Jumat, 25 April 2014

Sertifikasi dan Akuisisi BTN

Sertifikasi dan Akuisisi BTN  

Arif Minardi  ;   Anggota Komisi VI DPR
KORAN JAKARTA, 23 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Rencana Bank Mandiri mengakuisisi Bank Tabungan Negara (BTN) mendapat tentangan dari serikat pekerja (SP) karena belum ada penjelasan lengkap terkait penggabungan. SP beraksi unjuk rasa besar-besaran terkait karier dan kesejahteraan ke depan.

Tampaknya ada miskomunikasi antara SP dan pemerintah (kementerian BUMN). Belum ada informasi dan penjelasan komprehensif kepada seluruh karyawan BTN. Setiap akuisisi biasanya dilakukan untuk meningkatkan daya saing perusahaan (perbankan nasional) dan efisiensi. Dalam akuisisi, seharusnya juga dipikirkan konsep dan pranata kompetensi SDM serta pengembangan karier karyawan.

Tak bisa dimungkiri, akuisisi bisa memangkas jumlah anggota direksi, manajemen atas, dan mungkin karyawan biasa BTN. Penggabungan BTN ke Mandiri bisa saja dilakukan, apalagi sesama bank pelat merah.

Malahan Madiri juga hasil penggabungan beberapa bank pelat merah: Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), serta Bank Expor Impor (Exim). Kebetulan, penggabungan itu membuahkan kinerja lebih kuat.

Jika terwujud, penggabungan Mandiri dan BTN melahirkan bank dengan aset terbesar di Indonesia, sekitar 864,27 triliun rupiah. Aset Mandiri pada 2013 mencapai 733,1 triliun rupiah, sementara aset BTN mencapai 131,17 triliun rupiah.

Aset hasil penggabungan diharapkan bisa meningkatkan daya saing industri perbankan nasional di tingkat regional maupun global, termasuk guna menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC).

Yang terbaik dalam menghadapi resistensi karyawan BTN terkait penggabungan adalah merumuskan sebaik mungkin kompetensi SDM. Kompleksitas persoalan perbankan nasional, selain menyangkut masalah teknis, adalah sistem kompetensi SDM industri perbankan yang acak. Turbulensi itulah yang mengakibatkan budaya organisasi perbankan belum sempurna.

Jadi, harus lebih dulu dirumuskan sistem kompetensi karyawan perbankan nasional sebelum akuisisi. Selain itu, sistem imbalan atau penggajian karyawan sebaiknya berbasis kompetensi dan kinerja. Selama ini, pranata kompetensi SDM perbankan menyebabkan amburadul promosi jabatan. Ada indikasi mekanisme promosi jabatan tidak adil dan mirip undian berhadiah.

Ini membuat sistem semakin tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Secara sederhana, career resilience bisa diartikan sebagai pengembangan karier beserta portofolio kompetensi. Pengembangan karier dan kompetensi di lingkungan perbankan semakin stagnan.

Akibatnya, perusahaan tidak dapat mengikuti perubahan eksternal. Definisi karier menurut pakar manajemen perbankan, Gibson, merupakan rangkaian dan kumpulan dari pengalaman yang berhubungan dengan kerja serta aktivitas yang dipengaruhi oleh sikap-sikap serta perilaku individu dalam organisasi. Dari definisi itu dapat direflesikan bahwa kondisi organisasi perbankan nasional belum memiliki career path atau alur karier ideal.

Penggolongan karyawan masih menggunakan metode lama yang sudah ketinggalan zaman. Ini menyulitkan untuk mengukur prestasi karyawan. Program pengembangan karier seharusnya sudah direncanakan saat perekrutan.

Program tersebut tidak cukup hanya dengan prajabatan dan penataran-penataran yang bersifat doktriner. Setidaknya program pengembangan karier SDM diawali dengan assessment phase untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan seorang karyawan melalui lokakarya.

Kemudian disusul direction phase untuk menentukan karier dengan berbagai tool, antara lain job posting, skill inventory, dan career path. Selanjutnya masuk ke development phase sesuai dengan kompetensi masing-masing.

Sertifikasi Kompetensi

Persoalan penting ketenagakerjaan di lingkungan perbankan terkait sertifikasi kompetensi. Banyaknya SDM yang dipecat sulit terserap kembali karena sertifikasi kompetensi. Sudah saatnya otoritas perbankan nasional bersama-sama Forum Budaya Kerja Perbankan Nasional (FBKPN) merumuskan sistem sertifikasi.

Profesi di industri perbankan sangat dipengaruhi pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Tuntutan untuk menyediakan jasa keuangan yang melibatkan TIK, seperti e-banking, mobile banking, priority banking, securitization, insurance, dan investment banking, tidak terelakkan lagi.

Penerapan TIK berimplikasi tidak ada lagi batas pasar keuangan antarnegara. Ini sangat membutuhkan SDM berkompetensi tinggi di bidang TIK perbankan. Sayang, SDM perbankan nasional belum mampu beradaptasi dengan konvergensi TIK yang pesat.

Sudah saatnya industri perbankan mengubah budaya kerja secara mendasar untuk bisa bersaing dalam era globalisasi. Mereka harus siap menghadapi tata ekonomi dunia baru. Konkretnya, dengan menyempurnakan sistem kompetensi SDM, perbankan menuju standardisasi global.

Mereka juga harus memperkaya dan menyegarkan implementasi Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 5/25/PBI/2003 tentang Penilaian Kepatutan dan Kelayakan (fit and proper test). Dengan begitu, mereka mampu menjaring manajemen berintegritas, kompeten, dan andal dalam menghadapi persaingan internasional. Efisiensi perbankan lewat akuisisi atau merjer jangan melahirkan persoalan baru.

Mekanisme seleksi pejabat bank kalau jadi akuisisi harus bebas kepentingan politik dan korupsi. Pelaksanaan uji kepatutan pengurus dan pejabat eksekutif bank meliputi faktor integritas, kompetensi, dan reputasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar