Janji
Utopis
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 25 April 2014
SEKITAR enam bulan lagi kita
akan melantik presiden dan wakil presiden baru. Jalan ke sana masih berliku.
Pikiran dan perasaan masih bertanya-tanya, pilihan mana yang tepat? Idealnya
mereka pas di hati kita, pas pula untuk persyaratan sebagai pemimpin negeri
ini lima tahun ke depan. Itulah demokrasi: semua ikut repot memikirkan.
Menurut rekam jejaknya,
benih-benih asas demokrasi sudah ada selama ribuan tahun, berawal ketika
masyarakat di mana pun semakin merasakan ketimpangan antara yang berkuasa dan
yang dikuasai. Ketidakrelaan mereka yang menjadi korban kekuasaan menyebarkan
benih-benih yang akhirnya mengkristalkan rumusan-rumusan demokrasi yang
tumbuh di mana-mana.
Asumsinya, yang sampai ke
Indonesia datang dari Barat, berawal dari ide demokrasi yang muncul di abad
ke-4 SM, ketika filosof Yunani Aristoteles dalam 2 dari 6 karya tulisnya yang
terhimpun dalam Organon mengemukakan pandangannya tentang etika dan politik.
Anggota akademi Atena pimpinan Plato itu menyusun prosedur filosofis dan
ilmiah serta kritik literer yang menjadi landasan pikiranpikiran Barat. Itu
yang membuat kita berasumsi bahwa sistem demokrasi datang dari Barat.
Demikian pula sistem `Trias
Politika' yang memisahkan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, juga
berasal dari Barat. Filosof Inggris John Locke (1632-1704) awalnya
menganjurkan kontrak sosial untuk kebebasan kata batin (conscience) dan kebebasan hak untuk memiliki. Buah pikirannya
termuat dalam karya besar Two treatises
of Government yang terbit pada 1690. Konsep itu disempurnakan ahli
falsafah politik Prancis, Montesquieu (1689-1755). Konsep Trias Politika
pemikir Perancis inilah yang sekarang dianut banyak negara.
Banyak konsep lain tentang
kekuasaan yang datang dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari Timur Jauh
dan Timur Tengah. Ide tentang sistem daulat rakyat yang beragam itu kita
pilih yang kita anggap paling tepat untuk masyarakat. Kemudian bentuknya kita
sesuaikan dengan budaya Indonesia. Lahirlah demokrasi Pancasila. Selain hukum
yang berdasarkan UUD `45, berlaku pula hukum Islam bagi umat yang beragama
Islam.
Saat-saat ini kita sedang repot
dengan persiapan menuju terbentuknya pemerintahan baru. Sementara itu, di
tempattempat lain, di mana-mana, sistem demokrasi berjalan terus sambil
menambahkan produk-produk hukum untuk penyempurnaannya, sesuai perkembangan
berpikir masyarakatnya.
Rame ing pamrih, sepi ing gawe
Pemilu kita yang baru lalu
dinilai yang paling brutal dalam sejarah demokrasi Indonesia. Politik uang
marak. Kita sepertinya tidak berdaya membendungnya. Banyak caleg ambruk kena
stres karena merasa gagal. Dengan prolog seperti itu, bagaimana lembaga
legislatif nantinya? Apakah moralitas politik masih bisa diharapkan? Sebab
pemilu 2014 baru separo kita jalankan. Gongnya baru akan dipukul Oktober
nanti, pada hari pelantikan RI-1 dan wakilnya. Saat-saat ini publik sedang menyaksikan
berisiknya kekisruhan partai politik menyusun strategi dan taktik.
Mudah-mudahan hiruk pikuk
partai-partai politik dalam rangka memilih capres/ cawapres dari kandang
sendiri atau berkoalasi membuahkan hasil. Jangan kerepotan yang mereka lalui
itu pada akhirnya tidak mencapai tujuan; yakni menciptakan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti termaktub dalam sila kelima Pancasila.
Itulah hak asasi kita bersama. Tetapi, karena kita ribut dengan serba-serbi
persiapan untuk memenuhi keinginan masing-masing, ketika tiba waktunya untuk
berbuat, mungkin banyak yang kita lupakan, sepi ing gawe. Emosi telah mengalahkan nalar.
Kekisruhan di partai-partai
politik tentu membuat masyarakat dengan enteng menuduh partai-partai politik
atau elitenya berebut kekuasaan. Kekuasaan memang sepantasnya diperebutkan
asalkan kekuasaan itu dipersiapkan untuk menyejahterakan rakyat sebab itulah
yang publik nantikan. Kapan kekisruhan ini akan berhenti mengingat
mendekatnya hari-hari pemilihan bulan Juli? Pertanyaannya, kekisruhan menjadi
keruh apakah karena mengangankan hasil akhir atau karena perebutan kekuasaan
secara internal?
Dalam sejarah politik praktis di
Indonesia, hampir semua partai besar pernah mengalami kekisruhan; bukan
karena pertarungan ideologi atau program. Padahal programprogram partailah
yang publik nantikan. Mereka agaknya lupa, masyarakat memperhatikan apa pun
yang mereka lakukan, baik yang positif maupun yang negatif.
Ekonomi kerakyatan
Salah satu konsep yang sesuai
dengan tujuan demokrasi, yang sering disampaikan dalam kampanye pemilu yang
lalu, adalah konsep tentang ekonomi kerakyatan. Memang peran negara dalam
pembangunan ekonomi menjadi topik yang penuh kontroversi. Walaupun
kenyataannya, dewasa ini yang terjadi adalah pembauran antara berbagai sistem
ekonomi yang dahulunya berjauhan. Sistem kapitalis sudah lama bergerak ke
sistem sosialis, antara lain, misalnya, dibuktikan dengan pendidikan rakyat
yang ditunjang negara, pajak progresif, dan perawatan kesehatan yang
ditanggung negara. Sebaliknya sistem sosialis sekarang menyadari, banyak segi
positif dalam sistem desentralisasi manajemen ekonomi.
Sekarang tampaknya hampir semua
masyarakat menggunakan sistem ekonomi campuran, walaupun kadarnya
berbedabeda. Kenyataannya hampir seperti spektrum, suatu pelangi-pelangi yang
antara lain mengilhamkan istilah-istilah seperti “ekonomi Pancasila“ atau
“ekonomi kerakyatan“. Partai-partai politik sebaiknya menjelaskan bagaimana
program ekonomi kerakyatan yang akan dijalankan agar janji-janji partai
politik tidak bersifat utopis semata. Jangan sampai rakyat kehilangan
kepercayaan. Partai-partai politik adalah saka guru demokrasi. Di pundak
mereka pembangunan demokrasi dibebankan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar