Sabtu, 26 April 2014

Koalisi Ideologis dan Agenda Perubahan

Koalisi Ideologis dan Agenda Perubahan

M Dawam Rahardjo  ;   Rektor Universitas Proklamasi `45, Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 24 April 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                             
KETIKA ditanya mengenai agenda koalisi antarpartai guna pencalonan presiden dan wakil presiden, tokoh capres yang paling tinggi elektabilitasnya dari beberapa hasil survei, Joko Widodo yang akrab dipanggil Jokowi, menolak untuk memakai istilah `koalisi' karena istilah itu berkonotasi peyoratif, yakni sebagai kegiatan politik transaksional yang populer disebut `dagang sapi', dalam arti negosiasi bagi-bagi kekuasaan di pemerintahan mendatang.

Sebagai gantinya capres dari PDI Perjuangan itu mempergunakan istilah `kerja sama' berdasarkan platform politik yang mencerminkan juga haluan ideologi. Namun, kriteria kerja sama itu sulit. Dalam praktiknya tidak dilaksanakan, hanya basa-basi politik. Yang dilaksanakan ialah penjajak an koalisi, juga berdasarkan perolehan suara dalam pileg dan hasil survei elektabilitas tokoh-tokoh.

Analisis mengenai kemungkinan kerja sama itu dapat dilakukan melalui dua pendekatan. Pertama, penggolongan partai-partai berdasarkan agenda kampanye, antara yang mengagendakan perubahan dan yang ingin mempertahankan status quo serta keberlanjutan pembangunan berdasarkan perkembangan yang telah dicapai. Kelompok pertama terdiri dari NasDem dan beberapa partai oposisi, terutama PDIP dan Gerindra, dan kelompok kedua, terutama tampak pada Partai Demokrat, PAN, Golkar, dan Hanura.

Pendekatan kedua ialah dengan mengelompokkan partaipartai berdasarkan ideologi dalam rangka penyederhanaan sistem kepartaian. Hal itu bisa dilihat dari; pertama, golongan kebangsaan yang didukung oleh Golkar, Hanura, dan PKPI. Kedua, golongan kerakyatan yang didukung oleh PDIP, Gerindra, dan NasDem. Golongan ketiga ialah partai Islam jika dapat bersatu didasarkan pada ideologi islamisme. Keempat, golongan demokrasi liberal yang hanya tampak jelas pada Partai Demokrat.

Koalisi strategis

Dua pendekatan pengelompokan itu agaknya sulit terjadi karena setiap partai memiliki agenda koalisi sendiri-sendiri, termasuk PDIP. Seharusnya PDIP dan Gerindra bekerja sama, tetapi jika mereka bersetuju dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Seharusnya, berdasarkan koalisi strategis yang dibuat antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto di atas perjanjian bermeterai dalam Pilpres 2009, dapat dilakukan koalisi dengan menempatkan Prabowo sebagai capres dan Jokowi cawapres.

Akan tetapi, PDIP sudah mencapreskan Jokowi karena elektabilitas hasil surveinya yang tinggi itu. PDIP pun dengan santai mengingkari perjanjian. Demikian pula Surya Paloh yang mengusulkan JK sebagai cawapres mendukung Jokowi. Padahal JK lebih berorientasi pada status quo dengan resep kepemimpinan `lebih cepat lebih baik'. Golkar yang mencalonkan ARB sebagai capres, tetapi dengan melihat prospek kemenangan Jokowi, sudah `pesan tempat' dalam pemerintahan mendatang jika Jokowi dari PDIP menang.

Perubahan yang diagendakan NasDem bisa terjadi apabila pengelompokan pertama bisa terjadi berdasarkan beberapa platform politik restorasi sebagai politik pemulihan kepemimpinan dan kedaulatan bangsa dan negara. Pertama, agenda kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan dasar dari agenda restorasi. Agenda itu merupakan titik tolak dua agenda perubahan yang penting, yaitu judicial review terhadap sekitar 210 UU yang berpotensi melanggar UUD 1945 dan agenda reformasi agraria sebagai syarat dari pembangunan pertanian dan pengembangan ekonomi rakyat.

Agenda lain yang penting ialah reformasi birokrasi dalam pembentukan sistem politik dan pemerintahan yang bersih dan efisien dengan melakukan pemberantasan korupsi. Agenda yang mungkin kontroversial ialah reformasi anggaran menuju APBN yang seimbang, tanpa utang luar negeri. Agenda perubahan itu akan mengarah pada sistem dwipartai sebagai pendukung sistem pemerintahan presidensial berdasarkan UUD 1945. Sistem ini hanya terdiri dari partai yang dominan, yaitu partai neoliberal yang propasar dan partai kerakyatan yang ber orientasi kemandirian dan kedaulatan ekonomi.

Penyederhanaan

Pendekatan kedua mengarah pada penyederhanaan sistem kepartaian Indonesia atau sistem multipartai sederhana. Jika pengelompokan itu terjadi, berdasarkan perolehan suara Pileg 9 April 2014, urutan golongan politik terkuat ialah partai kerakyatan dengan suara sekitar 38%, partai Islam bersatu (31%), partai kebangsaan (21%), dan partai demokrasi liberal (10%). Penyederhanaan ini juga akan memyederhanakan koalisi dalam pilpres dalam membentuk kekuasan yang memerintah dan yang oposisi.

Pengelompokan menjadi dua kekuatan besar yang dominan itu sesuai dengan atau mendukung sistem pemerintahan presidensial yang diarahkan oleh UUD 1945. Di AS, sistem presidensial dimungkinkan oleh munculnya dua kekuatan dominan yang silih berganti memerintah berdasarkan hasil pemilihan umum setiap lima tahunan. Dua kekuatan itu ialah Partai Republik yang menekankan peranan swasta dan pasar bebas, serta Partai Demokrat yang menekankan peran negara dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Di Indonesia, pengelompokan serupa bisa juga terjadi. Namun, Indonesia memiliki persoalan urgen dan mendasar yang berbeda, yakni di sekitar masalah kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi bangsa yang memisahkan dua aliran besar, yaitu aliran neoliberal dan aliran kerakyatan. Karena itu, calon presiden-wakil presiden bisa empat pasangan yang diseleksi melalui putaran pertama, dan dalam putaran kedua sudah mengerucut menjadi dua pasangan yang dipisahkan oleh isu strategi pembangunan.

Pasangan pertama mempertahankan status quo atau keberlanjutan strategi pembangunan yang mungkin didukung oleh partai-partai Golkar, Demokrat, dan PAN. Kelompok kedua yang menghen daki perubahan menuju ke pemulihan kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi yang terutama didukung oleh Gerindra dan NasDem, serta jika secara ideologis konsisten, PDIP. Masalahnya ialah ketidakjelasan platform politik yang tampak tidak banyak berbeda sehingga tidak ada positioning yang jelas di antara dua golongan yang berbeda orientasi itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar