Sisi
dalam Demokrasi Mesir ‘Yang Terbelah”
Hasibullah Satrawi ; Pengamat Politik Timur Tengah, Alumni Al-Azhar, Kairo Mesir,
Direktur
Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Jakarta
|
KORAN
SINDO, 25 April 2014
Beberapa
waktu lalu (25/3), Jenderal Abdel Fattah Sisi secara resmi mengumumkan akan
mencalonkan diri dalam pemilihan presiden Mesir yang akan digelar pada 26 dan
27 Mei mendatang. Sisi akan bertarung dengan satusatunya calon presiden lain
yang telah mendaftarkan diri ke komisi pemilihan setempat, yaitu Hamdeen
Sabahi.
Bahkan
tak menutup kemungkinan Sisi menjadi capres tunggal, bila ternyata Hamdeen
Sabahi dinyatakan tidak lulus persyaratan yang akan diumumkan pekan ini oleh
Komisi Pemilihan Umum Mesir (Ash-Sharq Al- Awsat, 21/04). Dalam beberapa
waktu terakhir, Sisi yang diangkat oleh Muhammad Mursi sebagai menteri
pertahanan Mesir mendapatkan dukungan dari banyak pihak untuk menjadi
presiden mendatang. Pada awalnya, Sisi tidak begitu dikenal, baik di Mesir
apalagi di negara-negara Timur Tengah secara umum.
Bahkan
di jajaran militer pun, jenderal yang pernah mengenyam pendidikan di Inggris
dan Amerika Serikat ini kalah terkenal dari para seniornya, seperti Mohamed
Hussein Tantawi. Titik balik terjadi pada 3 Juli 2013. Pada hari itu, dengan
membawa dukungan dari banyak pihak yang berpengaruh di Mesir, Sisi
mengumumkan peta jalan damai sekaligus memakzulkan Presiden Muhammad Mursi.
Sejak saat itulah, Sisi menjadi bagian dari kontroversi yang terus menggelinding
memecah belah masyarakat luas. Bahkan, pengumuman dirinya sebagai calon
presiden pun menimbulkan pro-kontra yang tak jarang berakhir dengan aksi
kekerasan.
Demokrasi Terbelah
Dalam
beberapa waktu terakhir, Mesir acap menjadi negeri terbelah. Tak hanya dalam
konteks pencapresan Sisi ataupun hal-hal lain yang bernuansa politik,
melainkan juga dalam hal-hal yang jauh dari politik, seperti kegiatan
belajar-mengajar. Bahkan, fenomena keterbelahan seperti ini juga terjadi di
universitas seperti Al-Azhar yang para tokohnya mendukung langkah peta jalan damai
yang diumumkan Sisi pada 3 Juli 2013. Lebih jauh, fenomena keterbelahan juga
melanda dunia luar yang berhubungan dengan Mesir, termasuk media.
Stasiun
televisi terkemuka di Timur Tengah, Aljazeera, contohnya, kerap bersikap
kontra terhadap pemerintahan sementara Mesir saat ini yang didukung oleh
pihak militer. Sedangkan media-media lain seperti surat kabar terkemuka,
Ash-Sharq Al- Awsat, Alhayat kerap mendukung pemerintahan Mesir sekarang,
termasuk pencapresan Sisi. Begitu juga dengan negara-negara Arab Teluk yang
sebagian propemerintahan Mesir (seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab),
sedangkan sebagian lainnya bersikap kontra (seperti Qatar).
Bahkan,
para alumni Al-Azhar pun acap terkena fenomena keterbelahan ini, apalagi
setahu penulis memang tidak sedikit dari mahasiswa Al-Azhar yang berideologi
Ikhwanis. Dalam kondisi seperti ini, sangat dipahami bila proses
demokratisasi yang terjadi di Mesir mutakhir acap dipahami secara terbelah.
Penggulingan Mursi, contohnya, acapdipahami dan ditanggapi secara terbelah
antara pihak yang pro dan yang kontra. Begitu juga dengan pencapresan Sisi
ataupun peristiwa-peristiwa politik lainnya seperti referendum konstitusi
2013. Inilah yang penulis sebut sebagai demokrasi terbelah.
Krisis Elite
Dalam
sebuah jurnal berbahasa Arab, Ad-Dimocrathiyah
(edisi 14/02/2014), pakar ilmu politik dari Cairo University, Hasanain
Taufik Ibrahim, memberi penjelasan cukup rinci dan menyeluruh terkait
fenomena keterbelahan yang saat ini melanda Mesir. Menurutnya, fenomena ini
salah satunya disebabkan oleh faksionalisme di kalangan elite yang sampai
pada tahap mengabaikan urgensi konsensus nasional untuk menghadapi sejumlah
persoalan krusial setelah tumbangnya Mubarak.
Secara
garis besar, ada dua faksi utama yang sekarang membelah masyarakat Mesir,
yaitu faksi islami dan faksi nasionalis di semua macam dan kelompoknya. Dalam
dua tahun terakhir, kalangan elite Mesir larut dalam semangat faksionalisme
sampai pada tahap mengabaikan nasionalisme yang sejatinya menjadi pemersatu
mereka. Celakanya adalah, kalangan elite ini kemudian menarik gerbong dan
kekuatan yang dimiliki untuk turut larut dalam pertarungan faksionalisme yang
ada. Hingga kepentingan masyarakat luas acap diabaikan, seperti keamanan dan
ekonomi.
Sebaliknya
mereka lebih tertarik untuk ke luar, turun ke jalan, kemudian bentrok dengan
aparat yang juga dipersiapkan dengan semangat yang kurang lebih sama. Oleh karena
itu, pelbagai macam keterpurukan yang melanda Mesir mutakhir bisa dipahami
sebagai akibat dari ”dosa kolektif” yang pada awalnya dilakukan
kelompokkelompok elite, sebelum akhirnya mengajak gerbong dan mengerahkan
kekuatan masing-masing. Itu sebabnya tidak ada pihak yang dapat dikatakan
sepenuhnya salah, sebagaimana tidak ada pihak yang dapat dikatakan sepenuhnya
benar.
Masing-masing
pihak dari kalangan islamis dan nasionalis mempunyai kadar kesalahannya
sendiri. Adapun sebab yang lain dari fenomena keterbelahan masyarakat Mesir
adalah lemahnya pengalaman berdemokrasi sebagai akibat dari budaya isolasi
politik (al-iqsha’ as-siyasi), yang
berlangsung dalam waktu sekian lama. Dalam kondisi seperti ini, demokrasi
acap dipahami sebagai momentum untuk balas dendam terhadap kelompok yang
berlawanan. Maka sebagaimana aspirasi kelompok IM acap diabaikan pada
masa-masa pemerintahan Mubarak, contohnya, IM pun melakukan hal yang kurang
lebih sama ketika berkuasa.
Pun
demikian, ketika lembaga negara (seperti eksekutif, legislatif bahkan
yudikatif) digunakan oleh pemerintahan Mubarak untuk mencapai kepentingan
kelompoknya sekaligus untuk memberangus kepentingan kelompok oposisi, ketika
IM berkuasa pun melakukan hal yang kurang lebih sama. Hingga akhirnya mendapatkan
tantangan keras dari masyarakat yang tercermin dalam aksi unjuk rasa pada 30
Juni 2013. Inilah yang menjadi tantangan berat bagi Sisi ataupun tokoh lain
yang menjadi presiden Mesir mendatang.
Apalagi,
Sisi selama ini menjadi bagian dari kontroversi (sebagaimana dijelaskan di
atas) dan sedikit banyak dianggap bertanggung jawab atas segala peristiwa
politik dan aksi kekerasan yang terjadi setelah lengsernya Muhammad Mursi,
termasuk penangkapan dan pemenjaraan tokoh-tokoh IM. Oleh karena itu, semua
kekuatan politik di Mesir sejatinya memanfaatkan proses demokratisasi ke
depan untuk menebus dosa kolektif yang ada dengan berdemokrasi secara lebih
sejati; bahwa demokrasi pada akhirnya jalan untuk menegakkan kedaulatan
rakyat (bukan kedaulatan golongan) dengan kontestasi yang sehat dan terbuka
bagi semua golongan tanpa terkecuali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar