Mengapa Nilai Uang
Kripto Anjlok Retno Sulistyowati : Jurnalis Tempo |
MAJALAH TEMPO, 25
Juni
2022
MUKHTAR Juned masih
berupaya tenang meski nilai mata uang kripto yang ia pegang melorot tajam.
Karyawan sebuah badan usaha milik negara di Aceh ini memilih menyimpan 100-an
unit Dogecoin yang ia beli tahun lalu. Saat itu Mukhtar membeli
Dogecoin Rp 900 ribu per unit. Harganya sempat melejit hingga Rp 2,4 juta
pada awal Januari lalu. Namun kini nilainya kembali ke kisaran Rp 900 ribuan.
“Lumayan naik sedikit,” dia bercerita kepada Tempo pada Sabtu, 25 Juni lalu. Mukhtar termasuk investor
yang optimistis di tengah gejolak pasar kripto sepanjang tahun ini. Pasar
yang jenuh, inflasi, dan memburuknya kondisi makroekonomi global akibat
perang Rusia-Ukraina mengembuskan badai "musim dingin" alias
penurunan nilai besar-besaran pada semua jenis mata uang kripto. Kini Mukhtar
terpaksa mengambil posisi wait and see, bersabar menunggu crypto winter ini
berakhir. “Jangan sebentar-sebentar lepas.” Sikap optimistis juga
ditunjukkan trader Tokocrypto, Afid Sugiono. Dia merujuk pada nilai
perdagangan yang bergerak positif menjelang akhir pekan lalu. Menurut Afid,
investor mulai percaya diri untuk meramaikan pasar dengan aksi beli.
"Investor yakin bisa mendapatkan keuntungan dalam jangka panjang ketika
pasar kripto kembali bullish (bergairah),” katanya pada Jumat, 24 Juni lalu. Optimisme ini sedikit
beralasan. Pada Sabtu, 25 Juni lalu, pukul 07.20 WIB, misalnya, harga Bitcoin
di situs Coinmarketcap.com naik 0,47 persen dalam 24 jam atau meningkat 3,4
persen dalam sepekan. Aset kripto terpopuler ini diperdagangkan di harga US$
21.202,98 atau Rp 314.429.591. Sedangkan nilai Dogecoin naik 3,25 persen ke posisi
Rp 992,66 pada pukul 07.25 WIB. Menurut Afid, investor
justru menanti harga aset kripto mencapai titik terendah. Dia mengacu pada
fenomena Bitcoin crash pada 2013 dan 2017, saat nilai mata uang kripto itu
anjlok hingga 80 persen sebelum kemudian melesat lagi karena diburu investor
yang tergiur harga murah. Saat ini harga Bitcoin mencapai US$ 21 ribu atau
jatuh 75 persen dari titik tertinggi pada November 2021. “Jika inflasi dan
tekanan geopolitik mereda, pasar kembali positif,” ujarnya. Di tengah pasar yang
bertumbuh, tak salah jika para pemain kripto di Indonesia memilih bertahan.
Ibaratnya, tidak apa-apa rugi sementara jika ada harapan menuai untung dalam
jangka panjang. Dengan tren kenaikan transaksi bulanan, yang menurut Badan
Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencapai 16,2 persen
sepanjang tahun ini, para trader dan platform yang memfasilitasi perdagangan
kripto masih punya banyak harapan. Vice President Marketing
Tokocrypto Adytia Raflein mengatakan industri aset kripto di Indonesia masih
positif. Dia mengklaim jumlah investor aset kripto masih jauh lebih besar
dibanding pemain pasar saham. "Dampak kondisi pasar sudah diantisipasi
sehingga belum memberikan efek serius untuk pertumbuhan industri kripto di
Indonesia," ucapnya. Namun analis pasar uang
Poltak Hotradero mengingatkan, gonjang-ganjing nilai aset kripto bakal terus
menghantui para investor. “Jika volatilitasnya terlalu signifikan, dalam
hitungan detik bisa untung atau rugi besar. Aset seperti Bitcoin tidak
memenuhi syarat dari aspek stabilitas,” tuturnya. Poltak juga menyoroti
nihilnya fungsi aset kripto sebagai storage of value atau pelindung nilai
dari inflasi. Menurut dia, jika memang aset kripto memiliki fungsi ini,
harganya akan meningkat jika inflasi naik dan sebaliknya, mengendur bila
inflasi turun. Faktanya, kata Poltak,
saat inflasi meningkat seperti saat ini dan bank menaikkan suku bunga,
investor melepas aset kripto yang berisiko tinggi. Karena itu, dia menilai
arus modal keluar dari aset kripto akan berlanjut dan badai musim dingin
bakal berkepanjangan. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/166280/mengapa-nilai-uang-kripto-anjlok |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar