Sosialisasi
Ignatius Haryanto ; Peneliti di LSPP Jakarta
|
KORAN
TEMPO, 26 Agustus 2014
Kata "sosialisasi" memang sering
diucapkan oleh banyak pejabat pemerintah, namun kerap kali ia terlupakan atau
terlewatkan sebelum dilaksanakan. Misalnya, saat perhatian sebagian
masyarakat Indonesia sedang terfokus pada mudik dan kembali ke Jakarta, tanpa
sosialisasi tiba-tiba BPH Migas melakukan "kebijakan pengendalian
BBM" pada awal Agustus lalu.
Diakui atau tidak, pemerintah yang terlampau
banyak memusatkan perhatian pada dirinya (self
centered) memang suka menyepelekan sosialisasi. Padahal, bagaimanapun
juga, masyarakat membutuhkan waktu dan persiapan yang cukup untuk memahami,
kemudian menyesuaikan diri pada kebijakan baru tersebut.
Sebenarnya, kebijakan yang baik akan
melibatkan partisipasi banyak pihak terkait. Jika ada ruang partisipasi, kita
bisa mengantisipasi kerumitan ataupun dampak kebijakan baru tersebut. Baru
setelah semua hal dihitung dan kemudian diputuskan dimulailah tahap untuk
mengumumkan hal ini kepada publik, seraya memberi ruang-waktu yang cukup bagi
masyarakat untuk melakukan transisi menuju kebijakan baru.
Sayang sekali, yang sering terjadi, pemerintah
merasa sudah mensosialisasi jika menempelkan sepotong kertas A4 di depan kaca
ruang instansi tersebut, atau mengumumkan via rilis atau bicara kepada media
massa. Tentu saja dua cara ini keliru dan sangat tidak memadai untuk
mengantisipasi perubahan yang dihasilkan kebijakan baru tersebut.
Lihat saja yang dilakukan pemerintah Singapura
ketika memperkenalkan kebijakan baru. Singapura membutuhkan beberapa bulan
untuk memperkenalkan kebijakan baru penggunaan kartu elektronik dalam sistem
transportasi mereka pada awal 2000-an. Ada iklan layanan masyarakat di
televisi, keterangan pemerintah di surat kabar dan pemberitaan televisi,
serta ada beberapa cara lain yang digunakan untuk mensosialisasi kebijakan
baru tersebut. Selain itu, di berbagai stasiun dan terminal, ada poster yang
menjelaskan detail perubahan kebijakan tersebut. Dengan sejumlah cara tadi,
konsumen pun terpapar oleh informasi yang memadai untuk perubahan kebijakan
baru itu.
Biasanya, jika suatu kebijakan baru
diterapkan, lalu masyarakat memprotes, barulah pemerintah menaruh perhatian
serius terhadap kebijakan yang disorot tersebut. Atau pemerintah menunggu
hingga protes mereda, dan kembali "memaksakan" kebijakannya.
Sungguh bukan contoh kerja yang baik dan efisien.
Masyarakat Indonesia berharap pemerintah baru
nanti akan memberi perhatian yang lebih besar dalam urusan sosialisasi
kebijakan-kebijakan baru. Soal metode sosialisasi, silakan dipikirkan
pemerintah mendatang, entah lewat blusukan ataupun cara-cara lainnya. Yang
penting masyarakat menjadi tahu duduk perkaranya, mengetahui perubahan
kebijakan, dan mengetahui manfaat apa dari perubahan kebijakan tadi. Tanpa
itu, masyarakat tak akan patuh pada program-program pemerintah yang ada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar