Perlambatan
Ekonomi & Countercyclical-Policy
Firmanzah ; Rektor Paramadina dan Guru Besar FEUI
|
KORAN SINDO, 11 Mei 2015
Setelah Badan Pusat
Statistik (BPS) mengumumkan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I
2015 yang jauh di bawah target pemerintah, yaitu sebesar 4,71%, pertanyaan
berikutnya, what next, akan sangat
tergantung dari kesigapan pemerintah dalam merumuskan kebijakan ekonomi yang
bersifat countercyclical.
Kebijakan ekonomi countercyclical sangat dibutuhkan saat
ini dan ditujukan untuk melawan tren perlambatan pertumbuhan ekonomi. Selain
itu, paket kebijakan ekonomi dapat mencegah perlambatan lebih dalam ekonomi
nasional di tengah perlambatan perekonomian kawasan dan global.
Paket kebijakan countercyclical dapat difokuskan untuk
mempertahankan daya beli masyarakat, mencegah terjadinya gelombang pemutusan
hubungan kerja (PHK), stimulus pajak agar industri dan dunia usaha lebih
bergairah, memperbesar belanja negara, meningkatkan gaji pegawai negeri, dan
memperkuat daya tahan sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Tanpa adanya kebijakan
untuk melawan tren perlambatan pertumbuhan ekonomi dikhawatirkan kepercayaan,
baik pelaku usaha maupun konsumen, terhadap prospek perekonomian nasional
sepanjang tahun 2015 akan terus menurun. Hal ini juga semakin meningkatkan
risiko tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi dalam APBN-P2015 yang
dipatok sebesar 5,7% dan agenda pembangunan lainnya.
Bahkan bila
dibandingkan dengan kuartal IV 2014, terjadi penurunan sebesar 0,18% (q to
q). Pemerintah saat ini berharap selesainya pembahasan APBN-P 2015 dan mulai
bergulirnya pembangunan infrastruktur dapat mendorong perekonomian nasional.
Namun tekanan ekonomi global dan regional melalui fluktuasi nilai tukar
rupiah, pelemahan pasar ekspor dunia, dan tergerusnya daya beli masyarakat
akibat kenaikan harga perlu mendapatkan perhatian khusus.
Kebijakan untuk
memitigasi dampak negatif tren pelemahan dunia usaha dan daya beli masyarakat
perlu segera dilakukan. Apabila kita sedikit melihat ke belakang, tantangan
ekonomi yang dihadapi oleh Indonesia saat ini agak berbeda bila kita
bandingkan ketika kita harus menghadapi dampak krisis subprime- mortgagedi
Amerika Serikat pada tahun 2008 dan guncangan pasar keuangan dunia akibat
krisis utang Eropa pada 2011.
Bila dua krisis yang
telah kita lalui disebabkan externalshock akibat melemahnya kinerja ekonomi
negara maju, saat ini situasinya berbalik karena justru membaiknya
perekonomian Amerika Serikat yang menciptakan instabilitas pasar keuangan dan
likuiditas dunia. Apabila pada tahun 2008 dan 2011, kondisi pasar domestik
dan daya beli masyarakat terjaga, yang kita hadapi saat ini justru
perlambatan perekonomian nasional juga dikontribusi utamanya oleh
faktor-faktor domestik.
Misalnya saja belum
optimalnya belanja modal, menurunnya daya beli masyarakat dan konsumsi
domestik. Kebijakan ekonomi countercyclical yang tepat dan terukur sangatlah
dibutuhkan. Koordinasi antara pemerintah-BI-OJK dan LPS juga perlu lebih
diintensifkan agar paket-kebijakan yang akan dikeluarkan tidak tumpang tindih
dan secara efektif dapat memitigasi tren perlambatan.
Selain itu, pemerintah
perlu berkoordinasi dengan dunia usaha untuk meningkatkan efektivitas
perumusan kebijakan yang akan dikeluarkan. Sejumlah asosiasi industri seperti
Kadin, Apindo, Hipmi, dan Hippi perlu diajak berkoordinasi untuk merumuskan
kebijakan yang paling tepat dan terukur.
Kepala daerah juga
perlu diajak berkoordinasi agar langkah dan strategi di tingkat pusat akan
mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah. Di tengah tren perlambatan
ekonomi, dunia usaha kita semakin memerlukan kepastian kebijakan pemerintah
untuk segera mengembalikan kepercayaandi tengah perlambatan ekonomi nasional.
Paket kebijakan untuk
memulihkan dan menstimulasi perekonomian nasional perlu segera dirumuskan
agar daya tahan perekonomian Indonesia semakin tinggi. Terlebih kita masih
menunggu kapan The Fed akan mengumumkan kenaikan suku bunga acuan yang
diperkirakan banyak pihak akan dilakukan pada Juni tahun ini.
Apabila The Fed
benar-benar merealisasi kenaikan suku bunga, pertumbuhan ekonomi nasional
akan semakin tertekan lagi akibat penyesuaian suku bunga yang akan diambil
Bank Indonesia sebagai respons terhadap kebijakan The Fed. Sebenarnya
Indonesia telah memiliki pengalaman melakukan kebijakan countercyclical lseperti
paket kebijakan yang diambil untuk mitigasi krisis subprime-mortgage 2008.
Pemerintah pada saat
itu menyusun paket kebijakan stimulus-fiskal yang ditujukan untuk
mempertahankan dan atau meningkatkan daya beli masyarakat demi mendorong
konsumsi, mencegah terjadinya PHK dan peningkatan daya saing serta daya tahan
dunia usaha di tengah krisis ekonomi dunia dan mencegah PHK serta terus
memperbesar lapangan kerja melalui belanja infrastruktur padat karya.
Hasilnya pertumbuhan
ekonomi nasional pada 2008 dapat dipertahankan sebesar 6,1%. Pada tahun 2009,
persis di saat krisis ekonomi dunia, pertumbuhan ekonomi mencapai 4,5% dan di
kuartal IV 2009 pertumbuhan ekonomi mencapai 5,4%. Setelah itu, di tahun 2010
tercatat pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 6,1%.
Paket stimulus-fiskal
disepakati bersama DPR pada saat itu dengan anggaran sebesar Rp73,3 triliun
yang terdiri atas stimulus perpajakan sebesar Rp56,3 triliun dan belanja
negara Rp17 triliun. Kebijakan mempertahankan daya beli masyarakat ditempuh
melalui beberapa program seperti meningkatkan gaji PNS dan TNIPolri, kenaikan
gaji pensiun dan Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Dari sisi penguatan
daya tahan dan daya saing dunia usaha, pemerintah menempuh pemberian
keringanan dan penurunan tarif pajak serta kepabeanan melalui penurunan tarif
pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung pemerintah,
bea masuk ditanggung pemerintah (DTP), fasilitas PPh Pasal 21 dan PPh Panas
Bumi.
Langkah ini ditempuh
untuk menjaga kelangsungan produksi sehingga risiko PHK dapat diminimalkan.
Pembangunan infrastruktur padat karya pada saat itu membantu penyerapan
tenaga kerja dan memberikan efek pengganda yang tidak kecil kepada daya beli
masyarakat.
Selain pemerintah,
Bank Indonesia juga melakukan kebijakan moneter yang bersifat countercyclical
untuk memitigasi dampak krisis ekonomi dunia di tahun 2009. Sejumlah
kebijakan ditempuh antara lain kebijakan untuk menurunkan tekanan inflasi
melalui penyesuaian suku bunga, kebijakan penguatan ketahanan sistem
perbankan, dan kebijakan untuk mencegah dampak krisis global terhadap
kelancaran sistem pembayaran nasional.
BI bersama dengan
pemerintah pada saat itu berhasil tidak hanya mencegah terjadinya risiko
sistemik akibat krisis ekonomi dunia, tetapi juga memperkuat daya tahan
perekonomian nasional. Tidak mengherankan apabila kinerja ekonomi di kuartal
IV 2009 dan sepanjang tahun 2010 memberikan perspektif optimistis tidak hanya
bagi dunia usaha, tetapi juga dari sisi konsumsi dalam negeri.
Saat ini ketika
Indonesia berada dalam pusaran ketidakpastian dan perlambatan perekonomian
dunia, paket kebijakan untuk memperkuat daya beli masyarakat serta dunia
usaha perlu segera dirumuskan.
Belajar dari
pengalaman masa lalu, paket kebijakan yang bersifat countercyclical tidak
hanya membantu di saat perlambatan ekonomi terjadi, tetapi juga sebagai
penguatan fundamental ekonomi agar proses pemulihan dapat berjalan secara
cepat. Paket kebijakan berupa stimulus fiskal dan moneter membutuhkan
koordinasi kebijakan agar terpadu dan efektif.
Terlebih saat ini baik
dunia usaha maupun konsumen dalam negeri sangat membutuhkan kebijakan yang
dapat memulihkan kepercayaan dan optimisme akan prospek perekonomian nasional
setelah melambatnya pertumbuhan ekonomi triwulan I 2015. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar