Apa Saja Modal
Politik Anies Baswedan Menjadi Calon Presiden 2024 Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 25
Juni
2022
KEMENANGANNYA dalam
pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 menjadi modal sekaligus beban bagi karier
politik Anies Baswedan. Dua sisi berlawanan itu akan menentukan peluangnya
pada pemilihan presiden 2024. Di tengah pergulatan personalnya, ia mesti
bernegosiasi dengan partai politik. Modal terbesar Anies adalah
panggung besar DKI-1. Posisi strategis ini menyediakan lampu sorot yang
terang baginya. Publikasi media massa dan sokongan serta cercaan di media
sosial membuat namanya terus dibicarakan. Keistimewaan Provinsi Jakarta juga
memungkinkan ia menjalankan aneka program tanpa terkendala daerah
administratif di bawahnya. Posisi politik yang
dikesankan berseberangan dengan Presiden Joko Widodo—juga akibat pemilihan
Gubernur DKI—memperbesar modal politik Anies. Ia mendapat limpahan dukungan
dari kelompok anti-Jokowi. Antara lain dari sebagian besar penyokong Prabowo
Subianto, yang dikalahkan Jokowi pada pemilihan presiden 2014 dan 2019–meski
belakangan bergabung ke pemerintahan. Modal politik itu mengerek
popularitas dan elektabilitas Anies yang kini masuk tiga besar calon presiden
2024 versi sejumlah lembaga survei. Dua lainnya adalah Prabowo Subianto dan
Ganjar Pranowo, yang telah dua periode menjadi Gubernur Jawa Tengah.
Pertengahan Juni lalu, Partai NasDem mengumumkan Anies sebagai satu dari tiga
calon presiden bersama Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Andika
Perkasa dan Ganjar. Kemenangan 2017 juga
membubuhkan noda hitam bagi Anies. Pertarungan brutal dengan gubernur
inkumben, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, seketika menempatkannya pada
sudut “ekstrem kanan”. Ia dianggap menggunakan politik identitas buat
mendapatkan suara. Tuduhan itu sulit ditepis karena kelompok penentang
Ahok—terutama yang mengerahkan massa buat memprotes pernyataannya soal “Surat
Al-Maidah 51 dipakai untuk membohongi umat”—terang-terangan mendukungnya. Anies pun tak tegas
bersikap terhadap berbagai politisasi agama oleh pendukungnya. Pada titik
tertentu, ia bahkan menumpang gelombang fanatisme itu. Misalnya, ia hadir di
markas Front Pembela Islam, organisasi yang kemudian dibubarkan pemerintah
Jokowi. Anies yang pada 2014 menjadi bagian terdalam tim pemenangan Jokowi
saat pertama kali mengalahkan Prabowo juga beralih haluan. Ia menjadi calon
Gubernur DKI dari Partai Gerindra yang dipimpin eks menantu Presiden Soeharto
itu. Hingga tahun terakhir
periode kepemimpinannya di Jakarta, Anies terus diganduli pertarungan 2017.
Apalagi kelompok penentangnya mendorongnya agar terus berada pada citra
konservatif. Dalam konteks ini, mudah ditebak, Anies berusaha lepas dari
kotak tersebut untuk memperluas basis konstituen. Dua politikus cum
pengusaha, Surya Paloh dan Jusuf Kalla, menjadi penyokong Anies buat kembali
mendapatkan legitimasi dalam mengkampanyekan “tenun kebangsaan”, istilah yang
dulu ia populerkan tapi ditanggalkan pada pemilihan kepala daerah DKI. Surya,
Ketua Umum Partai NasDem, serta Kalla, wakil presiden di era Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jokowi, berusaha menyediakan tiket pencalonan: koalisi partai
dengan 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen perolehan suara
Pemilihan Umum 2019. Mereka mendekati partai-partai nasionalis buat
mengimbangi partai berbasis massa Islam yang besar kemungkinan masuk ke
gerbong ini. Konstelasi politik bisa
makin rumit dengan menghitung faktor Jokowi, yang akan berperan besar dalam
menentukan penggantinya. Kedekatan partai dan irisan basis pendukungnya
membuat Jokowi mungkin mendukung Ganjar Pranowo. Namun, pada saat yang sama,
ia ada kemungkinan menaruh “sebagian telurnya di keranjang lain”, termasuk di
keramba Anies Baswedan. Maka beban politik Anies
akibat pemilihan 2017 kini diperburuk oleh jebakan masa depan:
ketergantungannya pada elite partai politik, yang telah menjadi kartel—beban
serupa dihadapi kandidat lain yang tidak punya “kendaraan” sendiri, termasuk
Ganjar. Desain pemilihan dengan ambang batas minimal pencalonan yang begitu
besar menempatkan elite partai pada posisi dominan. Lanskap politik semacam
itu mesti dirombak buat memperbesar ruang partisipasi publik dalam menentukan
pemimpin negara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar