Sportivitas
Rhenald Kasali ; Akademisi; Praktisi Bisnis;
Guru Besar Bidang Ilmu manajemen di Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia
|
JAWA POS, 08 Mei 2015
SEWAKTU kecil saya
sering diajak ayah menyaksikan pertandingan olahraga antarkampung. Ada
pertandingan sepak bola, ada juga bulu tangkis. Bukan hanya itu. Semasa kecil
saya juga kerap diajak menyaksikan pertandingan sepak bola baik tingkat
nasional maupun internasional di Stadion Utama Senayan yang kini kita kenal
sebagai Stadion Gelora Bung Karno (GBK).
Pengalaman itu masih
membekas hingga kini. Lewat pertandingan-pertandingan tersebut, saya diajari
tentang pentingnya sportivitas. Saat bertanding, seluruh pemain betul-betul
bertarung habis-habisan. Saling dorong, saling jegal, saling serang.
Tapi, itu hanya
terjadi di lapangan. Begitu pertandingan selesai, mereka kembali berteman.
Tim yang menang bersorak gembira, tim yang kalah menerima. Sama sekali tidak
ada yang tersinggung atau tidak terima atas kekalahannya.
Sayang, setelah
menjadi orang tua, saya tak pernah mengajak anak-anak saya menyaksikan
pertandingan olahraga. Baik pertandingan antarkampung maupun yang dilakukan
di Stadion GBK. Mengapa? Jujur saja, saya khawatir tak mampu menunjukkan
adanya sportivitas di sana.
Ada tim yang tidak
puas dengan keputusan wasit. Mereka mengerubungi wasit, main dorong dan main
tendang, sampai sang wasit lari terbirit-birit mencari perlindungan.
Lalu, tim yang kalah
tidak terima. Mereka meradang dan memicu terjadinya perkelahian antartim.
Bahkan, antarsuporter. Mereka ngamuk, menyasar apa saja. Lalu, terjadilah
bentrokan suporter dengan masyarakat atau antarsuporter.
Dalam suasana yang
rusuh semacam itu, siapa pun bisa menjadi korban. Saya tentu tidak mau saya
dan anak-anak saya menjadi salah satu korban.
Itulah yang terjadi
kalau nilai-nilai sportivitas sudah semakin tergerus. Akibatnya, prestasi pun
mandek.
Dulu di tingkat ASEAN
tim sepak bola kita sangat disegani. Kini lihat saja, pernahkah tim sepak
bola kita menjadi juara di tingkat ASEAN? Apalagi di tingkat yang lebih
tinggi seperti Asia atau dunia.
Mabuk Solidaritas
Namun, ada lagi yang
membuat saya lebih cemas. Menurut Heywood Broun, jurnalis olahraga asal
Amerika Serikat, dalam setiap pertandingan, bukan hanya sikap sportif yang
akan muncul, tetapi juga karakter sejati seseorang akan terlihat di sana. Ia
menulis begini, "Sports do not
build character. They reveal it."
Ungkapan Broun itulah
yang membuat saya cemas. Tontonan yang kita saksikan di ring tinju atau
lapangan sepak bola adalah cermin karakter suatu bangsa. Menurut dia,
sportivitas ternyata tak hanya terjadi dalam cabang olahraga, tetapi juga
dalam dunia pendidikan kita. Coba kita telisik.
Di Surabaya tahun lalu
ada guru yang memaksa seorang muridnya yang pintar agar memberikan sontekan
kepada murid lain saat ujian nasional (unas). Alasannya demi solidaritas.
"Apa kamu tega kalau teman-teman kamu tidak lulus." Begitu cara
sang guru memaksa.
Seusai ujian, si anak
pintar tadi mengadu kepada orang tuanya. Lalu, sang orang tua melaporkan
kasusnya ke dinas pendidikan. Akibatnya, kepala sekolah dan guru tadi dikenai
sanksi.
Namun, langkah sang
orang tua tadi membuatnya tidak disukai warga di sana. Warga malah mencaci
maki sikapnya. Dia pun dipaksa meninggalkan rumahnya. Akhirnya orang tua tadi
menyerah. Dia pun pindah rumah dari Surabaya ke Sidoarjo.
Begitulah, kecurangan
–sebuah sikap yang jelas sangat tidak sportif– bisa membuat kita mabuk. Kita
jadi sulit membedakan mana yang benar dan mana yang keliru. Kini pun di dunia
kerja kita saksikan para buruh dan eksekutif solider terhadap nasib temannya
yang akan dipecat gara-gara melakukan kecurangan.
Dan jangan heran kalau
ada oknum polisi juga solider terhadap bosnya yang karena satu dan lain hal
transaksi keuangannya tertangkap bidikan PPATK.
Bukan Kasus Terakhir
Saya pikir, setelah
kasus di Surabaya, kecurangan unas kali ini bakal berakhir. Apalagi,
pemerintah sudah memutuskan bahwa unas tidak menentukan kelulusan. Nyatanya,
itu pun tidak terjadi. Kecurangan terus saja berlangsung.
Contohnya unas
kemarin. Pada hari pertama, Senin, 13 April 2015, jam 10-an, soal unas sudah
bocor. Soal itu diunggah melalui akun Google Drive. Memang tidak banyak,
hanya 30 di antara 11.730 paket soal atau 0,25 persen. Namun, bagi saya,
tetap saja bocor dan mengindikasikan bahwa kecurangan terus saja terjadi.
Bukan hanya itu. Kunci
jawaban bahkan ternyata sudah beredar. Setelah unas, kunci jawaban bertebaran
di sebuah sekolah swasta di Medan. Menurut seorang wakil kepala sekolah di
sana, kunci jawaban itu akurat 100 persen.
Mereka mengaku
mendapatannya tidak secara gratis, tetapi dengan membeli.
Alasannya, meski unas
sudah tak lagi menentukan kelulusan, hasilnya tetap saja memengaruhi reputasi
sekolah. Kalau nilai unas rendah, untuk tahun ajaran berikutnya, tak ada
murid yang mau mendaftar ke sekolah swasta tersebut. Jadi, mereka terpaksa
membeli lembar jawaban unas demi menjaga reputasi sekolah. Apalagi,
sekolah-sekolah lain di Medan pun melakukannya.
Kita tentu prihatin
dengan perilaku yang sangat tidak sportif tersebut. Anda pernah mendengar
ungkapan bahwa kalau kerja koki restoran tidak benar, makanan jadi tidak enak
dan restorannya tidak laku. Atau, kalau kerja tukang bangunan tidak beres,
mungkin rumah kita jadi lebih cepat rusak. Tapi, apa jadinya kalau kerja
guru-guru kita yang tidak benar? Bangsa inilah yang rusak.
Kita tentu tidak ingin
bangsa ini menjadi rusak. Apalagi kalau pencetusnya hanya soal
"kecil", yakni unas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar