Sertifikasi
dan Akuisisi BTN
Arif Minardi ; Anggota Komisi VI DPR
|
KORAN
JAKARTA, 23 April 2014
Rencana
Bank Mandiri mengakuisisi Bank Tabungan Negara (BTN) mendapat tentangan dari
serikat pekerja (SP) karena belum ada penjelasan lengkap terkait
penggabungan. SP beraksi unjuk rasa besar-besaran terkait karier dan
kesejahteraan ke depan.
Tampaknya
ada miskomunikasi antara SP dan pemerintah (kementerian BUMN). Belum ada
informasi dan penjelasan komprehensif kepada seluruh karyawan BTN. Setiap
akuisisi biasanya dilakukan untuk meningkatkan daya saing perusahaan
(perbankan nasional) dan efisiensi. Dalam akuisisi, seharusnya juga
dipikirkan konsep dan pranata kompetensi SDM serta pengembangan karier
karyawan.
Tak bisa
dimungkiri, akuisisi bisa memangkas jumlah anggota direksi, manajemen atas,
dan mungkin karyawan biasa BTN. Penggabungan BTN ke Mandiri bisa saja
dilakukan, apalagi sesama bank pelat merah.
Malahan
Madiri juga hasil penggabungan beberapa bank pelat merah: Bank Bumi Daya,
Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), serta Bank Expor
Impor (Exim). Kebetulan, penggabungan itu membuahkan kinerja lebih kuat.
Jika
terwujud, penggabungan Mandiri dan BTN melahirkan bank dengan aset terbesar
di Indonesia, sekitar 864,27 triliun rupiah. Aset Mandiri pada 2013 mencapai
733,1 triliun rupiah, sementara aset BTN mencapai 131,17 triliun rupiah.
Aset
hasil penggabungan diharapkan bisa meningkatkan daya saing industri perbankan
nasional di tingkat regional maupun global, termasuk guna menyambut
Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN
Economic Community/AEC).
Yang
terbaik dalam menghadapi resistensi karyawan BTN terkait penggabungan adalah
merumuskan sebaik mungkin kompetensi SDM. Kompleksitas persoalan perbankan
nasional, selain menyangkut masalah teknis, adalah sistem kompetensi SDM
industri perbankan yang acak. Turbulensi itulah yang mengakibatkan budaya
organisasi perbankan belum sempurna.
Jadi,
harus lebih dulu dirumuskan sistem kompetensi karyawan perbankan nasional
sebelum akuisisi. Selain itu, sistem imbalan atau penggajian karyawan
sebaiknya berbasis kompetensi dan kinerja. Selama ini, pranata kompetensi SDM
perbankan menyebabkan amburadul promosi jabatan. Ada indikasi mekanisme
promosi jabatan tidak adil dan mirip undian berhadiah.
Ini
membuat sistem semakin tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Secara
sederhana, career resilience bisa
diartikan sebagai pengembangan karier beserta portofolio kompetensi.
Pengembangan karier dan kompetensi di lingkungan perbankan semakin stagnan.
Akibatnya,
perusahaan tidak dapat mengikuti perubahan eksternal. Definisi karier menurut
pakar manajemen perbankan, Gibson, merupakan rangkaian dan kumpulan dari
pengalaman yang berhubungan dengan kerja serta aktivitas yang dipengaruhi
oleh sikap-sikap serta perilaku individu dalam organisasi. Dari definisi itu
dapat direflesikan bahwa kondisi organisasi perbankan nasional belum memiliki
career path atau alur karier ideal.
Penggolongan
karyawan masih menggunakan metode lama yang sudah ketinggalan zaman. Ini
menyulitkan untuk mengukur prestasi karyawan. Program pengembangan karier
seharusnya sudah direncanakan saat perekrutan.
Program
tersebut tidak cukup hanya dengan prajabatan dan penataran-penataran yang
bersifat doktriner. Setidaknya program pengembangan karier SDM diawali dengan
assessment phase untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan seorang
karyawan melalui lokakarya.
Kemudian
disusul direction phase untuk menentukan karier dengan berbagai tool, antara
lain job posting, skill inventory, dan career path. Selanjutnya masuk ke
development phase sesuai dengan kompetensi masing-masing.
Sertifikasi Kompetensi
Persoalan
penting ketenagakerjaan di lingkungan perbankan terkait sertifikasi
kompetensi. Banyaknya SDM yang dipecat sulit terserap kembali karena
sertifikasi kompetensi. Sudah saatnya otoritas perbankan nasional
bersama-sama Forum Budaya Kerja Perbankan Nasional (FBKPN) merumuskan sistem
sertifikasi.
Profesi
di industri perbankan sangat dipengaruhi pesatnya perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi (TIK). Tuntutan untuk menyediakan jasa keuangan yang
melibatkan TIK, seperti e-banking, mobile banking, priority banking,
securitization, insurance, dan investment banking, tidak terelakkan lagi.
Penerapan
TIK berimplikasi tidak ada lagi batas pasar keuangan antarnegara. Ini sangat
membutuhkan SDM berkompetensi tinggi di bidang TIK perbankan. Sayang, SDM
perbankan nasional belum mampu beradaptasi dengan konvergensi TIK yang pesat.
Sudah
saatnya industri perbankan mengubah budaya kerja secara mendasar untuk bisa
bersaing dalam era globalisasi. Mereka harus siap menghadapi tata ekonomi
dunia baru. Konkretnya, dengan menyempurnakan sistem kompetensi SDM,
perbankan menuju standardisasi global.
Mereka
juga harus memperkaya dan menyegarkan implementasi Peraturan Bank Indonesia
(PBI) Nomor 5/25/PBI/2003 tentang Penilaian Kepatutan dan Kelayakan (fit and proper test). Dengan begitu,
mereka mampu menjaring manajemen berintegritas, kompeten, dan andal dalam
menghadapi persaingan internasional. Efisiensi perbankan lewat akuisisi atau
merjer jangan melahirkan persoalan baru.
Mekanisme
seleksi pejabat bank kalau jadi akuisisi harus bebas kepentingan politik dan
korupsi. Pelaksanaan uji kepatutan pengurus dan pejabat eksekutif bank
meliputi faktor integritas, kompetensi, dan reputasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar