Bunker
Wakil Rakyat
Violla Reininda ; Peneliti Pusat Studi Ketatanegaraan (Pusaran)
Universitas Tarumanagara, Jakarta
|
DETIKNEWS,
28 Februari
2018
Revisi Undang-undang Nomor
17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) memang mengejutkan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang tinggal menandatangani pengesahan,
terkejut. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, yang
berpartisipasi dalam pembahasan, terkejut. Ketua DPR Bambang Soesatyo pun
ikut terkejut.
Mulanya, revisi hanya
ditujukan untuk menambah kursi pimpinan DPR dan MPR, khususnya bagi partai
pemenang Pemilu 2014, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang
tidak mendapatkan jatah akibat perubahan mekanisme pemilihan pimpinan DPR
dari secara otomatis ditempati partai dengan kursi terbanyak menjadi
pemilihan (Pasal 84 UU MD3, Putusan MK Nomor 73/PUU-XII/2014). Namun, materi
pembahasan meluas hingga menimbulkan polemik. DPR ingin menahbiskan diri
sebagai lembaga superpower.
Kontroversi dimulai dari
Pasal 73, yang mewajibkan polisi memanggil paksa siapapun yang diperintahkan
DPR, sampai bisa disandera. Dengan pasal ini, andai dipanggil lagi tetapi
tidak memenuhi panggilan seperti sebelumnya, personel KPK bisa dipaksa,
bahkan disandera.
Kontroversi lain terdapat
dalam Pasal 122 huruf k, yang memberikan wewenang bagi Mahkamah Kehormatan
Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum terhadap siapapun yang dianggap
merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR (contempt of parliament), yang
ukurannya tidak jelas. Kritik ataupun warta bila terdengar sumbang bisa
dianggap hinaan.
Terakhir, Pasal 245
tentang hak imunitas DPR. Persetujuan Presiden terhadap pemanggilan dan
permintaan keterangan anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana
terlebih dulu melalui pertimbangan MKD. Dengan demikian, kelak akan sulit
mendudukkan anggota DPR yang terjerat kasus ke kursi pesakitan. Kendati,
pasal ini tidak berlaku untuk tindak pidana khusus seperti korupsi.
Pasal-pasal tersebut luar
biasa mengancam muruah negara hukum dan demokrasi konstitusional. UU MD3 bagi
DPR kini bagai perisai milik salah satu tokoh fiksi di komik Marvel, Captain
America, yang bisa menjadi tameng dan senjata sekaligus. Menyadari keberadaan
"perisai" tersebut, trio Presiden, Menkumham, dan Ketua DPR
bergeming, tak berupaya menghalangi persetujuan pasal-pasal tersebut. Mungkin
saking kagetnya.
Siapa
Tanggung Jawab?
Melalui akun Twitter-nya,
Rabu (21/02), Presiden Jokowi mencuitkan kata-kata mutiara untuk menenangkan
hati rakyat, bahwa draf RUU MD3 sudah di mejanya, tetapi belum
ditandatangani. Katanya, ia memahami keresahan masyarakat tentang hal ini dan
menginginkan kualitas demokrasi terus meningkat.
Pada kesempatan lain
Jokowi mengungkapkan tidak akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (perppu) untuk membatalkan revisi UU MD3. Orang nomor satu itu
malahan mendorong masyarakat yang tidak sepakat untuk berbondong-bondong
mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Menkumham
Yasonna, UU MD3 berakhir demikian karena ia tidak sempat menginformasikannya
kepada Presiden.
Membaca pemberitaan UU
MD3, saya sempat kaget. Namun, setelah menyimak pernyataan Presiden dan
Menkumham, tanggapan saya seperti meme yang kerap beredar di internet,
"disappointed, but not surprised" (kecewa, tetapi tidak heran).
Ibarat sehabis bermain di
lumpur, pakaian kotor di badan sendiri, tetapi orang lain yang disuruh
bersihkan. Ditandatangani atau tidak, RUU tetap akan menjadi undang-undang
dan wajib diundangkan (Pasal 20 Ayat [4] dan [5] UUD 1945). Sebab, DPR dan
pemerintah yang diwakili Menkumham telah menyetujui bersama undang-undang
tersebut dengan ketukan palu di sidang paripurna. Etikanya, Presiden tidak
boleh tidak menandatangani karena telah mengirimkan wakilnya, dalam hal ini
Menkumham, untuk membahas RUU hingga menghasilkan sebuah keputusan, yaitu
persetujuan bersama.
Meski tidak selama
undang-undang lainnya, revisi UU MD3 dibahas tidak dalam jangka waktu yang
singkat dan mepet. Penyusunannya telah melewati proses yang cukup panjang.
Pembahasannya pun tidak dilakukan oleh DPR semata. Pemerintah juga memiliki
andil (Pasal 20 Ayat [2] UUD 1945).
Persetujuan RUU sebenarnya
bisa dicegah. Pada Pembicaraan Tingkat I, tepatnya di rapat kerja, Presiden
melalui Menkumham dapat menyampaikan pandangannya mengenai substansi RUU,
baik menyepakati materi maupun memberikan masukan untuk penyempurnaan (Pasal
68 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
[UU P3]); Pasal 144 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014).
Setelah Pembicaraan
Tingkat I selesai, pembahasan RUU naik ke Pembicaraan Tingkat II, yaitu
pengambilan keputusan di rapat paripurna (Pasal 69 UU P3; Pasal 152 Peraturan
DPR 1/2014). Pada tahap ini, Presiden memberikan persetujuan final untuk
menerima RUU atau menolaknya. Apabila disetujui bersama, RUU disahkan lalu
kemudian diundangkan dan berlaku umum. Namun, jika tidak mendapat persetujuan
bersama, RUU tidak boleh lagi diajukan dalam persidangan DPR di masa itu
(Pasal 20 ayat [3] UUD 1945).
Sangat disayangkan,
tindakan preventif tersebut tidak dilaksanakan. Alasannya, Menkumham tidak
sempat melaporkannya kepada Presiden. Ini adalah sebuah kecerobohan yang amat
fatal. Pada akhirnya, rakyat yang mesti membenahi kekacauan yang dibuat
pemegang kekuasaan.
Pilihan Presiden untuk
tidak menerbitkan Perppu adalah tepat, sebab bukan pilihan yang efektif. DPR
tidak mungkin memberikan persetujuan atas pengurangan privilesenya. Oleh
karena itu, lebih baik Presiden Jokowi segera meneken RUU MD3, supaya
masyarakat bisa menjalankan sarannya, yakni berbondong-bondong mengajukan
judicial review ke MK.
Konsekuen
Mundur
Aziz Huq dan Tom Ginsburg
dalam How to Lose a Constitutional Democracy (2017) mengemukakan terdapat
tiga komponen esensial demokrasi, yaitu pemilu yang bebas dan adil,
kemerdekaan berpendapat dan berkumpul, serta negara berdasarkan hukum.
Disetujuinya revisi UU MD3 ini akan mereduksi esensi poin kedua dan ketiga
yang berujung pada lenyapnya demokrasi konstitusional dan membentangkan
karpet merah bagi deteriorasi kualitas demokrasi secara formal.
Masih hangat di benak kita
bagaimana para pembentuk undang-undang menyetujui Perppu Ormas, yang
memberikan kewenangan kepada penguasa untuk membubarkan organisasi masyarakat
tanpa proses hukum (due process of law). Atau, aturan tentang ambang batas
pengajuan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang
menutup pintu bagi lebih banyak calon alternatif.
Persetujuan bersama antara
DPR dan presiden dalam pembentukan undang-undang pada dasarnya merupakan
bentuk check and balances. Semua RUU tidak akan lolos menjadi undang-undang
bila presiden menolak. Namun apa daya, kali ini, Jokowi
"kecolongan", sehingga lagi-lagi rakyat yang kena getahnya.
Memang, mekanisme judicial
review masih dapat ditempuh untuk menginvalidasi undang-undang. Namun, ketika
makin banyak undang-undang yang diajukan ke meja hakim konstitusi, proses
legislasi oleh pembentuk undang-undang patut dipertanyakan.
Apapun keputusan Jokowi
terkait pengesahan UU MD3, hendaknya tidak diwartakan di halaman terdepan
media sebagai berita sukacita. Cukup diletakkan di kolom orbituari saja.
Sebab, hingga suatu saat dibatalkan oleh MK, revisi UU MD3 akan terus menjadi
berita duka bagi kita, rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar