Janji
Jokowi Buka 10 Juta Lapangan Kerja
Okky Asokawati ; Anggota Komisi IX DPR, Fraksi PPP
|
JAWA POS, 01 Mei 2015
SEJAK 2014, 1 Mei
resmi menjadi hari libur nasional dalam rangka memperingati Hari Buruh
Internasional (May Day). Peringatan itu tentu harus dimaknai bukan sekadar
seremoni atau libur kerja. Lebih dari itu, peringatan Hari Buruh harus
berimplikasi nyata bagi peningkatan kualitas hidup buruh dan kemajuan
produktivitas usaha di tanah air.
Persoalan perburuhan
berkorelasi erat dengan sejumlah masalah ketenagakerjaan yang hingga kini
masih menjadi persoalan. Misalnya persoalan penetapan upah minimum provinsi
(UMP) yang kerap menjadi momok persoalan antara buruh dan perusahaan,
termasuk pemerintah. Belum lagi hak-hak primer buruh yang dalam praktik di
lapangan tidak sedikit masih kerap dialpakan.
Relasi yang adil,
setara, serta saling mendukung mestinya menjadi role model ideal antara buruh
dan perusahaan. Tidak tepat bila buruh ditempatkan sebagai pihak yang
tenaganya diperas tanpa memperhatikan hak-haknya. Tidak tepat juga bila
perusahaan dijadikan sapi perah atas nama kesejahteraan buruh, namun di sisi
lain produktivitas kerja tidak meningkat.
Di pihak lain,
pemerintah juga harus menempatkan diri di posisi tengah sebagai regulator
demi kondusivitas iklim usaha. Bila usaha berjalan lancar, perekonomian
tumbuh, aktivitas ekonomi masyarakat berjalan, dan dampak positif lain akan
muncul. Hari Buruh mestinya dijadikan momentum peneguhan pelaksanaan amanat
konstitusi pasal 28D ayat (2) UUD 1945 dan pasal 23 ayat 1–4 Deklarasi Umum
Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Buruh Migran yang Terabaikan
Buruh bukan sekadar
persoalan pekerja di dalam negeri. Urusan buruh migran tak kalah pelik.
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan eksekusi mati dua buruh migran di Arab
Saudi, yakni Siti Zaenab dan Karni. Saat ini sedikitnya 230 buruh migran
terancam hukuman mati.
Eksekusi mati dua
buruh migran itu menampilkan wajah nyata pemerintahan saat ini yang gagap
dalam merespons persoalan warganya, khususnya di luar negeri. Bisa
dibayangkan, pemerintah dan pemangku otoritas baru mengetahui bahwa warga
negaranya dieksekusi mati beberapa jam sebelum pelaksanaan eksekusi. Apa
begitu cara pemerintah melindungi warganya?
Janji negara untuk
hadir dalam persoalan yang menimpa warganya akhirnya terasa seperti peluru
hampa saja. Padahal, konstitusi secara tegas mewajibkan negara menjaga satu
nyawa warganya tanpa pandang bulu. Kehadiran negara dipertanyakan dalam
eksekusi mati Siti Zaenab dan Karni. Padahal, salah satu janji Presiden
Jokowi dalam Nawacita saat pilpres lalu menyatakan bahwa negara hadir dalam
memberikan perlindungan terhadap warganya.
Hingga enam bulan
pemerintahan Jokowi, perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) masih sebatas
retorik dengan cara yang masih business as usual. Betul memang ada upaya
pemulangan sejumlah TKI bermasalah oleh pemerintah. Namun, apakah di situ
ujung pangkal penyelesaian karut-marut persoalan TKI?
Sejatinya pemerintahan
Jokowi telah memiliki resep jitu dan esensial untuk meminimalkan persoalan
TKI. Janji Presiden Jokowi saat Pemilu Presiden 2014 untuk membuka 10 juta
lapangan pekerjaan selama lima tahun ke depan tentu merupakan langkah nyata
untuk mengurangi keberangkatan TKI informal di kantong-kantong pengiriman
TKI. Bagaimana kemajuan dari janji Presiden Jokowi itu?
Menagih Peta Jalan 10 Juta Lapangan Kerja
Indikator untuk
mengukur sukses tidaknya atau jalan tidaknya janji 10 juta lapangan kerja
oleh pemerintahan Jokowi tentu mudah. Setidaknya dengan menggunakan logika
matematika awam, cukup mudah menghitungnya.
Jika dalam satu
periode jabatan pemerintahan Jokowi (lima tahun) menjanjikan 10 juta lapangan
kerja baru, berarti selama satu tahun sedikitnya terdapat 2 juta lapangan
kerja baru. Dengan kata lain, selama enam bulan pemerintahan Jokowi saat ini,
sudah ada 1 juta lapangan kerja baru. Apakah itu terealisasi? Semua bisa
menjawabnya.
Bila terealisasi
dengan baik, janji membuka 10 juta lapangan kerja baru itu memiliki efek
domino luar biasa yang positif. Pengiriman TKI informal tentu akan dapat
ditekan, bahkan distop sebagaimana pernyataan presiden saat berpidato di
acara salah satu partai politik. Tentu angka kemiskinan secara linier akan
ditekan semaksimalnya.
Sejalan dengan itu,
parlemen berencana melakukan perubahan terhadap UU No 39 Tahun 2004 yang
telah masuk daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015.
Saat Komisi IX DPR menggelar rapat kerja dengan Menteri Ketenagakerjaan Hanif
Dhakiri pertengahan April lalu (13/4), saya pertanyakan langsung road map
program kerja penciptaan 10 juta lapangan kerja baru. Sayang, peta jalan
untuk menciptakan 10 juta lapangan kerja baru hingga saat ini belum muncul
dari pemerintah.
Padahal, tantangan di
depan mata tengah kita hadapi secara terang dan nyata. Antara lain
pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun ini yang
berdampak masuknya tenaga kerja asing ke dalam negeri, daya beli masyarakat
yang menurun karena efek kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), nilai tukar
rupiah terhadap dolar yang belakangan anjlok, serta penerimaan pajak yang
tidak sesuai target. Sejumlah persoalan itu tentu menjadi tantangan yang
tidak ringan.
Persoalan klasik
rupanya juga menghinggapi pemerintahan Jokowi. Koordinasi antar kementerian
dan lembaga masih menjadi hal yang mewah sekaligus langka. Untuk menunaikan
janji Presiden Jokowi, semestinya para pembantu presiden bahu-membahu
merealisasikan janji itu. Tentu persoalan tersebut tidak hanya tertumpu pada
Kementerian Ketenagakerjaan. Ada kementerian lain yang bertalian.
Jika janji 10 juta
lapangan kerja baru tertunaikan, saya yakin bahwa persoalan ketenagakerjaan
yang muncul akan mudah terurai. Kasus TKI di luar negeri tentu secara
simetris dapat ditekan. Kasus yang menimpa Siti Zaenab dan Karni secara
teoretis dapat diminimalkan untuk jangka panjang seiring dengan tersedianya
lapangan pekerjaan di Tanah Air. Mengutip peribahasa populer, janji adalah
utang, Pak Presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar