ISIS
dan Sindrom Perang Salib
Sumiati Anastasia ; Lulusan University of Birmingham, untuk
relasi Islam-Kristen
|
KORAN TEMPO, 08 Mei 2015
Sebuah video buatan
Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pada 20 April memperlihatkan adegan
horor. Sekitar 30 penganut Kristen Ethiopia ditembak dan dipenggal di Libya.
Milisi ISIS menyebut warga Kristen Ethiopia sebagai pelaku Perang Salib yang
membunuh muslim.
Apa yang dilakukan
ISIS dengan menyebut Perang Salib bukanlah hal yang baru. Dulu, Usamah bin
Ladin dengan Al-Qaidah-nya dan dua gembong teroris Malaysia, mendiang Dr
Azahari dan Noor Din M. Top, yang meneror negeri kita, juga gemar menyebut
Perang Salib. Bahkan perang itu dikatakan masih terus berlangsung hingga
sekarang. Hal ini jelas berpotensi merusak relasi Islam-Kristen.
Tentang Perang Salib,
pertama dilancarkan pada 1095 oleh Paus Urbanus II guna menguasai kembali
kota suci Yerusalem dan Tanah Suci Palestina dari kaum muslim. Perang ini
berseri sampai delapan episode, berakhir dengan rontoknya benteng terakhir
Kristen di Akko pada 1291.
Sementara ISIS atau
para teroris membesar-besarkan perang itu, ada sejarawan Islam yang justru
mengecilkan eskalasinya. Kini sudah banyak buku yang obyektif atau cover both
sides dalam mengulas Perang Salib.
Menurut sejarawan Ibn
Khaldun (w.1404), serangkaian peristiwa Perang Salib itu merupakan persoalan
yang kecil saja. Dalam karyanya yang tebal, Muqqadima atau Introduction to
History, satu-satunya rujukan ke Perang Salib disajikan dalam sedikit paragraf
atau dua tiga kalimat saja, yakni mengenai kontrol angkatan laut atas
wilayah-wilayah Mediterania dan dua atau tiga kalimat mengenai masjid-masjid
dan bangunan-bangunan suci di Yerusalem. Mengapa demikian?
Pasalnya, ketika
Yerusalem jatuh ke tangan tentara Salib, kekuasaan Islam yang paling besar
saat itu dipegang oleh Dinasti Seljuk. Dinasti ini mengontrol Bagdad dan
sebagian besar pusat kebudayaan Islam di timur. Dan pusat pemerintahan ada di
Kota Isfahan, terletak sekitar 340 km selatan Teheran-Iran. Orang-orang di
Isfahan tidak begitu peduli dengan perang yang tengah terjadi Yerusalem.
Karena itu,
pengembangan wacana Perang Salib oleh ISIS, para teroris, atau golongan garis
keras harus disikapi dengan bijak. Jika kita meyakini besarnya eskalasi
perang itu, bahkan yakin perang itu masih terus berlangsung hingga kini,
jelas hal ini kontraproduktif bagi relasi Islam-Kristen.
Dalam buku Islam,
Modernism and The West, cendekiawan muslim Muhammed Arkoun mengingatkan, cara
pandang yang hanya mempertentangkan Islam-Kristen harus ditinggalkan dan
sebaiknya lebih fokus pada kerja sama, karena akan menentukan bagi perdamaian
dunia.
Sisi baiknya, misalnya
dalam perang itu umat Kristiani asli Timur Tengah, seperti Siria Ortodoks,
justru lebih pro-kaum muslim dan anti-tentara Salib. Dalam konteks budaya,
Perang Salib itu mendorong terjadinya pertukaran budaya Barat dan Islam yang
positif kontribusinya bagi dunia, mulai dari filsafat, matematika,
perdagangan, hingga kemiliteran, dan lain sebagainya.
Tentang Ethiopia, umat
Islam zaman ini jangan lupa akan kontribusi Raja Negus-dari Abisinia
(Ethiopia) yang Kristen tapi melindungi para pemeluk agama Islam dari Jazirah
Arab, atas permintaan Nabi Muhammad di awal sejarah Islam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar