Kasus Limbah Nuklir
Fukushima Dibawa ke WTO Anonim : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 10
September 2023
PEMERINTAH Jepang mengadu
ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bahwa mereka sama sekali tidak bisa
menerima kebijakan Cina yang melarang impor makanan lautnya. Kebijakan itu
keluar setelah Negeri Matahari Terbit melepas air limbah Pembangkit Listrik
Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima ke Samudra Pasifik pada Kamis, 24 Agustus lalu.
Menurut Al Jazeera, pada Selasa, 5 September lalu, Jepang menyatakan akan
menjelaskan sikapnya kepada komisi WTO dan meminta Cina segera mencabut
kebijakan itu. Jepang akan membuang total
sekitar 1,3 juta ton air limbah nuklir Fukushima ke laut. Kini 500 ton air
limbah, yang setara dengan 500 kolam renang ukuran Olimpiade, dibuang setiap
hari ke lepas pantai Fukushima. Hal ini akan berlangsung selama 30-40 tahun. Air limbah itu sudah
disaring untuk memastikan tidak mengandung radioaktif dan mendapat lampu
hijau dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Namun tak semua orang
yakin akan keamanannya. Masyarakat umum dan nelayan Jepang sempat
memprotesnya. Pemerintah kemudian menggelontorkan dana sebesar 100 miliar yen
lebih atau sekitar US$ 682 juta untuk mendukung industri perikanan yang
melemah akibat kebijakan ini. Menurut The Japan Times,
Jepang memakai Sistem Pemrosesan Cairan Tingkat Lanjut (ALPS) untuk menyaring
air limbah nuklir. Sistem ini dapat menangkap 62 dari 64 zat radioaktif. Dua
yang lolos, karbon-14 dan tritium, diklaim akan larut dalam air laut.
Meskipun secara teoretis limbah yang sudah disaring ini dianggap aman, tidak
ada penelitian memadai yang membuktikan tritium tak berdampak pada makhluk
laut dan manusia. Nyatanya, Tokyo Electric Power, operator PLTN Fukushima,
menemukan ikan di perairan sekitar saluran pembuangan Fukushima terpapar
senyawa radioaktif sesium-137 dengan kadar 180 kali lebih tinggi dari
standar. Senyawa itu berisiko menyebabkan kanker. ============== Amerika
Serikat : Pentagon
Kirim Peluru Uranium ke Ukraina PEMERINTAH Amerika Serikat
mengumumkan bantuan militer senilai US$ 175 juta kepada Ukraina, termasuk
peluru uranium 120 milimeter untuk tank tempur M1 Abrams. Bantuan itu
dimaksudkan untuk memastikan Ukraina memiliki apa yang dibutuhkan guna
melawan serangan pasukan Rusia. “Tentu saja kami telah melihat kemajuan
penting dalam serangan balik dan itu sangat, sangat membesarkan harapan,”
kata Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken kepada Presiden Ukraina
Volodymyr Zelenskyy di Kyiv, Rabu, 6 September lalu, seperti dikutip Al
Jazeera. Peluru itu dibuat dari
uranium terdeplesi, yakni sisa proses pengayaan uranium untuk bahan bakar
atau senjata nuklir. Uranium terdeplesi dapat digunakan buat memperkuat pelat
baja tank, tapi sering dipakai sebagai senjata untuk menembus bahan baja
seperti tank. Uranium terdeplesi tidak
dapat digunakan untuk memicu reaksi nuklir dan dipandang Badan Energi Atom
Internasional (IAEA) kurang radioaktif daripada uranium alami. Komisi Ilmiah
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Dampak Radiasi Atom tak menemukan keracunan
signifikan akibat paparan bahan ini, tapi Program Lingkungan PBB (UNEP)
melaporkan pada 2022 bahwa mereka khawatir akan masalah kesehatan akibat
penggunaannya di Ukraina. “Keracunan kimia dari uranium terdeplesi dinilai
sebagai isu yang lebih penting daripada kemungkinan dampak
radioaktivitasnya,” tulis UNEP. “Keputusan pemerintah
Amerika memasok senjata mengandung uranium terdeplesi itu adalah indikator
ketidakmanusiawian,” ucap Kedutaan Besar Rusia untuk Amerika Serikat di
Washington, DC, melalui pesan Telegram. “Jelas, dengan ide yang mengakibatkan
‘kekalahan strategis’, Washington bersiap untuk berperang tidak hanya hingga
orang Ukraina terakhir, tapi juga melakukannya untuk seluruh generasi.” Rusia juga bereaksi keras
ketika Inggris mengirim peluru uranium untuk dua tank Challenger ke Ukraina
pada Maret lalu. Ketika Presiden Rusia Vladimir Putin menyebutkan senjata itu
mengandung komponen nuklir, Kementerian Pertahanan Inggris menyatakan bahwa
mereka telah menggunakan uranium terdeplesi dalam senjata selama puluhan
tahun dan menuduh Moskow menyebarkan informasi yang menyesatkan. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/internasional/169678/limbah-nuklir-fukushima |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar