Menumbuhkan
Kewirausahaan
Elfindri ; Profesor Ekonomi SDM
dan Koordinator
Program S-3 Ilmu Ekonomi Universitas Andalas, Padang
|
KORAN
SINDO, 25 April 2014
Jika
kita simak belakangan, ada kecenderungan sulitnya mengurangi anak muda yang
berpendidikan menengah yang menganggur di Indonesia. Total angka pengangguran
terbuka bisa ditekan dari sekitar 10,1% tahun 2007 menjadi 6,2% tahun 2012.
Namun,
angka pengangguran usia muda 15–19 tahun masih pada rentang tinggi, yakni
30,1% pada 2007sedikitmenurunmenjadi 26,5%. Angka pengangguran pendidikan
tinggi (sarjana dan diploma) dari 13,3% pada 2007 bisa ditekan menjadi 6,2%.
Tersisa persoalan, angka pengangguran yang cukup serius dihadapi adalah pada
kalangan berpendidikan menengah (umum dan vokasional). Di mana angkanya masih
pada kisaran 10,0%, dan jumlahnya berkisar 6 juta orang. Banyak diskusi yang
menjelaskan kenapa sampai terjadi pengangguran anak muda dan berpendidikan
menengah.
Ada
kelompok yang percaya bahwa terjadinya selektivitas permintaan tenaga kerja.
Pada negara di mana tersedia upah murah, maka permintaan tenaga kerja
berketerampilan rendah akan mengisi pasar kerja. Terjadinya proses tekan
menekan ”depressing effect” di
pasar kerja. Mereka yang menamatkan pendidikan sarjana mau masuk ke pekerjaan
yang ditawarkan pada jenjang pendidikan menengah. Pekerjaan untuk mereka yang
tidak terdidik masih dimasuki oleh pekerja yang berpendidikan menengah.
Karena
penawaran angkatan kerja semi terdidik cukup besar, sebagian di antaranya
mereka tidak terserap pada pasar kerja formal. Tenaga kerja tidak terdidik
tidak punya pilihan lain. Selain harga bayangan upah ‘shadow market wage’yang
mereka terima memang relatif rendah, tidak ada pilihan-pilihan pekerjaan
dilakukan oleh mereka yang tidak terdidik. Kondisi internal memaksa kelompok
ini wajib bekerja, walaupun juga ada kecenderungan mereka bekerja di atas jam
kerja normal, dan memiliki lebih dari satu jenis pekerjaan serabutan.
Sebaliknya
karena mereka yang terdidik merasa memiliki nilai waktu lebih mahal, maka
mereka sebagian menunda untuk dapat pekerjaan yang nilainya sama atau lebih
tinggi dari pasar kerja. Pada masa itu mereka rela untuk berstatus sebagai
pencari kerja. Untuk kondisi eksternal, semakin baik mutu keadaan ekonomi
makro, disertai proyek-proyek yang berasal dari kebijakan fiskal, maka makin
besar juga permintaan tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Di sisi lain
masih ada peluang untuk meningkatkan ketersediaan dari stok tenaga kerja,
berupa peningkatan keterampilan kerja.
Mengingat
mereka yang menyelesaikan pendidikan menengah dan tinggi memang kurang
memiliki keterampilan. Dengan terbatasnya produk pendidikan yang belum
menyiapkan tenaga kerja muda berketerampilan, pembenahan dari sisi ”supply”
ini sebenarnya merupakan salah satu obat yang mungkin dapat meringankan
tekanan pasar kerja yang ada pada saat sekarang.
Kewirausahaan
Jika
kita ikuti kampanye yang telah berlalu, masih sangat minim perhatian para
partai politik untuk menyikapi keadaan dari pasar kerja Indonesia. Ada
beberapa partai yang mengusung ini semangat kewirausahaan walau sangat minim,
dan masih umum sifatnya. Apa hal yang baru yang mesti kita buat sehingga daya
ungkit dari program itu dapat memecahkan masalah tenaga kerja? Ketika
menjelang tahun 2009, muncul inisiatif untuk meningkatkan proporsi dari
tenaga kerja yang mau berfungsi sebagai wirausahawan, dengan terminologi yang
diajukan oleh Joseph A. Schumpeter (2008
Capitalism, Socialism and Democracy, Harperperenial) dengan istilah enterpreunership.
Inti
dari pandangan Schumpeter adalah bahwa mereka yang mau mengambil risiko dan
berinovasi tampil melakukan perubahan untuk menghasilkan barang dan jasa adalah
pekerja yang akhirnya bisa lebih mandiri. Di dalam tubuh wirausaha, lebih
kental kemandirian, dan bahkan sanggup merekrut orang lain untuk dipekerjakan
dalam merealisasikan ide-idenya dalam bentuk yang lebih nyata. Dalam
menyikapi demikian, gagasan yang lahir di perguruan tinggi lebih didorong
pula oleh pengusaha-pengusaha sekelas Ir. Ciputra, yang aktif mengembangkan
sekolah enterpreunership.
Sayang
sekali gerakan-gerakan seperti itu redup-redup sampai, sangat gesit ketika
isu itu diembuskan, kemudian hilang tidak bertuan setelah itu. Sehingga kita
tidak melihat adanya tren yang lebih positif terhadap upaya me-lahirkan para
wirausahawan. Nilai-nilai risiko dan terbiasa bekerja keras dan fokus
ternyata tidak terlalu kental masuk ke dalam proses pembelajaran di jenjang
pendidikan menengah dan tinggi. Adalah PM Malaysia Tun Abdul Razak, baru-baru
ini melaksanakan apa yang mereka istilahkan Program Wirausahawan Muda.
Program
ini mirip dengan wirausahawan yang dikembangkan di Indonesia di akhir 2009 di
universitas-universitas. Di Malaysia, program serupa lebih ditujukan kepada
mereka yang tidak lagi terikat dengan pendidikan formal, namun akan memasuki
dunia kerja. Selain penyiapan pekerja mandiri, penyiapan modal kerja untuk ”start up bussiess”. Malaysia
menyadari bahwa semakin terbatasnya lapangan pekerjaan upahan yang ada,
sehingga upaya untuk melahirkan wirausahawan yang tidak bergantung pada
kerajaan menjadi pilihan alternatif. Sekalipun keberhasilannya belum dapat
kita periksa, program pelatihan dan penyediaan modal kerja menjadi salah satu
yang dominan dilakukan pada anggaran fiskal tahun 2014 ini.
Bagaimana Sebaiknya?
Di
Indonesia jika kita ingin mempercepat melahirkan wirausaha, maka langkah
untuk memilih kedua jalur adalah sangat memungkinkan. Jalur pertama adalah
dengan mencoba merancang kurikulum di sekolah formal yang dapat meningkatkan
porsi dari penumbuhan jiwa wirausaha. Dengan praktik-praktik secukupnya,
sehingga melalui proses pendidikan dan praktek diharapkan setelah selesainya
menjalani pendidikan, peserta didik menjadi tinggi keinginannya untuk memulai
pekerjaan dengan inovasi-inovasi baru. Unsur menumbuhkan keterampilan dan soft skills wirausaha adalah menjadi
prioritas tertentu yang dirumuskan oleh kurikulum sekolah.
Pada
jalur kedua adalah dengan menawarkan program persiapan menjadi wirausaha bagi
mereka masa transisi, atau mereka yang sudah mulai terlibat dalam pekerjaan,
namun belum berhasil. Selama ini, upaya untuk menerima pencari kerja dan
menyalurkannya adalah salah satu upaya yang sedikit manfaatnya. Mengingat
sedikit perusahaan yang benar-benar mencari tenaga kerja melalui media iklan.
Pada proses di mana mereka yang sudah tidak lagi sekolah, model-model
menumbuhkan kewirausahaan menjadi sangat relevan.
Anak-anak
muda yang belum atau masih sedikit keterampilannya mesti diupayakan agar
mereka dapat mudah untuk ikut magang kerja, pelatihan-pelatihan, termasuk
diberi kesempatan untuk menumbuhkan bakat dan seni. Ruang bagi mereka perlu
dibuka seluas luasnya melalui program pembentukan wirausaha muda. Jika kita
saksikan dan lihat mereka yang berhasil menjadi wirausaha, jelas dapat
disimpulkan bahwa ketekunan, kerja keras, dan fokus adalah menjadi cara kerja
yang membuat sebagian di antara wirausaha berhasil dan sukses pada usia yang
masih muda. Ke arah itu sangat relevan dilakukan terobosan oleh siapa pun
yang mau melihat bahwa tenaga kerja adalah masalah besar bangsa ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar