan Riswandi ada delapan
orang. Salah seorang korban ada yang diperas pada 2018. Kesamaan mereka
adalah pedagang obat, salah satunya tramadol, yang berasal dari Aceh.
Tramadol merupakan jenis obat keras pereda nyeri yang hanya bisa ditebus
lewat resep dokter. Belakangan, sejumlah daerah di Jawa Barat mengklaim
mengalami darurat penyalahgunaan tramadol. Tramadol kerap dikategorikan
sebagai narkotik karena efeknya mirip obat penenang.
Salah seorang
korban itu adalah pedagang kios obat di Pasar Kemis, Bogor, yang meminta
dipanggil Roy. Peristiwa itu terjadi di kiosnya pada Senin sekitar pukul
13.30, 19 Juni lalu. Dalam konferensi pers, Pomdam Jaya mengungkap ketiga
foto penculik dan penganiaya Imam. Roy memastikan ketiga pelaku adalah orang
yang sama yang menculik dan memerasnya setahun lalu.
Pada saat itu
Jasmowir yang mengenakan rompi hitam dan mengenakan masker mendatangi
kiosnya. Mulanya Jasmowir berpura-pura hendak membeli tramadol. Roy, 50
tahun, menjawab hanya tersisa satu buah. Mendengar jawaban Roy, Jasmowir
membuka rompi dan berbicara lewat walkie-talkie yang terselip di balik rompi.
“Komandan, di sini ada satu, nih,” tutur Roy kepada Tempo, menirukan ucapan
Jasmowir saat itu.
Riswandi Manik dan
Hery Sandi kemudian turun dari mobil Daihatsu Sigra berkelir hitam dan
berjalan menuju kios. Ketiganya mengaku sebagai polisi dan langsung menangkap
serta memborgol Roy. Ia dibawa ke mobil. “Orang di sekitar kios awalnya mau
menolong, tapi enggak berani karena melihat benda mirip pistol di rompi
pelaku,” ujar Roy.
Di dalam mobil, Roy
melihat ada dua orang lain di jok belakang. Wajah keduanya terlihat sudah
babak-belur dan berdarah. Ia melihat slang yang di ujungnya terdapat besi. Belakangan,
ia mengetahui salah seorang korban itu berinisial S. Mereka juga pedagang
obat dan berasal dari Aceh. Roy duduk di jok tengah diapit Riswandi di kanan
dan Zulhadi Satria Saputra di kiri. Hery Sandi menjadi sopir dan Jasmowir di
kursi depan. Semua pelaku mengenakan masker.
Para pelaku
langsung meminta uang Rp 25 juta kepada Roy. Karena Roy mengaku tak memegang
uang, para pelaku menggunakan telepon seluler S untuk menghubungi istri Roy.
Lewat WhatsApp, mereka mengancam akan membunuh Roy jika istrinya tak menyetor
uang Rp 25 juta. Mereka berputar-putar di jalan yang sepi. Roy sempat berniat
melompat ke luar, tapi mobil tak pernah berhenti, bahkan di lampu merah.
“Kalau mereka mau membuka masker dan merokok di mobil, pelaku menutup kepala
kami dengan sarung,” Roy bercerita.
Proses penculikan
Roy hanya berlangsung satu setengah jam. Penyekapan berakhir saat istri Roy
mengirimkan foto resi pengiriman uang senilai Rp 25 juta ke rekening S,
korban yang bersamanya di dalam mobil, lewat WhatsApp. Karena istrinya
langsung mengirim uang, Roy tak disiksa.
Roy menduga para
pelaku menggunakan ponsel dan rekening S untuk menutupi jejak transfer uang.
Setelah menerima bukti transfer, para pelaku menurunkan Roy di jalanan sepi
di kawasan Jasinga, Kabupaten Bogor. Ia pulang ke kios dengan menumpang ojek
dan membayar Rp 100 ribu. “Saya pinjam uang dari penjaga kios sebelah,”
tuturnya.
Ia mendengar kabar
S masih hidup. S langsung pulang ke Aceh lalu merantau ke Malaysia. Ia tak
mendengar kabar satu korban lain yang bersamanya saat berada di dalam mobil
para pelaku. “Lewat teman sesama perantau asal Aceh, saya mendengar ada lagi
korban selain Imam dan kami bertiga,” ucap Roy.
Kepala Dinas
Penerangan TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Hamim Tohari mengaku belum
bisa memastikan berapa banyak orang yang pernah menjadi korban ketiga
prajurit tersebut. Ia mengatakan penyidik Pomdam Jaya masih menggali
keterangan dari para saksi. Bila dalam proses penyidikan ditemukan bukti
adanya korban lain, ia memastikan keterangan itu bakal melengkapi berkas
pemeriksaan para tersangka. “Kami ingin masalah ini diusut tuntas,” katanya. ●
Sumber : https://majalah.tempo.co/read/hukum/169644/pengakuan-korban-penculikan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar