Polri
Kerja Keras, Masyarakat Tetap Waswas
Reza Indragiri Amriel ; Psikolog
Forensik,
Peserta Community Policing Development Program di
Jepang Optimasi
|
KORAN SINDO, 09 Mei 2015
Aksi-aksi yang
didemonstrasikan Reskrim Polri belakangan ini, di mata saya, tergolong
menjanjikan. Penilaian itu didasarkan pada empat alasan. Pertama, kerja Polri
diarahkan pada upaya pemberantasan korupsi.
Setelah berulang kali
dianggap kurang cekatan dalam penanganan kasus-kasus korupsi, sehingga kalah
pamor dengan KPK, Polri kini merespons dugaan korupsi pengadaan UPS di
sekolah-sekolah dengan memeriksa anggota DPRD dan dalam waktu dekat gubernur
DKI beserta jajarannya. Beberapa hari lalu Polri mendatangi kantor SKK Migas,
juga dalam rangka menelisik dugaan korupsi.
Kedua, kerja Polri
terarah ke dirinya sendiri, yakni penangkapan terhadap seorang perwira yang
dinyatakan telah menerima uang suap miliaran rupiah dari bandar narkoba.
Penindakan ke dalam dengan sasaran perwira, bukan sebatas level prajurit,
memperlihatkan upaya Polri mendobrak tradisi tirai biru (blue curtain code )
yang ditandai kecenderungan untuk menutup-nutupi kesalahan yang diperbuat
sesama anggota korps.
Ketiga, Polri
merespons tekanan publik untuk membasmi kebiasaan menyimpang berupa perilaku
kekerasan-eksesif oleh anggota kepolisian. Yaitu dengan menangkap Novel
Baswedan dalam kasus penganiayaan oleh anak buahnya terhadap tersangka pelaku
kejahatan. Keempat, operasi-operasi di atas ditampilkan secara high profile,
sehingga masyarakat luas bisa menyaksikan sekaligus menjadikannya sebagai
bahan perdebatan.
Kerja Polri seperti
dicontohkan di atas kiranya sudah memenuhi dua E, yaitu efektif dan efisien.
Tinggal satu E lagi, yakni ekuitas (equity ), yang masih perlu Polri yakinkan
kepada publik. Ekuitas menunjuk pada seberapa jauh kerja organisasi (dalam
hal ini Polri) telah sebangun dengan nilai-nilai etis, semisal fairness.
Nilai ini akan
terpenuhi manakala Polri bekerja semata-mata di atas fondasi hukum,
nondiskriminatif, serta bukan dilatarbelakangi oleh motif-motif ekstralegal
misalnya menyelamatkan harga diri, memenangkan persaingan antarlembaga
penegakan hukum, dan menjegal langkah hukum yang tengah dilakukan institusi
mitra.
Andai Reskrim Polri
mampu mempertahankan performanya dalam bidang penegakan hukum tanpa
menihilkan unsur equity, pantas untuk diramal bahwa statistik kejahatan akan
menunjukkan tren membaik. Tren statistik yang membaik, dalam anggapan publik
maupun polisi sendiri, ditandai oleh menurunnya statistik kejahatan
antarjangka waktu tertentu. Di negara semacam Amerika Serikat, menjadikan
statistik kejahatan sebagai indikator kinerja lembaga kepolisian telah
dipraktikkan sejak tahun 1930-an.
Dalam perkembangannya,
terjadi penyusunan cetak biru yang baru terhadap organisasi kepolisian
mereka. Tolok ukur positif negatifnya kinerja kepolisian pun direvisi
besar-besaran, termasuk dengan tidak lagi menjadikan statistik kejahatan
sebagai salah satu kriteria penilaian. Di Indonesia sendiri, statistik
kejahatan masih tetap dipandang sebagai elemen penting untuk mengukur kerja
Polri.
Statistik dimaksud
lebih pada naik-turunnya angka kejahatan dari waktu ke waktu. Itu tidak
salah, walau memang tidak lengkap. Idealnya, statistik kejahatan mencakup
pula data tentang jumlah pelaku yang diperiksa atau ditahan oleh polisi,
jumlah kasus yang berhasil dibawa ke pengadilan, serta kecepatan penanganan
kasus.
Jebakan Statistik
Ketika yang
ditonjolkan hanya pada naik turunnya angka kejahatan, data yang disajikan
Polri dari tahun ke tahun memang memperlihatkan statistik yang terus menurun.
Namun janggalnya adalah, merujuk The Intelligence Unit , hasil survei justru
mengategorikan Jakarta sebagai salah satu kota paling tidak aman di dunia. Di
situlah kritik terbesar terhadap penggunaan statistik sebagai bahan takar
terhadap kinerja kepolisian.
Membingungkan; kendati
statistik kejahatan secara ”objektif” menurun, mengapa khalayak luas tetap
merasa tidak aman? Seberapa mantap sebenarnya angka statistik kriminalitas
benar-benar menunjukkan jumlah kejadian kriminalitas dimasyarakat? Karena
statistik kejahatan disusun berdasarkan antara lain laporan masyarakat, bias
jika disimpulkan bahwa statistik yang rendah menunjukkan kejadian kejahatan
yang rendah pula.
Simpulan sedemikian
rupa dapat melenakan masyarakat dan utamanya polisi. Juga, tidak akurat apabila
statistik kejahatan yang tinggi sertamerta dianggap sebagai kacaunya keamanan
lingkungan. Anggapan seperti itu berisiko membuat moral panic menjadi
epidemi, yang diikuti maraknya aksi vigilantisme sebagai ”bahasa hukum ” yang
masya rakat artikulasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Alih-alih, lebih tepat
jika ditafsirkan bahwa rendahnya statistik kriminalitas dihasilkan oleh
menurunnya laporan masyarakat. Penurunan laporan masyarakat bukan pula
diakibatkan oleh kian sedikitnya anggota masyarakat yang menjadi korban
kejahatan. Penurunan itu, apalagi dikaitkan dengan kualitas relasi polisi dan
masyarakat, sangat mungkin disebabkan oleh apatisme masyarakat untuk
melaporkan peristiwa kejahatan yang telah mereka alami maupun saksikan.
Apatisme tersebut
dibentuk oleh tererosinya kepercayaan publik terhadap lembaga kepolisian.
Publik, terutama mereka yang pernah menjadi korban kejahatan, memersepsi
polisi bukan sebagai pemecah problem, melainkan justru sebagai pihak yang
memperumit problem. Dengan demikian, kembali ke inti persoalan, manakala
terjadi penurunan jumlah kejahatan sebagaimana yang institusi kepolisian
umumkan ke masyarakat, penurunan tersebut pantas ditanggapi dengan kegalauan.
Kepolisian patut
mencari tahu sebab-musabab masyarakat enggan melapor. Tambahan lagi, merujuk
pada penalaran di atas, penyajian data statistik ke publik justru pada
gilirannya dapat kontraproduktif bagi Polri, yaitu menularkan ”kemalasan”
dari satu warga ke warga lainnya untuk melaporkan peristiwa viktimisasi yang
mereka derita.
Sisi lain menurunnya
angka kriminalitas adalah berkaitan dengan kinerja personel kepolisian.
Statistik kriminalitas yang menurun boleh jadi diakibatkan oleh menurunnya
respons personel terhadap kejadian kejahatan. Kejahatan sesungguhnya telah
berlangsung, namun reaksi petugas kepolisian rendah bahkan tidak ada.
Akibatnya, peristiwa kejahatan tidak tercatat.
Apabila itu yang
terjadi, statistik kriminalitas sekarang dapat dimaknakan sebagai indikasi
taraf demoralisasi dan demotivasi personel kepolisian. Mereka seolah
kehilangan daya respons meskipun masyarakat telah menekan tombol panik.
Sembari Polri terus merapikan basis data statistik kejahatannya, lebih
mendasar lagi bagi para pemangku kepentingan untuk memastikan parameter guna
menakar kinerja organisasi Tribrata.
Satu hal yang pasti,
karena kerja penegakan hukum hanya mencakup tiga puluh persen dari total
kerja kepolisian, maka sudah sewajarnya unsur perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan mendapat porsi jauh lebih besar dalam pengukuran itu. Allahu aAllahu alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar