Demokrasi
“Roller Coaster”
Masdar Hilmy ; Dosen UIN Sunan Ampel
|
KOMPAS,
24 April 2014
Kemenangan
dan kekalahan dalam sistem demokrasi dapat digambarkan sebagai pendulum biner
yang bekerja di atas prinsip sticks-and-carrots
(hukuman dan ganjaran). Kemenangan sebuah parpol dalam pemilu, dengan begitu,
bukanlah sebuah kebetulan atau kecelakaan. Terdapat rasionalitas publik yang
memungkinkan terjadinya kemenangan berpihak pada parpol tertentu atas dasar
pilihan-pilihan rasional, setidaknya ”kuasi” rasional.
Demikian
pula dengan kekalahan. Ia punya sebab musabab, argumentasi, serta
rasionalitasnya sendiri. Artinya, tak ada kekalahan yang sifatnya ujug-ujug,
tiba-tiba, alias tanpa penjelasan.
Setiap
kekalahan punya narasi, latar belakang, dan pembenaran masing-masing. Dalam
sistem demokrasi, kekalahan adalah hukuman konstituen atas apa yang terjadi
atau dipraktikkan parpol yang menderita kekalahan.
Mabuk kekuasaan
Dalam
konteks inilah, kemenangan PDI-P pada pemilu legislatif tempo hari merupakan
ganjaran dari buah konsistensi perjuangannya di jalur oposisi. Di sisi lain,
kekalahan Partai Demokrat merupakan hukuman dari ulah sejumlah kadernya yang
terjerat kasus korupsi. Barangkali terkesan naif dan simplifikatif, tetapi
demikianlah mekanisme demokrasi bekerja. Sekalipun harus menunggu setiap lima
tahun, sistem semacam ini memungkinkan setiap pemilih menumpahkan preferensi
pilihannya (Uriel Rosenthal, Political
Order: Rewards, Punishments and Political Stability, 1978).
Pada
pemilu legislatif tempo hari, hasil Hitung Cepat Kompas menempatkan PDI-P
sebagai peraih suara terbanyak (19,24 persen), disusul Partai Golkar (15,01
persen), Gerindra (11,77 persen), Demokrat (9, 43 persen), PKB (9,12 persen),
dan partai-partai lainnya. Pada Pemilu 2009, Demokrat keluar sebagai pemenang
(20,85 persen), disusul Golkar (14,45 persen), PDI-P (14,03 persen), PKS
(7,88 persen), PAN (6,01 persen), dan seterusnya. Dengan demikian, parpol
yang mengalami hukuman paling keras pada pemilu kali ini adalah Demokrat.
Gerindra dan PDI-P mendapatkan ganjaran dari konstituen. Di sisi lain,
perolehan suara Golkar relatif stabil.
Apa yang
bisa dibaca dari dua pemilu di atas adalah hasil perolehan suara sejumlah
parpol yang fluktuatif, tidak stabil. Ibarat permainan roller coaster, perolehan Demokrat tengah mengalami episode
”terjun bebas” ke jalur turunan yang curam setelah menikmati posisi di atas
pada Pemilu 2009. Sebaliknya, PDI-P sedang menikmati posisi di atas setelah
”terpuruk” di posisi ketiga pada Pemilu 2009. Kedua parpol tersebut menjadi
eksemplar dari dua ekstrem yang dapat menjelaskan mekanisme ganjaran dan
hukuman tersebut.
Semuanya
bermula dari mabuk kekuasaan. Kemenangan yang diperoleh Demokrat pada Pemilu
2009 rupanya telah menjadikan sejumlah kadernya lupa diri. Mereka menganggap
kemenangan partainya ekuivalen dengan cek kosong untuk berbuat apa saja,
termasuk mendulang kemegahan dan mengeruk uang haram. Mereka alpa, masyarakat
mengawasi gerak-gerik mereka dan berhak menghukum mereka yang bertindak
korup. Akibatnya, sekaranglah saatnya Demokrat mendapatkan hukuman setimpal
akibat ulah sejumlah kadernya yang terlibat kasus korupsi.
Hal sama
sebenarnya pernah dialami PDI-P. Jika dilihat pada tiga pemilu sebelum ini,
perolehan suara partai ini bahkan cenderung turun, dari 33,74 persen (Pemilu
1999), 18,53 persen (Pemilu 2004), dan 14,03 persen (Pemilu 2009). Artinya,
sebelum meraih kemenangan pada Pemilu 2014, PDI-P telah mengalami hukuman
yang cukup dahsyat dari masyarakat pemilih pada dua pemilu sebelumnya. PDI-P
dihukum masyarakat untuk alasan yang lebih kurang sama, gagal mengawal dan
merawat kepercayaan publik untuk dikonversi menjadi kesejahteraan.
Pada
saat PDI-P dihukum masyarakat, Demokrat tampil cukup meyakinkan hingga
akhirnya partai ini mampu mengantarkan SBY ke kursi RI-1. Namun, l’histoire c’est repeté. Sejarah
selalu berulang. Partai Demokrat harus membayar mahal akibat ulah sejumlah
kadernya yang terlibat kasus korupsi. Ibarat permainan roller coaster, ternyata siklus kemenangan-kekalahan bagi
partai-partai tertentu hanyalah soal waktu.
Strategi keluar
Kemenangan
PDI-P bisa berubah jadi kekalahan pada Pemilu 2019 jika partai ini bertindak
biasa-biasa saja layaknya partai medioker. PDI-P juga akan mengulang sejarah
Demokrat jika tidak menyiapkan sebuah strategi keluar dari kutukan demokrasi
roller coaster. Karena itu, kemenangan PDI-P harus dimaknai secara arif
sebagai kepercayaan masyarakat untuk dikelola sebaik-baiknya menjadi
investasi jangka panjang yang bernilai kebajikan bagi semua (public virtues).
Strategi
keluar yang saya maksud mencakup tiga level sekaligus, makro, meso, dan
mikro. Pada level makro, PDI-P—bersama sejumlah parpol koalisi— harus mampu
merumuskan visi besar Indonesia yang lebih bermartabat ke depan. Harus
diakui, bangsa ini tidak punya visi kebangsaan yang jelas dan terarah. Hendak
dibawa ke mana Indonesia, tak ada yang tahu. Ini karena penentuan visi-misi
Indonesia hanya diserahkan kepada individu-individu calon pemimpin yang tidak
terlembagakan secara formal seperti GBHN pada masa Orde Baru. Betapa
riskannya negeri ini jika perumusan visi-misi negara selalu berubah setiap
lima tahun sekali!
Pada
level meso, visi-misi Indonesia itu harus diturunkan ke dalam konsep
berdemokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadaban publik dan
nilai-nilai luhur bangsa, tetapi tetap terbuka terhadap arus perubahan dari
luar. Ketidakjelasan identitas kebangsaan dan ”jenis kelamin” demokrasi kita
sekarang ini sejatinya disebabkan oleh ketidakjelasan visi-misi Indonesia di
atas. Konsep demokrasi yang dipahami dan dipraktikkan di jagat politik kita
tidak lain adalah kohabitasi konfliktual antara dua entitas yang oksimoronik:
demokrasi dan plutokrasi, demokrasi dan politik uang, demokrasi dan
(neo)patrimonialisme, demokrasi-oligarki, dan semacamnya.
Pada
level mikro, visi besar Indonesia dan demokrasi berkeadaban diterjemahkan ke
dalam aksi-aksi operasional politik- birokrasi yang bermartabat, akuntabel,
bersih, bertanggung jawab, dan melayani. Demokrasi harus mampu menghormati
dan memuliakan setiap warganya, tanpa kecuali. Untuk itu, demokrasi harus
diberi kapasitas memampukan melalui struktur politik-birokrasi berbasis
merit.
Pada
kenyataannya, demokrasi kita tak mampu mengapresiasi kompetensi anak-anak
bangsa akibat tergusurnya meritokrasi dari pusaran politik-birokrasi kita.
Hal ini karena birokrasi kita telah tersubordinasi oleh nalar politik-kekuasaan
yang korup dan segala urusan politik mengalami pendangkalan makna menjadi
sekadar wani piro? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar