Mengapa Terduga
Pelaku Pelecehan Seksual di Unri Belum Dihukum Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 18
Juni
2022
TAK kunjung turunnya
sanksi administratif bagi dosen terduga pelaku pelecehan seksual terhadap
mahasiswa di Universitas Riau adalah bukti kegagalan Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam melindungi korban. Kelambanan
kementerian dalam menindak pelaku bisa menambah derita korban yang sedang
berjuang menyembuhkan diri dari trauma. Kementerian dan
universitas semestinya memprioritaskan perlindungan dan hak-hak korban yang
makin terpojok setelah Pengadilan Negeri Riau memvonis bebas terdakwa pelaku
pelecehan seksual, Syafri Harto. Meski belum berkekuatan hukum tetap, putusan
itu menjadi teror baru bagi korban yang selama ini telah mendapat stigma
negatif. Tekanan kepada korban bertambah karena Syafri melaporkan balik
korban atas tuduhan pencemaran nama. Bebas dari tuntutan hukum dan tanpa sanksi
administratif bisa membuat Syafri semakin jemawa dan merasa tidak bersalah. Sesungguhnya tidak sulit
bagi Menteri Nadiem Makarim untuk segera memberikan sanksi administratif
kepada Syafri. Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas
Riau, yang separuh anggotanya adalah mahasiswa, juga sudah memberikan
rekomendasi sanksi administratif sedang sampai berat bagi Dekan nonaktif
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tersebut. Bentuk sanksinya pun sudah
diatur secara jelas dalam Pasal 14 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di
Lingkungan Perguruan Tinggi. Aturan itu diteken Nadiem dan diundangkan pada 3
September 2021. Sanksi administratif sedang adalah pemberhentian sementara
dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan. Adapun sanksi administratif berat
berupa pemberhentian tetap dari jabatan sebagai pendidik. Sanksi administratif dapat
diperberat dari rekomendasi satgas bila korbannya penyandang disabilitas. Hal
lain yang bisa memperberat sanksi adalah dampak kekerasan seksual yang
dialami korban serta status pelaku sebagai pejabat kampus. Pemberian sanksi
tersebut tidak perlu menunggu putusan pidananya berkekuatan hukum tetap atau
inkrah. Sikap setengah hati Nadiem
yang tak kunjung memberikan sanksi dapat merugikan upaya menekan tindak
kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Tanpa perlindungan yang
semestinya, para korban pelecehan seksual di kampus makin takut melapor dan
memperjuangkan haknya. Lambannya penanganan kasus
pelecehan seksual di Universitas Riau juga membuktikan ketidaksiapan
Kementerian Pendidikan menjalankan peraturannya sendiri. Kementerian
semestinya menyiapkan unit pelaksana teknis sebelum menerbitkan peraturan.
Tugas unit itu antara lain mengumpulkan hasil penanganan kasus kekerasan
seksual oleh satgas universitas, mengecek kampus mana saja yang belum
membentuk satgas, dan menyelenggarakan pelatihan. Kekerasan seksual di
lingkungan kampus adalah masalah besar yang tak cukup ditangani dengan
menerbitkan peraturan menteri. Harus ada ketegasan dari Kementerian
Pendidikan dan perguruan tinggi untuk menerapkan aturan tersebut dan
memberikan sanksi kepada pelakunya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar