Menyikapi
Perang (Sektarian) Yaman
Hasibullah Satrawi ; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia
Islam;
Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Jakarta
|
KORAN SINDO, 30 April 2015
Kantor Kedutaan Besar
Republik Indonesia (KBRI) di Yaman menjadi korban serangan yang dilakukan
oleh koalisi Arab Saudi terhadap gudang persenjataan kelompok Houthi di Sanaa
kemarin (20/04). Setidaknya ada dua staf kedutaan kita yang menjadi korban
serangan yang disinyalir tidak diarahkan langsung ke kantor KBRI tersebut.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa konflik Yaman semakin tidak terkendali.
Pemerintah harus
mengambil keputusan cepat dan akurat untuk memastikan ada perlindungan
terhadap warga negara kita di sana, termasuk simbol negara seperti kantor
kedutaan ataupun staf kedutaan. Tentu dibutuhkan ada kajian yang mendalam dan
intensif terhadap konflik yang terjadi di Yaman saat ini sebagai basis
kebijakan yang dibutuhkan.
Menjadi Sektarian
Pada tahap tertentu,
perang yang terjadi di Yaman saat ini dapat disebut sebagai perang sektarian,
setidak-tidaknya perang mengatasnamakan sekte. Dikatakan demikian karena
sentimen sektarian inilah yang membuat kelompok minoritas seperti Houthi
dibuat mampu menaklukkan Ibu Kota Yaman, bahkan menjadikan Presiden dan
Perdana Menteri Yaman sebagai tahanan rumah (21 Januari) sebelum akhirnya
menyatakan memundurkan diri (23 Januari) dan meneguhkan diri kembali sebagai
presiden yang sah.
Karena alasan kurang
lebih sama, Arab Saudi beserta negara-negara koalisinya pun menyerang Yaman
sejak 26 Maret lalu. Awalnya konflik di Yaman merupakan konflik politik yang
jamak terjadi di negara-negara lain, khususnya saat negara tersebut baru
terbebas dari rezim otoriter yang berkuasa selama puluhan tahun.
Sebagaimana dimaklumi,
setelah Ali Abdullah Saleh berhasil dilengserkan paksa (oleh rakyat dan
negara-negara pendukungnya) pada 2012, Yaman kerap dilanda pelbagai macam
konflik. Baik konflik yang bersifat kesukuan, golongan, politik,
maupunyanglainnya. Sentimen sektarian telah membuat konflik-konflik yang
terjadi di Yaman pascalengsernya Ali Badullah Saleh secara cepat menjalar,
bahkan menjadi pemicu peperangan antarnegara seperti sekarang.
Dalam konteks politik,
sentimen sektarian tentu tidak menyebar dengan sendirinya, melainkan ada
pihak- pihak yang secara sengaja memainkan sentimen sektarian tersebut. Di
Timur Tengah, isu sektarian jauh lebih provokatif, bahkan dibanding isu
konflik antaragama sekalipun.
Perlawanan Houthi dan Ali Abdullah Saleh
Sejak akhir 2014
hingga awal tahun ini, pergerakan kelompok Houthi di Yaman acap mengejutkan
banyak pihak. Betapa tidak, kelompok yang awalnya tidak terlalu besar ini
(untuk tidak mengatakan kecil) tiba-tiba diberitakan berhasil menguasai Ibu
Kota Yaman pada 21 September 2014.
Aksi spektakuler
kelompok ini terus berlanjut hingga mampu menyandera presiden dan perdana
menteri Yaman pada 21 Januari 2015 di istananya. Puncaknya kelompok Houthi
melakukan Deklarasi Konstitusi (Al-Ilan Ad-Dustury ) pada 6 Februari lalu
sekaligus mengakhiri konstitusi lama yang berlaku di Yaman.
Sebagaimana dimaklumi,
kelompok Houthi merupakan bagian dari aliran Syiah (Zaidiyah) yang bersifat
minoritas di Yaman (mayoritas dari kalangan Sunni). Meski demikian, kelompok
yang sejak terjadi Arab Spring (Musim Semi Arab) kerap menyebut diri dengan
nama Ansharullah ini pernah berkuasa di Yaman, khususnya di Yaman Utara
sebelum Yaman berbentuk republik pada 1962.
Pertanyaan, mengapa
kelompok Houthi tampak begitu mudah menguasai Ibu Kota Yaman pada 21
September lalu yang kemudian dengan mudah mereka juga menyandera presiden di
istananya? Apakah ini disebabkan oleh dahsyatnya kekuatan kelompok Houthi
atau karena ada kekuatan lain yang secara sengaja mendorong Houthi untuk
melakukan ”penaklukan-penaklukan” sebagaimana di atas?
Tentu jawabannya
adalah yang terakhir. Dengan kata lain, ada pihak lain di belakang Houthi
yang terus memberikan dukungan dalam aksi-aksi militernya mutakhir. Pihak
lain dimaksud tak lain adalah mantan Presiden Ali Abdullah Saleh (beserta
para loyalisnya) yang sengaja ”dilengserkan” oleh negara- negara pendukungnya
(Amerika Serikat dan Negara-negara Arab Teluk) untuk menjawab revolusi rakyat
Yaman pada 2012.
Untuk menggantikan
Saleh, diangkatlah Abd-Rabbu Mansour Hadi yang juga dikenal sebagai salah
satu tokoh yang loyal terhadap Abdullah Saleh. Karena itu, apa yang terjadi
di Yaman belakangan ini dapat disebut sebagai aksi perlawanan dari kelompok
Houthi dan Abdullah Saleh sekaligus. Kelompok Houthi hendak melawan kelompok
Sunni yang selama ini menguasai Yaman.
Untuk mencapai
tujuannya tersebut, Houthi rela bekerja sama dengan para loyalis Ali Abdullah
Saleh yang pada waktu-waktu sebelumnya justru kerap menghancurkan mereka.
Sebaliknya, dengan memanfaatkan kelompok Houthi, Ali Abdullah Saleh hendak
melawan negara-negara pendukungnya (seperti Amerika Serikat dan Negara-Negara
Arab Teluk) yang selama ini tidak merestui Saleh untuk kembali ke puncak
pemerintahan Yaman kembali.
Sebagaimana dimaklumi,
pada masa pemerintahannya, Ali Abdullah Saleh menjadi mitra strategis bagi
Amerika Serikat dan Arab Saudi untuk kepentingan yang berbeda. Kepentingan
Arab Saudi adalah agar Ali Abdullah Saleh bisa mengendalikan kelompok Houthi
yang berpusat di Yaman dan terdapat di Arab Saudi. Sedangkan kepentingan
Amerika Serikat adalah melawan kelompok Al- Qaeda di Yaman (AQAP).
Fase Sektarianisasi
Kondisi politik
seperti inilah yang membuat perang di Yaman saat ini dapat disebut sebagai
perang sektarian. Seandainya bukan Houthi yang melakukan kudeta politik di
Yaman mutakhir (katakan seperti kelompok Ikhwan Muslimin atau kelompok
politik lainnya), kemungkinan besar Arab Saudi dan negara-negara koalisinya
tidak akan melakukan intervensi militer secara langsung seperti sekarang yang
mengakibatkan ribuan rakyat tak berdosa harus menjadi korban, baik korban
luka-luka atau bahkan korban jiwa.
Tentu perang sektarian
di Yaman saat ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sosial- politik di
Timur Tengah yang belakangan mengalami fase ”sektarianisasi”. Fase ini
berawal dari krisis politik di Suriah yang acap berkembang menjadi konflik
sektarian antara rezim Bashar al-Assad yang dikenal dari golongan Syiah dan
para kelompok revolusi beserta segenap pendukungnya dari kelompok Sunni
(termasuk Arab Saudi).
Dalam konteks Suriah,
sektarianisasi konflik di sana bahkan telah menarik minat para jihadis
internasional untuk bergabung dan kemudian membentuk kelompok sendiri dikenal
dengan nama ISIS. Sektarianisasi konflik politik kini terjadi di Yaman.
Dibanding yang terjadi di Suriah, sektarianisasi konflik politik terjadi di
Yaman berlangsung secara lebih vulgar, bahkan menjadi perang antarnegara
seperti sekarang.
Semua pihak harus
mewaspadai perang ini agar tidak berkembang menjadi panggilan terbuka bagi
kaum jihadis internasional untuk terlibat dalam perang ini. Bila ini sampai
terjadi, eksodus kaum jihadis internasional dari pelbagai macam negara akan
semakin masif terjadi ke wilayah-wilayah konflik di Timur Tengah, termasuk
dari Indonesia.
Sikap Indonesia
Ada beberapa hal yang
harus dilakukan oleh Indonesia dalam menyikapi perang yang terjadi di Yaman,
khususnya pasca- KBRI kita terkena serangan juga. Pertama, memberikan protes
keras terhadap negara-negara yang terlibat dalam perang di Yaman terkait
penyerangan KBRI kita, termasuk dengan memanggil para duta besar dari
negara-negara tersebut.
Ini sangat penting
dilakukan untuk menegakkan kehormatan dan kedaulatan bangsa kita. Kedua,
memberikan perlindungan maksimal terhadap warga negara Indonesia yang ada di
Yaman, mulai dari para mahasiswa, buruh migran, atau bahkan para staf
kedutaan.
Upaya evakuasi yang
dilakukan pemerintah harus berjalan secara lebih cepat dan mampu meyakinkan
para warga negara Indonesia di sana untuk segera meninggalkan Yaman. Ketiga,
melakukan upaya pencegahan menyeluruh agar tidak ada warga negara Indonesia
yang melibatkan diri dalam perang ini. Hal demikian sangat penting dilakukan,
mengingat perang ini bernuansa sektarian, sebagaimana telah disampaikan di
atas.
Tanpa pencegahan dini,
bukan tidak mungkin perbatasan Yaman justru dianggap sebagai pintu-pintu
menuju surga, khususnya bagi mereka yang terpesona oleh semangat
sektarianisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar