Normalisasi
AS-Kuba
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Direktur Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 06 Mei 2015
Diplomasi medis adalah
salah satu pendekatan yang dilancarkan Pemerintah Kuba terhadap dunia. Dunia
telah mengenal para dokter dan tenaga kesehatan Kuba sebagai pasukan medis
yang dapat diandalkan dalam menangani masalah yang terkait dengan bencana.
Dalam tsunami di Aceh 2004, Kuba mengirimkan 25 dokter, kemudian saat gempa
di Yogyakarta 2006 dikirimkannya ratusan tenaga kesehatan.
Kuba juga mengirimkan
165 dokter ke Sierra Leone dan 296 dokter ke Liberia dan Guinea saat kasus
ebola meledak. Kuba adalah negara yang paling banyak mengirimkan dokter dan
paling cepat dari siapa pun di dunia ini. Total tenaga medis yang dikirim
lebih dari 50.000 orang di 66 negara. Pendekatan soft-diplomacy ini yang mampu membuat citra Kuba tetap bersinar
bersih di panggung politik internasional walaupun telah diisolasi selama
lebih dari 50 tahun oleh politik Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
Diplomasi itu yang
membedakannya dengan pendekatan negara sosialis lain seperti Korea Utara yang
lebih mengedepankan pendekatan diplomasi keras dan konfrontatif terhadap
negara-negara Barat. Hasil langsung yang diterima dari pendekatan diplomasi
yang tak kenal lelah ini adalah normalisasi hubungan AS dengan Kuba yang
dilakukan pada 17 Desember 2014, yakni antara Presiden Barack Obama dan Presiden
Raul Castro.
Barack Obama dalam Konferensi
Tingkat Tinggi Negara-Negara Amerika Latin yang baru pertama kali diikuti
Kuba setelah absen 20 tahun mengatakan bahwa AS tidak akan dipenjarakan oleh
masa lalu. AS mencari masa depan. Dengan nada sedikit bercanda, Presiden
Obama mengatakan bahwa dirinya tidak tertarik untuk terlibat dalam
pertarungan yang dimulai bahkan sebelum ia lahir.
Pendapatnya itu
merujuk pada kebijakan embargo yang dilancarkan kepada Kuba mulai tahun 1960
oleh AS dan diikuti sekutu mereka di Eropa. Sejak tahun itu, kebijakan
embargo tidak pernah kendur, bahkan terus- menerus diperketat setiap tahunnya
melalui Cuba Democracy Act 1992 dan
Helm-Burton Act 1996. Helm-Burton Act menandai embargo
ekonomi atas Kuba.
Sementara Cuba Democracy Act memuat tiga
larangan penting, yaitu pelarangan perusahaan-perusahaan Amerika melakukan
transaksi dagang dengan Kuba, pelarangan warga negara AS untuk berkunjung ke
Kuba, dan pelarangan untuk mengirimkan remitansi ke Kuba. Undang-undang itu
dan peraturan lain adalah pekerjaan rumah yang harus dihadapi Barack Obama
ketika membuka normalisasi hubungan dengan Kuba.
Sebab saat ini kongres
didominasi kekuatan Partai Republik. Normalisasi hubungan AS dan Kuba
mensyaratkan amendemen beberapa peraturan yang dianggap terlalu ketat dan
tidak mencerminkan semangat normalisasi tersebut. Partai Republik sudah
jauh-jauh hari mengatakan akan siap menghadang kebijakan luar negeri Obama
tersebut.
Senator Marco Rubio
mengatakan perubahan (normalisasi) akan melegitimasi pemerintahan yang tanpa
rasa malu telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan tidak
membantu mereka yang hak asasinya telah dilanggar. Serangan serupa mungkin
akan dialami seperti halnya kesepahaman pembicaraan dengan Iran mengenai nuklir.
Di Kuba, normalisasi
juga mengandung implikasi reformasi politik dan ekonomi. Salah satu langkah
untuk menunjukkan niat baik itu adalah dengan melepaskan Alan Gross yang
telah ditahan selama lima tahun oleh Pemerintah Kuba atas tuduhan melakukan
kegiatan mata-mata pada bulan Desember tahun lalu. Sementara Obama pada bulan
April telah mengusulkan ke Kongres agar Kuba dihapus dari daftar negara
pendukung terorisme.
Kuba masuk dalam
daftar itu sejak 1982 karena dianggap memberikan pelatihan kepada pemberontak.
Langkah lain adalah melonggarkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang menghambat
akumulasi modal dan membuat kebijakan antikorupsi untuk meyakinkan investor
agar datang ke Kuba. Hal ini adalah pekerjaan yang juga sulit karena
Pemerintah Kuba perlu mempertimbangkan sektor-sektor mana yang perlu
diliberalisasi dan mana yang masih perlu diproteksi.
Masalah HAM dan
demokrasi mungkin adalah reformasi yang belum bisa dibayangkan. Sistem
politik Kuba yang menganut sistem satu partai seperti halnya China diramalkan
akan mengalami reformasi secara perlahan-lahan ketimbang radikal. Reformasi
ini bukan sesuatu yang dapat dihindarkan karena Raul Castro telah berumur 83
tahun. Oleh sebab itu dia telah mengumumkan untuk mengakhiri kekuasaannya
pada 2018.
Namun mengharapkan
Kuba mengubah sistem politiknya saat ini adalah sesuatu yang jauh dalam
bayangan mereka. Castro mengatakan dia dipilih sebagai presiden bukan untuk
meletakkan sistem kapitalisme ke Kuba, tetapi untuk mempertahankan, menjaga,
dan melanjutkan sistem sosialisme serta tidak untuk menghancurkannya.
Pernyataan yang tegas
itu sekaligus menjadi koridor tentang hal-hal apa saja yang dapat dilakukan
dan tidak bisa dilakukan dalam proses normalisasi hubungan Kuba dengan dunia
Barat. Apa yang menarik dari normalisasi hubungan ini adalah kecenderungan
negara-negara besar yang umumnya mengedepankan pendekatan keras telah berubah
menjadi pendekatan yang lebih lunak.
Di kawasan Amerika
Latin dan Asia, perubahan tersebut lebih terasa ketimbang di Timur Tengah.
Faktor yang mendorong perubahan itu tidak semata-mata kesadaran subjektif
politik, tetapi juga pertimbangan objektif ekonomis, yaitu AS dan Eropa perlu
mencari lahan-lahan pasar baru yang selama ini mereka tinggalkan karena
perbedaan politik peninggalan perang dingin. Lahan- lahan itu selama ini
lebih banyak ”digarap” negara-negara yang tidak segaris politik dengan mereka
seperti di kawasan Amerika Latin sendiri ataupun China.
Kuba juga perlu
membuka diri karena perekonomian mereka tidak cukup kuat ketika hanya
menggantungkan diri kepada sekutu tradisional yang memiliki aliran politik
sosialis seperti Venezuela atau Bolivia. Kuba merasa bahwa ketidakstabilan
politik di Venezuela juga akan berdampak langsung pada perekonomian mereka.
Karena itu, sejak 2014 Kuba telah mendiversifikasi hubungan ekonominya dengan
Brasil, Rusia, China, dan Afrika Selatan.
Diversifikasi itu pun
belum cukup karena Rusia dan Brasil juga mengalami ketidakstabilan ekonomi di
dalam negeri sehingga mendorong Kuba untuk melebarkan sayap lebih lebar lagi
ke negara-negara lain. Bagi kita di Indonesia, alasan- alasan yang
melatarbelakangi normalisasi hubungan antara AS dan Kuba menjadi pelajaran
yang berharga dalam mengelola hubungan diplomasi dengan negara-negara di
kawasan.
AS dan Kuba samasama
mempelajari bahwa ketergantungan dengan satu kawasan apalagi dengan satu
negara sangat rentan seiring dengan pasar ekonomi yang bergerak cepat turun
dan naik. Satu negara dapat kuat di satu waktu, tetapi dapat juga jatuh
dengan cepat di waktu yang lain.
Untuk mengantisipasi
hal itu, tugas diplomasi kita harus semakin hebat dalam arti tetap merawat
hubungan baik dengan banyak negara tanpa mengorbankan kedaulatan atau
kepentingan masyarakat banyak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar