Sabtu, 26 April 2014

Kebijakan Luar Negeri Pasca SBY

Kebijakan Luar Negeri Pasca SBY

Teuku Faizasyah  ;   Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional; Sekaligus Juru Bicara Presiden Bidang Hubungan Internasional
KOMPAS, 26 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Tulisan David McRae, ”Membaca Kebijakan Luar Negeri Indonesia” (Kompas, 5/3/2014), menarik untuk disikapi.

Postulatnya bahwa keterbatasan sumber daya menyebabkan kebijakan luar negeri Indonesia tidak punya pengaruh nyata perlu dicermati. Pertama, bagaimana memaknai pelaksanaan 10 tahun politik luar negeri Indonesia era Presiden SBY? Kedua, bagaimana kemudian kebijakannya pasca SBY?

Menurut McRae, politik luar negeri Indonesia berpotensi memengaruhi masa datang, tidak sekarang. Ukuran yang digunakan adalah kinerja diplomasi bagi pencapaian sasaran ekonomi, pemajuan soft power, dan kapasitas Indonesia dalam memengaruhi penanganan isu strategis global.

Sejatinya peningkatan nilai ekspor merupakan alat ukur kasatmata keberhasilan diplomasi ekonomi. Namun, sisi pandang perlu diperbarui saat diplomasi ekonomi harus selaras antara upaya penetrasi pasar luar negeri dan menarik investasi asing.

Di tengah persaingan global, ada nilai keekonomian produk dengan posisi tawar lebih di mata internasional. Indonesia jadi negara kunci eksportir produk kelapa sawit dan turunannya

Sambil terus meningkatkan daya saing produk ekspor, strategi diplomasi pemerintahan SBY adalah menarik investasi asing. Dalam 10 tahun ini total investasi asing (PMA) 24,56 miliar dollar AS. Meningkat hampir lima kali lipat dari pemerintahan sebelumnya (5,44 miliar dollar AS).

Dalam hal soft diplomacy, Indonesia termasuk terdepan memanfaatkan instrumen ini. Sekalipun banyak pakar menempatkan Indonesia sebagai emerging economy, Indonesia masih belum cukup mampu mengalokasikan anggaran untuk paket-paket kerja sama teknik bagi negara-negara miskin. Itulah sebabnya kerja sama teknik haruslah sangat terukur.

Satu inovasi Indonesia yang terus dimajukan adalah mekanisme tripartit, yaitu pemberian bantuan teknik dengan menyertakan negara maju. Bantuan teknis merupakan investasi diplomasi jangka panjang yang disemai di masa kini, untuk nantinya dipanen di masa datang.

Sementara itu, penanganan isu-isu global memerlukan atensi dan seni tersendiri. Terlebih lagi manakala Indonesia melihat dirinya sebagai ”a regional power with global interests and responsibilities”. Dalam konteks global ini, terdapat satu kebenaran atas pendapat McRae mengenai adanya gap of expectation antara apa yang diyakini masyarakat dapat dilakukan pemerintah dan realitas politik seutuhnya. Indonesia memang tidak pernah berpretensi akan dapat jadi penengah dalam konflik Arab-Israel ataupun memediasi pihak-pihak yang berseteru di Suriah.

Rasanya tidak adil apabila kondisi obyektif dalam konteks global tidak cukup diperhitungkan dalam menilai kapasitas Indonesia memengaruhi agenda-agenda global pada umumnya. Juga tidak adil apabila upaya Indonesia untuk mengarusutamakan agenda-agenda global seperti agenda pembangunan berkelanjutan terluputkan dari analisis McRae. Presiden SBY berhasil mendorong penerimaan konsepsi tersebut sewaktu bersama-sama dengan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf dan Perdana Menteri Inggris David Cameron memimpin panel internasional tingkat tinggi guna merumuskan agenda pembangunan global pasca MDG 2015.

Proyeksi pasca SBY

All politics is local yang jadi adagium dalam dunia perpolitikan di AS rupanya juga menjadi keniscayaan dalam perpolitikan di Indonesia. Setidaknya politik LN Indonesia bukanlah topik yang mendapat atensi tinggi dalam diskursus politik lintas partai menjelang pemilihan legislatif dan juga pemilihan presiden.

Wajar jika topik-topik seperti sengketa wilayah di Laut Tiongkok Selatan, upaya global menurunkan tingkat emisi, dan implikasi bagi ekonomi Indonesia atas langkah-langkah Bank Sentral AS menstimulasi ekonomi dalam negeri melalui pengurangan kebijakan quantitative easing (tapering) kurang populer di mata publik. Namun, terlepas dari kenyataan ini, bukanlah suatu kesia-siaan jika berbagai komponen masyarakat di Indonesia dan juga negara-negara sahabat Indonesia mulai diakrabkan dengan platform politik luar negeri dari tiap-tiap partai. Apabila tidak atas isu-isu khusus, setidaknya besaran politik LN yang akan dijalankan partai pemenang pemilu nantinya sungguh perlu dikomunikasikan.

Sejatinya dalam 10 tahun terakhir, politik LN Indonesia dan tampilan diplomasinya masih merupakan satu kelanjutan kontinum politik LN dari waktu ke waktu. Pada 2009, Menlu Marty Natalegawa dengan lugas menyatakan bahwa politik LN Indonesia yang akan dijalankan merupakan suatu continuity and change. Dalam perjalanan politik LN Indonesia 10 tahun ini, wajah diplomasi Indonesia juga diwarnai oleh faktor minat yang tinggi Presiden SBY atas politik LN dan diplomasi.

Keberlanjutan kebijakan dijalankan dengan merujuk pada amanah konstitusi dan cara pandang Indonesia atas posisi dan peran internasionalnya. Sementara itu, faktor perubahan lazimnya ditampilkan melalui inovasi pemikiran yang kemudian diarusutamakan.

Sebagai misal, dynamic equilibrium dan zero draft untuk rancangan Code of Conduct di Laut Tiongkok Selatan merupakan dua contoh inovasi itu. Bali Democracy Forum yang diluncurkan pada 2008 juga merupakan inovasi diplomasi dengan menciptakan forum antar-pemerintah di Asia untuk saling bertukar pengalaman terbaik mengenai penerapan nilai-nilai demokrasi, home-grown democracy.

Indonesia juga menerapkan pendekatan leading by example dengan menetapkan secara unilateral formula pengurangan emisi 26/41 hingga 2020 saat pertemuan G-20 di Pittsburg, AS (September 2009). Suatu pilihan kebijakan terkait lingkungan hidup yang buahnya dinikmati generasi masa depan bangsa.

Selanjutnya, sewaktu KTT Climate Change di Kopenhagen (Desember 2009), Indonesia memperjuangkan dukungan internasional untuk mengatasi tantangan perubahan iklim, termasuk atas formula yang dimajukannya. Pertemuan di Kopenhagen tersebut dicatat dalam sejarah negosiasi global atas keunikannya di mana 26 kepala negara/pemerintah, termasuk Presiden SBY, terlibat langsung dalam negosiasi (drafting) dokumen akhir konferensi, Copenhagen Accord.

Nukilan kisah di atas memuat banyak catatan yang layak disimak pemerintahan mendatang. Terlebih lagi banyak pihak berharap PLN Indonesia pasca Presiden SBY masih merupakan suatu keberlanjutan kebijakan. Perubahan bukanlah ditabukan karena terkait platform partai pemenang pemilu serta sejauh mana presiden terpilih menaruh minat pada politik LN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar