Kegaduhan
Ruang Publik
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 25 April 2014
Ruang
publik semakin tidak nyaman dihuni, dilihat, dan didengarkan. Ada dua macam
ruang publik yang ingin saya bahas di sini. Pertama yang bersifat fisik, yang
kedua realitas simbol berupa wacana publik. Yang pertama kondisinya semakin
parah, misalnya saja fasilitas jalan umum yang rusak dan macet.
Belum
lagi bicara saluran air dan kondisi taman kota serta waduk penampungan hujan
yang semakin tidak terurus dengan baik. Sungai kian dangkal dengan air yang
kotor bercampur sampah. Ruang publik yang kian rusak ini sudah pasti
berdampak negatif terhadap siapa pun dan sangat merugikan pertumbuhan
generasi baru yang tengah lahir dan berkembang. Lantas, mari kita amati dan
simak wacana dan pertunjukan yang terjadi di ruang publik baik yang disajikan
televisi, surat kabar, majalah maupun media sosial seperti Twitter. Hampir
mayoritas berita yang dominan bersifat negatif, tidak berkualitas. Bahkan
cenderung merusak.
Di
Twitter hujat-menghujat dan saling serang antarpendukung parpol dan tokoh
politik tak pernah surut. Sampai-sampai muncul dugaan, semua itu dilakukan
oleh sebuah tim yang terorganisasi dengan modal uang dan jaringan informasi.
Siapa orangnya, kita tidak tahu karena tampil dengan nama samaran. Di era
keterbukaan tentu saja semua itu hal yang biasa-biasa saja. Yang jelas
disayangkan adalah jika berbagai informasi yang dilempar ke ruang publik itu
berupa fitnah. Fitnah akan mudah termakan ketika disertai bumbu-bumbu
sentimen keagamaan.
Seputar
pileg dan menghadapi pilpres, berbagai berita, opini dan rekayasa serta
fitnah kesemuanya berbaur sulit dibedakan mana yang benar dan mana yang
salah. Sekian banyak peristiwa hukum dan pidana juga dikait-kaitkan dengan
opini politik. Politik dan pertarungan perebutan kekuasaan memenuhi ruang
pemberitaan media massa. Bahwa bernegara, berbangsa, dan berdemokrasi itu
artinya berebut kekuasaan. Bukan pemilu untuk memajukan pembangunan, tetapi
kemenangan pemilu yang jadi agenda pokok setiap lima tahunan. Di antara
pemilu ke pemilu adalah selingan dan konsolidasi.
Ketika
seorang pejabat tinggi negara bekerja dengan baik, lalu hal itu ditafsirkan
sebagai investasi agar pada pileg atau pemilu yang akan datang terpilih
kembali. Atau bisa jadi memang obsesinya begitu. Di samping gosip politik
seputar koalisi dalam pemilu nanti, sempat muncul juga kekhawatiran
jangan-jangan pilpres yang jauh-jauh sudah direncanakan akan gagal terlaksana
karena berbagai alasan. Mimpi buruk itu bisa datang karena KPU dianggap gagal
melaksanakan pemilu sesuai dengan undang-undang atau karena koalisi untuk
mendapatkan tiket ke panggung pertarungan tidak memenuhi ketentuan.
Kegaduhan
seputar politik diramaikan lagi dengan terjeratnya pejabat tinggi negara oleh
KPK. Setelah tokoh-tokoh Partai Demokrat dan beberapa politikus parpol lain
masuk tahanan KPK, menyusul Akil Mochtar dan Hadi Poernomo yang keduanya
merupakan ikon dari sebuah lembaga tinggi negara, yaitu MK dan BPK. Pasokan
wacana dan tontonan ruang publik yang sudah rutin adalah sinetron, berita
korupsi, politik, dan gosip selebritas serta mimbar agama. Tapi jika diamati,
sangat sedikit informasi dan wacana yang memberikan kebanggaan dan inspirasi
bagi anak-anak bangsa untuk terpanggil dan bangkit ikut serta membuat bangsa
ini maju.
Ini bisa
dibandingkan misalnya dengan Eropa yang dibuat gegap gempita oleh tontonan
dan berita olahraga. Atau Korea Selatan dengan iklan inovasi teknologi serta
musiknya. Atau beberapa negara lain yang selalu menyampaikan berita peresmian
berbagai gedung dan fasilitas umum yang baru. Yang mengemuka di sini adalah
kekecewaan pada kinerja wakil rakyat, kecewa pada kinerja birokrasi yang
korup dan tidak produktif, ujian nasional yang menelan biaya mahal tetapi
kualitas yang dihasilkan tidak naiknaik. Subsidi harga BBM yang mendekati Rp 300
triliun sehingga menambah macet karena jalan raya tidak bertambah.
Desentralisasi
kekuasaan politik dan keuangan yang telah menyuburkan raja-raja kecil yang
korup di daerah. Tenaga kerja Indonesia yang diperas baik di luar negeri
maupun di Tanah Air dan sekian berita yang menenggelamkan informasi tentang
berbagai capaian dan kemajuan bangsa ini. Sesungguhnya kegaduhan yang
dimunculkan dari ranah politik itu wajar dan logis. Itu terjadi di negara
mana pun. Namun kalau itu yang dominan dan membuat rakyat letih karena miskin
inspirasi, motivasi, dan keteladanan, situasi ini amat merugikan dan
membahayakan bagi masa depan bangsa karena kita akan kehilangan generasi
tangguh dan cerdas.
Setiap
anak yang lahir dan mau tumbuh berkembang langsung terhadang oleh suasana
batin yang menghalangi loncatan perkembangan mereka. Yang menutupi dan
membuat surut mimpi-mimpi besar dan langkah ke depan mereka. Lambat-laun dan
ini sudah terjadi, yang akan menguasai jaringan dan pusat-pusat transaksi
keuangan serta kekayaan alam adalah (beralih ke) orang asing. Anakanak bangsa
cukup belajar, lalu dengan ijazah di tangan melamar kerja kepada mereka untuk
bertahan hidup. Syukur-syukur bisa membeli gaya hidup untuk memenuhi mimpi
dan dahaga hedonismenya.
Gaya
hidup dengan ditopang aksesori yang mahal menjadi sangat penting untuk
menitipkan atau menggantungkan dirinya agar kelihatan sebagai orang sukses,
hebat, bahagia, dan berharga. Ketika dirinya merasa tidak berharga atau
dilanda krisis harga diri, jalan yang mudah adalah membeli gantungan yang
bisa menaikkan citra dirinya. Gantungan itu bisa saja mobil mewah, rumah
megah, dan ornamen lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar