Rendahnya
Kesadaran tentang Keselamatan
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang profesional di
perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS,
05 Maret
2018
Kecelakaan kerja pada sejumlah
proyek infrastruktur terjadi beruntun. Menteri PUPR sempat memerintahkan
penghentian konstruksi semua proyek infrastruktur. Tapi jelas langkah itu tak
berumur panjang, karena banyak hal yang harus dipertimbangkan. Beberapa hari
kemudian pekerjaan sudah dilanjutkan kembali. Pertanyaan pentingnya, apakah
setelah ini pelaksana proyek-proyek itu akan lebih memperhatikan keselamatan?
Apakah setelah ini tidak akan terjadi lagi kecelakaan kerja?
Pernyataan Direktur Utama Waskita Karya,
setelah terjadinya sejumlah kecelakaan itu, memberikan gambaran yang jelas
bahwa aspek keselamatan memang diabaikan. Eksekutif perusahaan lebih fokus
pada aspek-aspek finansial, lalu lalai memperhatikan aspek keselamatan.
Manajemen keselamatan katanya akan diperbaki. Seberapa baik? Bagaimana
caranya?
Membangun sistem manajemen
keselamatan bukan hal mudah. Keselamatan adalah soal kebiasaan. Dalam hal ini
kebiasaan ribuan orang. Mulai dari pimpinan puncak perusahaan, manajemen di
level menengah, pelaksana di lapangan, hingga ke buruh-buruh yang melakukan
berbagai pekerjaan kasar dan berbahaya. Bagaimana mengubah itu semua? Jelas
tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
Dalam konteks eksekutif, memberi
perhatian atau tidak kepada aspek keselamatan di lapangan akan membuat
struktur profit-loss perusahaan berubah. Ya, keselamatan tidak gratis.
Menetapkan perubahan dalam manajemen proyek demi memperhatikan keselamatan
akan memunculkan biaya yang tidak kecil. Akankah eksekutif perusahaan mau
mempertaruhkan reputasi pembukuan mereka demi para pekerja yang tidak pernah
mereka kenal? Perlu perubahan mind set yang mendasar untuk bisa melakukan
itu.
Di tingkat yang lebih praktis,
situasinya tidak lebih sederhana. Seperti saya tulis di atas, keselamatan
adalah soal kebiasaan. Bagaimana kebiasaan pekerja kita dalam hal
keselamatan? Parah. Kita bisa melihatnya dengan mudah dari cara mereka
berkendara. Orang-orang yang bekerja di berbagai proyek konstruksi itu adalah
orang-orang yang biasa berkendara secara mengerikan. Mereka bisa berganti
jalur secara mendadak tanpa memberi tanda, menyalip dengan memotong jalan
kendaraan lain, atau bahkan melawan arus. Mereka juga biasa naik sepeda motor
tanpa helm. Ringkasnya, ini adalah orang-orang yang biasa mengabaikan keselamatan.
Hasilnya, seperti yang kita lihat
itu, kecelakaan beruntun. Yang sampai kepada kita melalui berita media massa
itu hanya sebagian kecil saja. Menurut Hukum Heinrich, satu kecelakaan fatal
didahului oleh setidaknya 29 kecelakaan ringan. Dengan adanya 5 atau 6
kecelakaan fatal yang diberitakan, setidaknya sudah terjadi 150 kecelakaan
ringan, dan ribuan kejadian nyaris celaka ( near-miss). Kejadian-kejadian itu
tidak diberitakan, bahkan mungkin sama sekali tidak dicatat kejadiannya.
Itu adalah masalah kita yang
berikutnya, soal mind set terhadap keselamatan. Kejadian baru dianggap
sebagai kecelakaan kalau sudah ada yang terluka parah atau mati. Kecelakaan
kecil dianggap bukan kecelakaan. Karena itu dibiarkan, tidak diambil tindakan
agar tidak terulang.
Standar pada perusahaan dengan
manajemen keselamatan yang rapi, setiap kejadian kecelakaan, termasuk yang
ringan, dilaporkan, dan informasinya disebar ke seluruh perusahaan terkait.
Sebuah industri dengan 250 anak perusahaan di seluruh dunia akan menyebarkan
informasi kecelakaan di suatu unit usahanya kepada seluruh anak perusahaan,
agar menjadi perhatian, dan agar segera mengambil langkah-langkah pencegahan.
Itu yang biasa dilakukan.
Dapatkah level itu dicapai?
Kondisi di perusahaan pelaksana konstruksi tadi sungguh parah. Ada kejadian
fatal, diikuti kejadian fatal lain, itu terus berlangsung selama hampir
setengah tahun. Artinya, bahkan kejadian kecelakaan parah di suatu proyek
tidak menjadi bahan kewaspadaan pada proyek lain. Ini menggambarkan buruknya
sistem manajemen keselamatan. Bagaimana mengubah itu dalam sekejap? Bagaimana
mengubah ribuan pekerja yang biasa mengabaikan keselamatan tadi menjadi orang
yang peduli dan terampil menjaga keselamatan? Ya, keselamatan tidak hanya
soal , kesadaran saja. Ada aspek keterampilan di situ. Artinya, perlu waktu
lama untuk mengubah perilaku para pekerja, menumbuhkan kebiasaan kerja
selamat tadi.
Yang lebih parah, kesadaran soal
keselamatan ini terlihat rendah hingga pada elite pemimpin negara. Presiden
Joko Widodo masih sering tampil dengan mengabaikan keselamatan, seperti
dibonceng dengan sepeda motor tanpa helm. Bahkan pernah saya lihat foto
Presiden sedang duduk menumpang di kendaraan bak terbuka. Demikian pula
dengan pejabat lain. Menteri Kelautan dan Perikanan pernah mempublikasikan
foto dia naik sepeda motor tanpa memakai helm. Kapolri juga pernah begitu.
Gubernur DKI pernah ikut kerja bakti, meraup kotoran di selokan dengan
tangan, tidak menggunakan alat. Semua itu adalah tindakan yang mengabaikan
keselamatan. Tindakan seperti itu dipublikasikan secara vulgar kepada publik.
Konyolnya, jarang ada yang
bersuara, memandangnya dari sudut pandang keselamatan. Banyak yang memujinya
sebagai sikap merakyat dan informal. Tegasnya, rakyat terbiasa mengabaikan keselamatan.
Pemimpin hendak mencitrakan diri mereka merakyat, dengan menunjukkan perilaku
mengabaikan keselamatan. Ibaratnya, murid kencing berdiri, para guru ikut
kencing berdiri bersama murid-muridnya, lalu mereka dipuji sebagai guru yang
akrab. Sungguh ini merupakan pameran kesalahan berpikir yang mendasar.
Kembali ke soal proyek konstruksi
tadi, yakinlah bahwa kecelakaan tidak bisa dihentikan hanya dengan keinginan
saja. Perlu perubahan manajemen secara mendasar dan menyeluruh. Semoga hal
itu memang benar dilakukan, bukan sekadar pencitraan saat konferensi pers
belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar