Setelah Khalid
Basalamah Batal Ceramah di IPDN Riky Ferdianto : Jurnalis Tempo |
MAJALAH TEMPO, 25
Juni
2022
LAPORAN tertanggal 20 Juni
2022 dari Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Hadi Prabowo itu
mendarat ke meja Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam waktu singkat.
Hadi melaporkan hasil penelusuran rencana anak didiknya yang akan mengundang
pendakwah Khalid Basalamah ke kampus mereka di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Hadi mengutip sebagian isi
laporan itu saat menyampaikan kata sambutan dalam kuliah umum bertema
“Antisipasi Gerakan Radikalisme dan Intoleran dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara”. “Perlu kami tegaskan bahwa yang terjadi pada 15 Juni lalu merupakan
inisiatif praja,” kata Hadi saat membuka acara di aula Gedung Balairung
Rudini, kampus Jatinangor, Rabu, 22 Juni lalu. Ratusan praja berseragam
cokelat terlihat menghadiri kuliah umum pada hari itu. Rencananya, Direktur
The Wahid Foundation Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid atau populer disapa
Yenny Wahid, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris
Jenderal Boy Rafli Amar, dan Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror Inspektur
Jenderal Marthinus Hukom akan menjadi pemateri. Pengajian yang mengundang
Khalid Basalamah batal terselenggara tak lama setelah pamflet acara yang
diunggah Kerohanian Islam IPDN menuai kritik. Para pengkritik menganggap
kehadiran Khalid Basalamah mencerminkan benih radikalisme di kampus IPDN. Sosok Khalid dianggap
kontroversial karena pernah menyampaikan larangan menyanyikan lagu kebangsaan
“Indonesia Raya” dalam sepotong video pendek. Khalid sempat mengklarifikasi
bahwa ia menghargai jasa pahlawan dan tetap mendukung pemerintah dalam setiap
kegiatan positif. Namun acara pengajian yang dijadwalkan digelar pada 17 Juni
di Masjid Darul Maarif kampus Jatinangor itu tetap dibatalkan pihak rektorat. Kepala Bagian Hubungan
Masyarakat IPDN Laode Muhamad meragukan radikalisme tumbuh subur di kalangan
praja. Sebab, aktivitas setiap praja selalu dipantau dan wajib dilaporkan,
tak terkecuali aktivitas mereka di luar kampus. Upaya menangkal
radikalisme juga diselenggarakan IPDN secara berkala di tengah proses
pendidikan atau menjelang kelulusan para praja. “Kami adakan kuliah umum
secara rutin untuk pembekalan,” ujarnya. Apalagi aktivitas keagamaan di
Masjid Darul Maarif minim interaksi dengan dunia luar. Masjid itu hanya
dibuka untuk kalangan umum saat waktu salat Jumat. Tempo berkesempatan
menyambangi bangunan masjid di dalam kompleks IPDN itu. Bangunan dengan satu
lantai tersebut hanya ramai ketika memasuki waktu salat. Bagian pojok kanan
bangunan digunakan sebagai sekretariat seksi Kerohanian Islam. Pintunya
berwarna cokelat. Sebuah papan bertulisan “Sekretariat Rohis” terpasang di
atasnya. Rektorat telanjur
merespons serius rencana pengajian tersebut. Hadi Prabowo meminta Kepolisian
Daerah Jawa Barat menyelidiki asal-usul pengajian. Polisi sudah memeriksa
penyelenggara acara. Rapat finalisasi rektorat pada Senin, 20 Juni lalu,
menyimpulkan bahwa acara yang digagas untuk Praja Utama Angkatan XXIX IPDN
itu cacat prosedur. Acara tersebut lolos dari
pantauan rektorat lantaran tak mengindahkan mekanisme pelaporan secara
berjenjang. Seharusnya, semua usul acara harus dilaporkan kepada Manggala
Bhakti Praja dan diuji kembali oleh bagian ekstrakurikuler. Pihak rektorat bisa
mengabulkan atau menolak suatu kegiatan. Menurut Hadi, Khalid Basalamah
dianggap tak memiliki kompetensi sebagai pemateri agama. “IPDN sangat
berhati-hati menentukan narasumber. Kita tahu paham apa yang selama ini dia
syiarkan,” katanya. Salinan laporan
pemeriksaan yang diperoleh menuliskan penentuan Khalid Basalamah sebagai
pemateri tak melibatkan Praja Utama secara langsung. Acara itu terselenggara berdasarkan
hasil konsultasi Kepala Sub-Bagian Kerohanian berinisial IR dengan
Koordinator Ekstrakurikuler berinisial HP. Proposal itu pun tak
dikaji secara cermat ketika ditelaah oleh bawahan HP, yaitu YPH. Belakangan,
diketahui YPH ditengarai kerap memalsukan tanda tangan dan persetujuan
atasannya demi kelancaran banyak kegiatan lain di IPDN. Kepala Kepolisian Resor
Sumedang Ajun Komisaris Besar Eko Prasetyo Robbyanto mengatakan skandal
pemalsuan izin itu belum bisa diproses secara hukum. Polisi masih menunggu
penyelesaian lewat mekanisme internal IPDN dan Kementerian Dalam Negeri. Kementerian turun tangan
dalam kasus itu lantaran IPDN merupakan sekolah dengan ikatan dinas yang
berada di bawah pengawasan Kementerian Dalam Negeri. “Pendalaman lebih lanjut
akan dilakukan oleh tim khusus Inspektorat Kementerian Dalam Negeri,” ucap
Eko. Salah seorang praja IPDN,
Hindarto Hidayat, enggan mengomentari temuan dan hasil penyelidikan kasus
itu. Menurut dia, ceramah agama merupakan agenda kegiatan kerohanian yang
terjadwal secara rutin. “Sesi kerohanian Islam tak bisa begitu saja menggelar
acara itu tanpa persetujuan bagian ekstrakurikuler,” ujarnya. Hindarto
merupakan Direktur Jenderal Bina Kerohanian IPDN, jabatan di tingkat
organisasi mahasiswa yang bertugas membina semua kegiatan kerohanian di IPDN,
termasuk Rohis. Sebelumnya IPDN pernah
terseret isu radikalisme. Densus 88 Antiteror menangkap tiga alumnus IPDN
dalam kasus terorisme pada 2010. Mereka adalah Gema Awal Ramadhan, Agam
Fitriadi alias Afit alias Syamil, dan Yudi Zulfahri alias Barok. Ketiganya
ditangkap karena mengikuti pelatihan militer Jemaah Islamiyah (JI) di Jantho,
Aceh Besar. Gema merupakan alumnus
IPDN 2006. Pria asal Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, itu tercatat pernah
menjadi pegawai pemerintah di Kabupaten Sumedang. Adapun Yudi tercatat
sebagai alumnus IPDN asal Aceh yang lulus pada 2006 dan pernah bekerja
sebagai pegawai Pemerintah Kota Banda Aceh. Belakangan, Yudi insyaf dan ikut
bergabung dalam program deradikalisasi BNPT. Video pengakuan Yudi
tersebar di sejumlah platform media sosial. Yudi mengaku pernah terjangkit
virus radikalisme dan terlibat dalam gerakan membangun basis militer JI.
Musuh utamanya adalah perlawanan terhadap negara. Ia mengaku insyaf setelah
bertemu dengan Ali Imron, terpidana kasus bom Bali. “Dialah yang membuka
pikiran saya,” katanya. Rektor IPDN Hadi Prabowo
menolak anggapan yang mengaitkan ulah para alumnus kampusnya dengan aktivitas
kampus. Menurut dia, setiap alumnus perguruan tinggi mana pun berpotensi terpapar
radikalisme jika belajar dari sumber yang keliru. “Apalagi setelah praja
ditempatkan di instansi pemerintahan, maka mereka bukan lagi tanggung jawab
IPDN,” ujarnya. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/hukum/166277/setelah-khalid-basalamah-batal-ceramah-di-ipdn |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar