Akhiri
Perjanjian untuk Menarik Investor Asing
Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Hukum Internasional, FHUI
|
MEDIA
INDONESIA, 24 April 2014
BEBERAPA waktu yang lalu
terdengar kebijakan pemerintah melakukan moratorium terhadap perjanjian
peningkatan dan perlindungan penanaman modal (P4M). Dalam kebijakan itu
pemerintah tidak akan membuat P4M baru dengan negara lain serta tidak
memperpanjang yang telah ada.
Rencana pemerintah tersebut
patut didukung.
Perlindungan
Di awal pemerintahan HM
Soeharto, pemerintah banyak memberikan fasilitas dan perlindungan hukum bagi
investor asing. Kebijakan tersebut merupakan suatu yang wajar mengingat
ketika itu Indonesia sangat membutuhkan investor asing baik dari segi dana,
teknologi, maupun keahlian.
Salah satu fasilitas yang
diberikan kepada para investor asing yang diatur dalam perjanjian
internasional ialah penghindaraan pajak berganda. Meski perjanjian
penghindaraan pajak berganda berlaku untuk para investor kedua negara,
perjanjian tersebut lebih banyak dimanfaatkan oleh investor asing ke
Indonesia, tetapi tidak sebaliknya.
Di samping itu, untuk
menumbuhkan kepercayaan investor terhadap investasinya agar tidak
dinasionalisasi, berbagai perjanjian internasional yang memberi perlindungan
investor diikuti dan dibuat oleh pemerintah.
Menumbuhkan kepercayaan bagi
investor asing penting karena segera setelah kemerdekaan, pemerintah kerap
melakukan nasionalisasi terhadap badan usaha swasta khususnya yang dimiliki
Belanda.
Dalam konteks ini pemerintah
membuat perjanjian dengan negara-negara yang memiliki investor. Itulah yang
kemudian dikenal sebagai P4M atau bilateral investment treaty (BIT).
Inti P4M ialah Indonesia tidak
akan melakukan nasionalisasi terhadap investasi yang dilakukan oleh penanam
mo dal. Bahkan, pemerintah tidak akan membatasi pemindahan keuntungan yang
diperoleh di Indonesia untuk dialihkan ke nagara asal.
Dalam P4M diatur mekanisme
penyelesaian sengketa bila pelaku usaha merasa diperlakukan secara tidak
wajar oleh pemerintah yang dianggap menjurus pada tindakan nasionalisasi atau
`diusirnya' investor dari bumi Indonesia.
Mekanisme penyelesaian sengketa
yang diatur dalam P4M umumnya merujuk pada sebuah perjanjian antarnegara yang
dinamai Convention on the Settlement of
Investment Dispute between State and National of Other State. Untuk
singkatnya disebut Konvensi Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal.
Konvensi yang dibuat pada 1965
dan mulai berlaku pada Oktober 1966 itu disponsori oleh Bank Dunia. Pada 28
Oktober 1968 Indonesia menjadi peserta.
Berdasarkan konvensi tersebut
dibentuklah lembaga penyelesaian sengketa yang diberi nama International Center for Settlement of
Invenstment Dispute (ICSID). Dalam ketentuan ICSID, institusi yang
melakukan penyelesaian sengketa disebut Arbitrase.
Arbitrase ICSID bukanlah
arbitrase yang menyelesaikan sengketa antarsubjek hukum perdata, yaitu orang
dan badan hukum. Arbitrase ICSID menyelesaikan sengketa antara subjek hukum
perdata dan pemerintah.
Keberadaan Konvensi Penyelesaian
Sengketa Penanaman Modal di lakukan karena di ne gara-negara yang baru
merdeka, pengadilan dianggap memi liki bias. Dalam sengketa yang melibatkan
negara maka pengadilan dianggap akan berpihak pada pemerintahnya. Pengadilan
tidak akan dapat menjaga imparsialitasnya.
Oleh karena itu, untuk menjamin
tidak ada bias ini dibentuk ICSID. Negara tentunya harus secara sukarela
melepaskan kedaulatannya untuk dapat digugat di ICSID. Bagi investor asing,
ketika akan menanamkan modal, keikutsertaan negara yang dituju dalam Perjanjian Penyelesaian Sengketa Penanaman
Modal sangat penting. Mereka tidak akan menanamkan modalnya bila negara
yang dituju bukan peserta Perjanjian
Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal.
Pergeseran paradigma
Bila pada awal masa pemerintahan
HM Soeharto Indonesia membutuhkan investor asing, menjadi pertanyaan apakah
saat ini paradigma tersebut masih berlaku? Ataukah dalam fase sekarang Indone
sia berada dalam fase investor membu tuhkan In donesia, baik pasar maupun sumber
daya alam.
Jumlah penduduk Indonesia dengan
kelas menengah yang terus tumbuh dan selera masya rakat yang mudah diubah
dengan iklan menjadikan pasar Indonesia sangat menjanjikan bagi investor
asing. Meski, harus diakui, daya beli kebanyakan masyarakat masih rendah
sehingga pembajakan atas hak kekayaan intelektual marak terjadi.
Belum lagi sumber daya alam di
Indonesia kerap diobral sehingga tidak sesuai lagi dengan amanat Pasal 33
UUD. Orang perorangan bisa menjadi kaya raya karena sektor pertambangan, sementara
rakyat terus merana. Banyak lagi alasan yang dapat dijadikan dasar bahwa
Indonesia pada tahap ini dibutuhkan oleh investor asing, bukan sebaliknya.
Bila memang disepakati secara
nasional bahwa telah terjadi pergeseran paradigma, menjadi pertanyaan apakah
Indonesia perlu tetap mempertahankan perjanjian penghindaraan pajak berganda,
P4M, dan tetap menjadi peserta Konvensi Penyelesaian Sengketa Penanaman
Modal?
Jawabannya tentu `tidak'.
Pemerintah harus segera
mengakhiri perjanjian pajak berganda bila waktunya tiba, mengakhiri P4M dan
tidak mengadakan P4M baru, serta pemerintah bisa keluar dari Konvensi
Sengketa Penanaman Modal.
Mengapa demikian? Itu karena
belakangan Indonesia telah banyak dirugikan.
Pertama, hingga saat ini pelaku
usaha kita masih belum dapat memanfaatkan perjanjian pajak berganda. Para
pelaku usaha masih berkonsentrasi untuk mengeksploitasi pasar dalam negeri.
Kedua, P4M lebih banyak
digunakan investor dari negara mitra Indonesia, terutama negara maju daripada
pelaku usaha Indonesia. Hampir tidak pernah terdengar pelaku usaha Indonesia
yang memiliki masalah dengan pemerintah dari negara mitra P4M membawa ke
forum ICSID.
Ketiga, Konvensi Penyelesaian
Sengketa Penanaman Modal dan ICSID lebih banyak digunakan oleh pelaku usaha
negara mitra ketika saluran dalam negeri tidak berpihak pada mereka. Dalam
kasus yang mirip, pelaku usaha dalam negeri tidak bisa menempuh proses di
ICSID. Artinya, tidak ada playing field
yang sama antara investor asing dan lokal.
Apalagi melalui ICSID investor
asing dapat menuntut ganti rugi kepada pemerintah dalam jumlah yang sangat
fantastis. Dalam perkara Rafat Ali Rivi dan Churchill Mining, pemerintah
Indonesia dituntut jutaan dolar AS. Yang menjadi pertanyaan, tidakkah jumlah
tersebut, bila dikabulkan oleh ICSID, lebih bermanfaat kalau digunakan untuk
lebih menyejahterakan rakyat?
Perlu juga dipahami, kondisi
peradilan di Indonesia pun telah jauh berubah. Dulu memang, bila bersengketa
dengan investor asing, pemerintah yang dimenangkan. Namun, kini dengan independensi
dari lembaga peradilan, pengadilan kerap mengalahkan pemerintah bila memang
salah.
Evaluasi
Oleh karena itu, pemerintah
perlu melakukan evaluasi secara serius terhadap keberadaan berbagai fasilitas
dan perlindungan investor melalui perjanjian internasional. Keberadaan
perjanjian internasional lainnya, di luar P4M, perlu untuk dikaji.
Satu hal yang pasti, pembangunan
yang dilakukan oleh pemerintah diharapkan menjadikan Indonesia sejajar dengan
AS atau negara maju lain. Di negara-negara tersebut, investor asing tidak
dapat mendikte pemerintah. Bila mau menanamkan modal, investor asing harus
mengikuti seluruh aturan yang ada termasuk mekanisme penyelesaian sengketa
yang tersedia.
Tidakkah Indonesia mau dalam
posisi seperti negaranegara tersebut?
Pemerintahan SBY telah memulai
melakukan moratorium P4M dan diharapkan pemerintahan mendatang dapat
meneruskan kebijakan tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar