Mengapa Proyek Menara
BTS 4G di Daerah Terpencil Kisruh Khairul Anam : Wartawan Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 11
Juni
2022
PROYEK menara pemancar
telekomunikasi atau base transceiver
station (BTS) 4G di sejumlah daerah terdepan, terluar, dan tertinggal
(3T) membuat Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate gerah.
Betapa tidak, proyek ini terkatung-katung hingga satu tahun. Masalah ini pun dibahas
dalam rapat kerja Kementerian Komunikasi bersama Komisi I Dewan Perwakilan
Rakyat pada Rabu, 8 Juni lalu. “Ada beberapa wilayah yang terhambat, baik
pembangunan maupun penggunaannya,” kata Dave Laksono, anggota Komisi I DPR,
yang antara lain membidangi komunikasi dan informatika. Seusai rapat, Plate enggan
menanggapi pertanyaan tentang proyek menara yang digarap Badan Aksesibilitas
Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) itu. Bakti adalah badan layanan umum di
bawah Kementerian Komunikasi. “Sudah saya beri tahu, tanya ke Bakti saja,”
tutur Plate sembari dikawal sejumlah ajudan. Berkali-kali dia mengelak dari
pertanyaan itu. Persoalan berawal dari
molornya pembangunan 4.200 BTS 4G yang seharusnya selesai tahun lalu.
Pekerjaan ini adalah bagian pertama dari proyek ambisius pemerintah, yang
ingin membangun 7.904 BTS hingga 2022 dengan nilai Rp 28,3 triliun. Biaya
pembangunannya berasal dari universal service obligation atau setoran
perusahaan telekomunikasi yang dikelola Bakti, ditambah penerimaan negara
bukan pajak dan anggaran negara yang dijalankan Kementerian Komunikasi. Pada kenyataannya, tahap
pertama proyek BTS ini baru selesai 46 persen atau 1.791 menara. Kementerian
Komunikasi kemudian memberi waktu tambahan kepada Bakti dan tiga konsorsium
pemenang tender untuk merampungkannya hingga Maret lalu. Namun tak ada
kemajuan yang berarti. Padahal pembangunan menara
BTS 4G di daerah 3T ini seharusnya menjadi prioritas karena masuk daftar
proyek strategis nasional. Penyelesaian proyek ini juga merupakan perintah
Presiden Joko Widodo sebagai bagian dari upaya mempercepat transformasi
digital secara merata. BTS itu kemudian akan disewa oleh operator seluler,
yaitu PT Telekomunikasi Selular atau Telkomsel dan PT XL Axiata Tbk. Kepada Tempo, Kepala
Divisi Infrastruktur Lastmile Backhaul Bakti Feriandi Mirza mengatakan ada
banyak sebab tersendatnya proyek BTS 4G. Salah satunya pandemi Covid-19 yang
mempengaruhi rantai pasok komponen menara telekomunikasi. Menurut dia,
kontraktor sulit mendapatkan perangkat mikrocip yang didatangkan dari negara
lain, seperti Cina. “Perangkat ini 100 persen masih impor,” ujarnya. Masalah lain terjadi di
Papua, yaitu gangguan keamanan. Direktur Utama Bakti Anang Latif mengatakan
Kepolisian Daerah Papua sempat meminta pembangunan menara dihentikan. Permintaan
itu adalah buntut tewasnya delapan pekerja PT Palapa Timur
Telematika—operator proyek serat optik Palapa Ring di Papua—yang ditembaki
kelompok bersenjata di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, pada awal Maret lalu.
Dampaknya, pembangunan menara di daerah rawan seperti Kabupaten Pegunungan
Bintang, Yahukimo, Nduga, Puncak, Intan Jaya, dan sebagian Puncak Jaya
disetop. Apa pun itu, persoalan ini
bakal berbuntut panjang. Badan Pemeriksa Keuangan pun bersiap menggelar audit
atas proyek ini. Anggota III BPK Achsanul Qosasi menyatakan audit perlu
dilakukan lantaran proyek ini menggunakan kontrak tahun jamak alias
multiyear. "Proyeknya berjalan sejak tahun lalu. Sudah waktunya diaudit
agar menjadi masukan dalam pelaksanaan tahun ini," ucap Achsanul, yang
juga menyatakan audit akan dimulai pada paruh kedua 2022. ••• PEMERINTAH sebetulnya
telah memberi banyak keistimewaan kepada proyek menara BTS 4G ini. Selain
menambahkan waktu untuk tiga konsorsium pemenang tender, pemerintah melunasi
biaya proyek di muka dengan harapan konsorsium kontraktor tak mengalami
kesulitan modal dalam mengejar target. Sejumlah konsorsium
mendapat jatah proyek BTS 4G di daerah terpencil. Yang pertama adalah
konsorsium ZTE Corporation bersama anak usaha Grup Sinar Mas, PT
Infrastruktur Bisnis Sejahtera (IBS). ZTE dan IBS menggarap pembangunan 1.811
BTS di Papua untuk tahun anggaran 2021. Hingga Maret lalu, mereka baru
menyelesaikan 32,2 persen menara dengan status ready for installation atau
siap dipasangi perangkat oleh operator seluler. Selain menghadapi masalah
keamanan, IBS dan ZTE didera kendala teknis, seperti soal pengangkutan
material ke lokasi BTS. Government Public Relation and Transportation IBS
Benyamin Sembiring mengatakan banyak perkakas yang harus diangkut dengan
helikopter. Pemindahan peralatan juga mengikuti ketersediaan ruang di
pesawat. Dengan semua kendala itu, Bakti memberi tenggat baru kepada IBS
untuk menyelesaikan kewajibannya hingga akhir tahun ini. Konsorsium lain yang
menggarap BTS di Papua dan Papua Barat, khususnya bagian tengah dan barat,
adalah Aplikanusa Lintasarta dan Huawei. Keduanya membangun 954 BTS untuk
tahun anggaran 2021. Tanpa gangguan keamanan serta akses yang lebih mudah,
Lintasarta dan Huawei mampu menyelesaikan 89,2 persen kewajiban sampai akhir
Maret lalu. Keganjilan justru muncul
dalam proyek yang berada di luar Papua yang juga tak mengalami gangguan
keamanan serta memiliki akses cukup baik. Konsorsium kontraktornya, yaitu
Fiberhome, hanya bisa mendirikan 762 unit tower atau 51 persen dari jatah BTS
yang harus mereka bangun sebanyak 1.493 unit pada 2021. Fiberhome adalah
perusahaan milik pemerintah Cina. Di Indonesia, Fiberhome bermain di bisnis
Internet statis berbasis serat optik, tapi baru pertama kali membangun menara
BTS. Di negara asalnya, perusahaan ini menjadi kontraktor telekomunikasi
terbesar ketiga setelah Huawei dan ZTE. Dalam proyek BTS 4G di Indonesia,
Fiberhome memakai teknologi milik Datang Mobile, perusahaan yang sama-sama
berada di bawah grup China Information and Communication Technologies Group
Corporation. Untuk masuk ke proyek BTS
4G, Fiberhome menggandeng anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk atau
Telkom, yaitu PT Infrastruktur Telekomunikasi Indonesia (Telkom Infra) dan PT
Multi Trans Data (MTD). Konsorsium Fiberhome
memenangi tender paket I dan II. Paket I adalah pembangunan 1.364 BTS di
Sumatera, Nusa Tenggara, dan Kalimantan senilai Rp 5,1 triliun. Adapun paket
II berada di Sulawesi dan Maluku sebanyak 1.336 BTS dengan biaya Rp 4,4
triliun. Tahun lalu, Fiberhome seharusnya mengerjakan pembangunan 1.493 BTS. Pengamat kebijakan publik
dan mantan anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alamsyah Saragih, mengatakan
molornya proyek BTS yang digarap Fiberhome tersebab masalah pembayaran. “Ada
banyak subkontraktor level II yang tak dibayar sesuai dengan perjanjian,”
kata Alamsyah. Gelombang protes dari
sejumlah subkontraktor Fiberhome datang sejak April lalu. Salah satunya PT
Semesta Energy Services (SES), yang menyegel belasan BTS yang telah mereka
bangun di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Masalahnya adalah SES tak kunjung
dibayar oleh PT Pool Konstruksi Terbarukan (PKT), salah satu kontraktor di
bawah Fiberhome. PKT terafiliasi dengan PT Pool Advista Indonesia Tbk,
perusahaan milik terpidana korupsi Asuransi Jiwasraya, Heru Hidayat. PKT, yang mendapat order
pembangunan 206 BTS dari Fiberhome, menyerahkan pekerjaan itu kepada SES.
Manajemen SES mengklaim 72 persen BTS yang mereka bangun di Nusa Tenggara
Timur, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau sudah siap on air, tapi
bayarannya baru 36 persen. Manajemen SES pun mengirim surat kepada Menteri
Johnny Gerard Plate dengan mencantumkan tagihan Rp 65 miliar per 18 April
lalu. Sebulan kemudian,
penyegelan menara juga dilakukan CV Balqis Antoni Samawa dan para pekerja di
Wae Rasan, Kecamatan Elar Selatan, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Setelah itu, Bakti turun tangan dengan
memanggil konsorsium Fiberhome. “Benar, mereka belum membayar. Saya anggap
itu urusan Fiberhome dan kontraktornya,” ujar Direktur Utama Bakti Anang
Latif. Namun penelusuran Tempo
menemukan banyak keganjilan pada struktur konsorsium Fiberhome-Telkom
Infra-MTD. Selain tersendatnya pembayaran untuk subkontraktor, mayoritas
proyek dikuasai oleh satu perusahaan bernama PT Sansaine Exindo. Sejumlah sumber
Tempo di kalangan kontraktor menyebut Jemy Sutjiawan, bos Sansaine Exindo,
berperan layaknya ketua konsorsium yang mengatur proyek ini. ••• MESKI berstatus
subkontraktor, Sansaine Exindo punya peran yang sangat besar dalam proyek BTS
yang digarap Fiberhome. Dari 1.493 BTS yang pembangunannya dikerjakan
Fiberhome pada 2021, sebanyak 1.019 atau 68 persen menjadi jatah Sansaine.
Fiberhome hanya menggarap 11 persen, sementara subkontraktor Semesta Energy
Services mendapat 6,8 persen dan Pool Konstruksi Terbarukan 13,7 persen. Menurut seorang pengusaha
telekomunikasi, dominasi Sansaine dalam proyek ini menjadi indikator bahwa
Jemy Sutjiawan bertindak seperti pengendali konsorsium Fiberhome-Telkom
Infra-Multi Trans Data. Ironisnya, Sansaine baru menyelesaikan 461 unit tower
atau 45,2 persen pekerjaannya, jauh di bawah subkontraktor lain. SES,
misalnya, telah merampungkan 72,5 persen pekerjaannya, sementara Fiberhome
sendiri sudah menyelesaikan 70,4 persen jatahnya. “Padahal uang muka yang
diperoleh Sansaine paling besar di antara yang lain, bisa lebih dari 40
persen,” ucap sumber Tempo. Di kalangan pengusaha
infrastruktur telekomunikasi, nama Jemy Sutjiawan sudah tak asing. Dia
disebut-sebut yang membawa Huawei masuk ke Indonesia. Dia juga pernah
menjalankan bisnis lain, tapi bermasalah. Pada 2002, Jemy dihukum delapan
bulan penjara dan denda Rp 500 juta oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Barat dalam kasus penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Saat
itu Jemy menjabat Direktur Umum South East Asia Bank. Dalam proyek pembangunan
BTS 4G, ada bau amis yang menyeruak. Sumber Tempo menyebutkan Sansaine tidak
memakai semua uang muka dari pemerintah, lewat Fiberhome, untuk mengerjakan
proyek. Ternyata sebagian duit itu ditransfer ke rekening milik seseorang
bernama Rafli bin Ridwan, yang tidak ada kaitannya dengan proyek BTS. Tempo
mendapat salah satu salinan bukti transfer ke rekening tersebut. Menurut
sumber Tempo, ini penyebab mandeknya proyek BTS yang digarap Sansaine. Kini Fiberhome selaku konsorsium
induk kena getahnya. Sebab, pemerintah meminta konsorsium mengembalikan biaya
yang sudah dilunasi jika target tidak tercapai. Total dana yang harus
dikembalikan mencapai Rp 600 miliar. Meski ada masalah, Jemy
seperti tak tersentuh. Sebab, kata sumber Tempo, Jemy dekat dengan Menteri
Johnny Gerard Plate dan Anang Latif. Mereka disebut kerap bersama di sejumlah
tempat, seperti di Dharmawangsa, Jakarta. Jemy juga semeja dengan Plate dalam
rapat tentang proyek BTS di Bali pada 18 Maret lalu. Dalam soal ini, Anang
mengaku dia yang mengenalkan Jemy kepada Plate. “Sebagai pebisnis, wajar Pak
Jemy ingin kenal dengan siapa saja, Pak Menteri juga concern dengan proyek
ini dan bersahabat dengan semua perwakilan konsorsium,” ujarnya. Plate mulanya enggan menjawab
ketika ditanyai tentang kedekatannya dengan Jemy. Namun, melalui anggota staf
khususnya, Dedy Permadi, pada Jumat, 10 Juni lalu, Plate mengaku baru
mengenal Jemy setelah kontrak Fiberhome diteken. Plate juga mengatakan tidak
mengenal Jemy secara personal. “Biasa saja sebagai mitra Bakti,” katanya. Sedangkan Jemy membantah
informasi yang menyebut dia bertindak sebagai pengendali konsorsium
Fiberhome. Menurut dia, Sansaine bukan kontraktor utama Fiberhome dan hanya
menerima pembayaran jika kewajibannya sudah dikerjakan. “Sansaine menanggung
denda sesuai dengan tanggung jawab dalam kontrak,” ucap Jemy kepada Tempo. Jemy juga membantah
informasi tentang aliran dana dari proyek BTS kepada pihak lain. “Sansaine
tidak pernah melakukan hal-hal yang dilarang pemerintah Indonesia,” tuturnya. Adapun Head of Project
Management Implementation Fiberhome Telkom Infra MTD Consortium, Wang Tao,
berdalih memiliki aturan ketat tentang pembayaran. “Kami selalu membayar
tepat waktu untuk setiap pembayaran yang jatuh tempo kepada pemasok dan
subkontraktor,” ujar Wang melalui surat elektronik pada Jumat, 10 Juni lalu.
“Tidak ada komplain dari pemasok dan subkontraktor Fiberhome tentang
pembayaran.” Saat ini, menurut Wang,
tingkat kemajuan proyek yang digarap Fiberhome mencapai 76 persen. “Fiberhome
memiliki keyakinan menyelesaikan semua BTS pada tahun ini dengan kualitas dan
kinerja tinggi,” katanya. Keyakinan Wang diamini
oleh Anang Latif. “Fiberhome punya kepentingan dengan proyek BTS ini, sebagai
etalasenya di Indonesia. Kompetitor mungkin menunggu dia terpeleset,
beginilah bisnis. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar