Sabtu, 26 April 2014

Pendidikan dan Daya Saing

Pendidikan dan Daya Saing

Dinna Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 23 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Dalam sebulan ini kita telah mendengar diskusi, kampanye, dan slogan-slogan yang dilakukan partai politik (parpol) dan para calon presiden (capres) tentang pentingnya kemandirian ekonomi Indonesia di dalam sistem kapitalisme yang kompetitif.

Hampir semua menyatakan kita harus lepas dari utang, menolak investasi asing, dan bila perlu menasionalisasi seluruh perusahaan mineral dan minyak yang telah dikuasai asing. Saya sambut baik janji-janji parpol dan para capres itu walaupun dengan tanda tanya besar perihal jalan apa yang akan mereka lalui untuk mewujudkan ide-ide besar itu. Dalam 10 tahun terakhir ini, perekonomian kita lebih didominasi perdagangan mineral, produk perkebunan, dan minyak bumi yang sedikit memberikan nilai tambah.

Apabila menggunakan teori pembangunan klasik seperti teori ketergantungan dan keterbelakangan, tingkat perkembangan ekonomi negara kita masuk dalam kategori negara pinggiran (periphery), yaitu negara-negara yang suka mengekspor barang-barang nonproduksi seperti minyak bumi, mineral, hasil kebun, dan produk-produk lain yang hanya dikeruk dan tidak perlu pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah. Sementara dengan kondisi demografi kelas menengah yang gemuk, kita banyak mengimpor barang-barang konsumsi yang nilai tambahnya lebih tinggi dan menguntungkan negara-negara yang memiliki perusahaan-perusahaan dengan nama brand yang sudah terkenal seperti Apple, Samsung, DELL, Adidas, NIKE, Sony.

Negara-negara tersebut umumnya sudah berada di lapisan inti atau semi-periphery yang lebih mengandalkan keterampilan dan kecerdasan sumber daya manusianya dalam perdagangan. Salah satu hal yang dapat membawa negara-negara seperti Korea Selatan, Taiwan atau China dapat naik kelas menjadi negara industri yang maju dan bersaing dengan negara-negara utama seperti Amerika Serikat tidak lain karena kualitas sumber daya manusia yang tinggi. Michael Porter mengatakan sejak tahun 1980-an negara-negara dunia saat ini saling berlomba untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya.

Negara-negara berkembang yang penuh dengan sumber daya manusia yang tidak terampil menjadi sasaran investasi atau lebih parahnya sekadar ”pasar” bagi perusahaan-perusahaan dari negara maju. Perusahaan-perusahaan tersebut mencari upah pekerja yang murah di negara berkembang akibat upah pekerja di negeri asal mereka sudah sangat tinggi. Upah murah karena pekerja yang tidak terampil menurut Porter adalah ”lower-order” competitive advantage yang sifatnya tidak stabil dan sulit dijadikan dasar untuk pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

Tidak stabil karena akan ada negara lain yang bisa memberikan upah jauh lebih murah dan di sisi lain tekanan biaya hidup yang semakin besar akan mendorong pekerja untuk menuntut kesejahteraan tanpa disertai dengan produktivitas yang sepadan. Faktor yang lebih stabil untuk dijadikan dasar pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah kemampuan dalam penguasaan teknologi, diferensiasi produk, atau peningkatan nilai tambah dalam rantai produksi komoditi. Keunggulan ini disebut dengan ”high-order” competitive advantage karena ia lebih stabil dan kokoh.

Contohnya hubungan antara Apple dengan perusahaan pemasoknya asal Taiwan, Foxconn. Di tahun 2011, Apple memperoleh pendapatan USD108 miliar dan keuntungan bersihnya sebesar USD43 miliar. Sementara Foxconn yang memproduksi IPhone dan perangkat elektronik lain untuk Apple hanya memperoleh pendapatan USD111 miliar dan keuntungan sebesar USD2,2 miliar. Dari sisi tenaga kerja, Apple hanya mempekerjakan 60.400 orang sementara Foxconn 920.000 orang. Kita dapat lihat bahwa nilai yang dihasilkan per orang adalah USD711 ribu untuk Apple berbanding USD239 untuk Foxconn.

Setiap tahun Apple semakin kaya karena perangkat handphone yang dibuat baik dari materi dan teknologinya semakin rumit dan canggih, sementara perusahaan seperti Foxconn hanya mengandalkan kelebihan volume dan skala bila ingin mendapatkan keuntungan. Strategi itu pun tampaknya tidak lagi berhasil karena upah rendah yang dulu menjadi keunggulan di China sekarang tidak lagi unggul sehingga mereka memikirkan untuk mencari lokasi baru di Jakarta.

Contoh di atas menjadi pelajaran buat kita bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kemandirian ekonomi dan menjadi pemenang dalam kompetisi di dunia adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia kita yang tidak lain dengan jalan memperbaiki pendidikan kita. Saat ini, harus diakui sistem dan kurikulum pendidikan di Indonesia belum terbukti menghasilkan sumber daya manusia yang kompetitif di pasar tenaga kerja. Alasan pertama karena hanya sedikit orang Indonesia yang bisa berpartisipasi dalam pendidikan formal.

Dari data BPS tahun 2012, angka buta huruf pun belum sepenuhnya hilang dari bumi Indonesia karena hanya 97,95% anak usia 7–12 tahun yang punya kesempatan bersekolah dasar. Dari populasi Indonesia berusia 15 tahun ke atas, masih ada 5,88% penduduk yang belum pernah mengenyam bangku sekolah sama sekali dan 13,90% tidak tamat SD. Mereka yang sempat merasakan bangku SMA/sederajat hanya 15,84%, itu pun hanya sekitar 31% yang menamatkan studinya di bangku SMA/ sederajat. Artinya rata-rata pendidikan di Indonesia hanya setaraf SD dan SMP.

Kita punya problem besar perihal kemampuan menamatkan studi. Alasan kedua karena mereka yang sanggup bersekolah sampai SMA/sederajat pun punya problem besar untuk menuntaskan studi, apalagi melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tak hanya karena ada keterbatasan sebaran SMA/sederajat, jumlah SMA/sederajat yang bermutu pun sangat terbatas dan harganya mahal, sementara bahan-bahan pelajaran yang termaktub dalam kurikulumnya terbukti belum cukup membuat siswa siap bersaing di perguruan tinggi.

Para pengajar di perguruan tinggi selalu harus repot dengan perbaikan minat membaca, kemampuan menulis, dan kemampuan berargumen secara ilmiah. Itu pun tidak semua perguruan tinggi punya kesiapan untuk melakukan perbaikan itu karena rata-rata dosennya juga dididik dengan suasana yang sama, yakni sekadar pasif dan tidak diajak membangun keterampilan menghadapi dunia kerja 20 tahun mendatang. Sementara itu, apa yang diwacanakan di tingkat pemerintah dan parpol? Tak jauh dari perubahan kurikulum atau materi buku ajar demi perbaikan akhlak.

Jarang sekali diangkat topik pembicaraan tentang perbaikan proses pembelajaran yang membuat siswa kritis, punya minat mendalam pada pendalaman ilmu, atau perbaikan mutu para pengajar. Program sokongan pemerintah baru sebatas membagikan beasiswa yang jumlah dan jenisnya pun sangat terbatas dibandingkan kebutuhan. Lagi-lagi perlu diingat problem mendasar di negeri ini adalah kemampuan menamatkan sekolah dan tidak sepenuhnya karena masalah uang sekolah saja.

Di tingkat internasional, isu pendidikan menjadi wacana hangat karena sejumlah negara maju ternyata termasuk ”tertinggal” dalam kemampuan meningkatkan mutu pendidikannya dibandingkan negara-negara lain yang relatif meru-pakan pemain baru dalam tataran internasional. Sebut saja Amerika Serikat yang dalam World Education Ranking ala OECD ”hanya” menempati posisi ke-17 dalam kemampuan siswanya melakukan tugas membaca, matematika, dan ilmu pasti; jauh di bawah China (tapi yang disurvei hanya di Shanghai), Korea Selatan, Finlandia, Hong Kong, bahkan Singapura.

Indonesia di situ berada di peringkat ke-57, jauh di bawah Thailand, Meksiko, bahkan Turki dan Brasil. Peringkat tersebut konsisten dengan peringkat Best Countries for Education yang dilakukan Economist Intelligence Unit. Yang menarik di sini adalah studi-studi tersebut menunjukkan bahwa kesuksesan pendidikan tidak sekadar ditentukan besarnya anggaran pemerintah di bidang pendidikan, gaji guru atau usia masuk sekolah. Simpulan yang konsisten adalah bahwa sekadar menggelontorkan dana, meskipun sangat terencana, ternyata tidak bisa banyak mengubah hasil akhir pada siswa karena pendidikan membutuhkan sistem yang sangat terfokus, berjangka panjang, koheren, dan konsisten.

Guru yang bermutu sangatlah penting khususnya karena mereka perlu dihargai sebagai profesional dan bukan sekadar ”mesin penghasil lulusan” sehingga mereka harus diajak untuk mengevaluasi kebutuhan dunia kerja setidaknya 20 tahun mendatang. Hal ini sulit karena biasanya guru terjebak pada pengulangan cara dan substansi bahan ajar yang pernah ia alami saja. Selain itu, keikutsertaan orang tua dan model evaluasi dan diskusi di kelas sudah dibincangkan sebagai faktor penting untuk memotivasi siswa meningkatkan mobilitasnya sebagai individu yang kompetitif.

Artinya, wacana dan upaya perbaikan kebijakan publik di bidang pendidikan di Indonesia masih jauh panggang dari api. Kalau pola pikir pemangku kebijakan tidak berubah, entah sampai kapan negara kita masih akan sekadar menjadi penonton dan pemain pinggiran dalam persaingan ekonomi global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar