Kenapa Suap Bekas
Wali Kota Yogyakarta Bukan Korupsi Biasa Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 18
Juni
2022
PENANGKAPAN bekas Wali
Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kian
menegaskan bahwa perizinan hotel dan apartemen di Kota Pelajar itu berlumur
masalah. Pejabat daerah yang terlibat dalam pengeluaran izin tersebut tak
hanya loba, tapi juga tega mengorbankan masyarakat dan lingkungan sekitar
hotel. Modus korupsi Haryadi amat
vulgar. Meski apartemen Royal Kedhaton jelas-jelas melanggar aturan pendirian
gedung, dia memerintahkan Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Kota Yogyakarta
menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB). Apartemen milik PT Summarecon
Agung yang dibangun di kawasan Malioboro itu akan berdiri setinggi 40 meter
untuk 14 lantai. Padahal, menurut peraturan daerah Kota Yogyakarta, tinggi
bangunan untuk kepentingan ekonomi maksimal 32 meter. Atas jasanya memuluskan
IMB, Haryadi mendapat imbalan Rp 440 juta dari Oon Nusihono, petinggi
Summarecon. Pola itu ditengarai
terjadi juga dalam perkara lain. Pada 2015, misalnya, Haryadi memerintahkan
dinas menerbitkan IMB bagi Swiss-Belhotel Yogyakarta meskipun hotel itu
melanggar aturan pendirian gedung—bangunan hotel keluar dari persil dan
mencaplok sebagian tanah negara. Becermin pada kasus Royal Kedhaton, KPK juga
harus menelusuri motif Haryadi dalam pemberian izin Swiss-Belhotel. Daftar perkara bisa makin
panjang jika semua izin yang dikeluarkan Haryadi diselidiki. Selama dua
periode memimpin Yogyakarta, Haryadi mengobral lebih dari 100 izin hotel.
Jika KPK serius menangani kasus ini, keganjilan seperti pada pemberian izin
Royal Kedhaton ataupun Swiss-Belhotel akan terbuka satu per satu. Bukan tak
mungkin banyak izin terbit berkat adanya pelicin. Faktanya, akibat pemberian
izin yang kacau tersebut, bukan cuma tata ruang kota yang menjadi amburadul,
masyarakat pun terkena dampaknya. Kekeringan mengancam sejumlah wilayah
karena sebagian hotel dan apartemen diduga menggunakan air tanah yang
biayanya lebih murah, bukan air dari perusahaan daerah air minum (PDAM)
sebagaimana seharusnya. Contoh yang mengemuka adalah bencana yang menimpa
Kampung Miliran setelah berdirinya sebuah hotel di daerah itu pada 2014.
Penggunaan air tanah oleh hotel tersebut menyebabkan sumur penduduk di
sekitarnya kerontang. Jikapun hotel menggunakan
air dari PDAM, bukan berarti penduduk tak terancam kehilangan air tanah.
Sebagian besar air PDAM Yogyakarta bersumber dari air tanah. Hanya kurang
dari 15 persen yang berasal dari air permukaan. Ditambah dengan adanya
pencurian air tanah oleh hotel, apartemen, ataupun pusat belanja, permukaan
air tanah di Yogyakarta terus menurun. Setiap tahun diperkirakan penurunannya
mencapai 20-35 sentimeter. Akibatnya, masyarakat makin sulit mengakses air
bersih. Jelaslah bahwa suap dalam
perizinan hotel atau apartemen bukan semata-mata korupsi, tapi pidana yang
berdampak pada manusia dan lingkungan. Ini serupa dengan suap pemberian izin
di sektor kehutanan atau perkebunan, sebagaimana pula pertambangan: korupsi
berimpitan dengan kejahatan ekologi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar