Seberapa Berbahaya
Khilafatul Muslimin Riky Ferdianto : Wartawan Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 11
Juni
2022
KETUA Lajnah Tanfidziyah
Majelis Mujahidin Indonesia Irfan Awwas, 61 tahun, masih mengingat
pertemuannya dengan pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Hasan
Baraja, pada Januari 1997. Abdul Qadir, kini berusia 77 tahun, saat itu
mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kalisosok, Surabaya. Abdul Qadir Hasan Baraja memberikan
secarik kertas kepada Irfan. Isinya sebuah maklumat yang mengajak para tokoh
menegakkan syariat Islam lewat sistem khilafah. “Maklumat itulah yang di
kemudian hari jadi dasar bagi pendirian Khilafatul Muslimin,” kata Irfan pada
Jumat, 10 Juni lalu. Abdul Qadir meminta Irfan
menyunting susunan kalimat maklumat itu. Ia juga meminta Irfan menyebarkan
maklumat tersebut kepada tokoh Islam lain. Sembari maklumat disebarkan,
pengusaha percetakan itu membantu Abdul Qadir merancang logo Khilafatul
Muslimin. Bentuknya mengadopsi kaligrafi bergenre kufi. Sejak saat itu, logo
Khilafatul Muslimin adalah buatan Irfan. Maklumat Khilafatul
Muslimin berisi sembilan poin yang memuat prinsip dan visi-misi organisasi.
Abdul Qadir secara resmi mendeklarasikan maklumat itu pada 18 Juli 1997, saat
masih berada di dalam bui. Ia baru menghirup udara bebas pada awal 2000. Kini Khilafatul Muslimin
menjelma organisasi dengan ribuan pengikut dan ratusan ribu simpatisan. Abdul
Qadir Hasan Baraja menjadi khalifah alias pemimpin tertinggi. Bermarkas di
Jalan W.R. Supratman, Bandar Lampung, puluhan cabang Khilafatul Muslimin
tersebar dari Aceh hingga Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang terbagi
atas tiga kawasan: Daulah Sumatera, Daulah Jawa-Madura, dan Daulah Indonesia
Timur. Mereka memiliki struktur
kabinet dan sistem pendidikan sendiri. Jumlah pesantren yang mereka kelola
mencapai 36 unit. Pengikut Khilafatul membaur ke masyarakat dan mendatangi
masjid untuk berdakwah. “Setiap orang yang mau bergabung harus dibaiat
terlebih dahulu,” kata Sekretaris Khalifah (Kaatibul Kholifah) Khilafatul
Muslimin Abdul Aziz. Pergerakan Khilafatul
Muslimin kini terjegal. Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menangkap
Abdul Qadir Hasan Baraja di Bandar Lampung pada Selasa subuh, 7 Juni lalu. Ia
diciduk setelah konvoi kendaraan bermotor anggota Khilafatul Muslimin di
Cawang, Jakarta Timur, viral di media sosial beberapa hari sebelumnya. Polisi
juga menangkap tiga pemimpin Khilafatul Muslimin Brebes, Jawa Tengah, yakni
Ghazali Ipnu Taman, Dasmad bin Surjan, dan Adha Sikumbang. Polisi menjadikan mereka
tersangka dengan tuduhan mengusung ideologi khilafah yang terlarang dan
anti-Pancasila serta membuat keonaran. Polisi menjerat keempatnya dengan
Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan dan Undang-Undang Peraturan Hukum
Pidana. Hukuman pasal ini 20 tahun penjara. Kepala Bidang Hubungan
Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan mengatakan Abdul
Qadir Baraja ditangkap lantaran organisasi yang ia pimpin kerap memprovokasi
dan mendiskreditkan pemerintahan yang sah. “Mereka menolak Pancasila dan
menawarkan solusi khilafah untuk menyejahterakan umat,” ujarnya. Setelah Baraja, polisi
juga menangkap Abdul Aziz dan Ali Imron, pengelola Pondok Pesantren Ukhuwwah
Islamiyyah Khilafatul Muslimin di Margodadi-Sumber Jaya, Jatiagung, Lampung
Selatan, pada 11 Juni siang. Polisi yang menggeledah
kantor pusat Khilafatul Muslimin di Bandar Lampung konon menemukan uang tunai
Rp 2 miliar di salah satu ruangannya. Amir atau pemimpin Khilafatul Muslimin
Wilayah Bekasi Raya, Abu Salma, membenarkan uang dalam pecahan Rp 100 ribu
tersebut milik Khilafatul Muslimin. “Itu uang operasional organisasi yang
belum sempat terpakai. Kami siap menjelaskan dari mana asalnya,” ucapnya. Konvoi sepeda motor
anggota Khilafatul Muslimin sebenarnya berlangsung sejak 2018. Acara ini
bahkan digelar setidaknya empat bulan sekali di daerah tertentu. Seseorang yang mengetahui
penyidikan kasus ini mengatakan polisi baru sekarang menangkap para petinggi
Khilafatul Muslimin lantaran adanya keresahan publik yang makin besar.
Apalagi Khilafatul Muslimin bercita-cita mendirikan khilafah. Peneliti terorisme dan
penulis buku NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia, Solahudin,
mengatakan perburuan terhadap pimpinan Khilafatul Muslimin merupakan respons
atas kekhawatiran organisasi ini yang mulai membesar. “Apalagi ada upaya
pembangkangan seperti memungut pajak secara mandiri,” katanya. ••• ABDUL Qadir Hasan Baraja
tak mengangkat diri sebagai khalifah. Awalnya ia menawarkan jabatan Amirul
Mukminin Khilafatul Muslimin kepada beberapa tokoh yang juga mantan penggawa
Negara Islam Indonesia (NII). Semuanya menolak dengan alasan beragam. Salah
satunya tak setuju dengan konsep khilafah yang diusung Khilafatul Muslimin. Irfan Awwas termasuk yang
menolak tawaran menjadi khalifah. Ia juga menolak tawaran Abdul Qadir sebagai
kaatibul aam, posisi yang setara dengan sekretaris jenderal. Lagi-lagi Irfan
menolak. Ia dan tokoh lain mengembalikan tawaran itu dengan meminta Abdul
Qadir yang menjadi khalifah. “Karena dialah yang memiliki gagasan itu,” ujar
Irfan. Abdul Qadir akhirnya
menjadi khalifah, tapi hanya untuk sementara. Dalam maklumat Khilafatul
Muslimin yang sudah diperbarui, pemimpin Khilafatul Muslimin dan khalifah
definitif bakal ditentukan di masa depan lewat musyawarah tingkat
internasional yang akan dihadiri para amir (pemimpin) dan cendekiawan muslim
dari seluruh dunia. Hingga kini rencana itu masih angan-angan. Siapa Abdul Qadir Baraja?
Ia pernah masuk penjara karena terlibat bom Candi Borobudur pada 1985. Ia
juga pernah masuk bui pada 1979 dalam kasus teror Warman. Kedua kasus ini
muncul saat ia masih menjadi anggota Komando Jihad, yang berafiliasi ke
Negara Islam Indonesia. Ia juga berkawan dengan pendiri Pondok Pesantren Ngruki,
Sukoharjo, Jawa Tengah, dan Jamaah Islamiyah, Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah
Sungkar. Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar
menjelaskan, Abdul Qadir Baraja adalah kader NII dari faksi Abu Toto alias Panji
Gumilang. Panji adalah pemilik Pondok Pesantren Al-Zaytun di Indramayu, Jawa
Barat, dan disebut dekat dengan kelompok intelijen. Kini Khilafatul Muslimin
berkembang di banyak daerah hingga kawasan timur Indonesia. “Mereka juga
punya struktur mulai tingkat amir khilafah hingga kemas’ulan (setingkat
pemerintah desa),” kata Boy. BNPT menganggap Khilafatul
Muslimin memiliki kesamaan dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang juga
mendukung sistem khilafah. Pemerintah melarang HTI pada Mei 2018 karena dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila serta merongrong
negara. “Aktivitas Khilafatul Muslimin sudah dianggap mengancam kedaulatan
negara,” ujarnya. Pengamat terorisme dari
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Al Chaidar, tak percaya
Khilafatul Muslimin disebut melawan pemerintah. Ia pernah berbaiat kepada
Khilafatul Muslimin dan beberapa kali menjadi teman diskusi Abdul Qadir.
“Khilafatul Muslimin memang organisasi fundamentalis, tapi tidak radikal dan
intoleran,” ucapnya. Khilafatul Muslimin tak
mengenal model takfiri, mengkafirkan orang lain yang tidak searah jalan.
Sebagian di antara anggota dan simpatisannya bahkan berasal dari kalangan
nonmuslim. Mereka juga hidup berdampingan dan terbuka dengan masyarakat
sekitar. Solahudin turut ragu akan
kaitan Abdul Qadir Hasan Baraja dengan Panji Gumilang. Secara genealogi,
Abdul Qadir adalah kader NII dari faksi Ajengan Masduki. Meski di bawah satu
nama organisasi, mereka tidak berada dalam satu garis perjuangan. “Waktu itu
ada tiga faksi NII,” katanya. Faksi ketiga adalah Abu Fatah, yang pernah
memproklamasikan diri sebagai Panglima NII. Berbeda dengan Chaidar,
Solahudin menganggap Khilafatul Muslimin berbeda dengan Hizbut Tahrir
Indonesia. “HTI itu mencita-citakan pendirian negara Islam, sementara
Khilafatul Muslimin sudah mendirikan,” ujarnya. Mereka juga dianggap berbeda
dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), yang mengangkat senjata
untuk mendirikan khilafah. Sewaktu ISIS berdiri,
Abdul Qadir Hasan Baraja menyurati Abu Bakar al-Baghdadi. Ia meminta Baghdadi
berbaiat kepadanya. Baraja mengklaim ebih dulu memproklamasikan Khilafatul
Muslimin ketimbang ISIS. “Ada ajaran di mereka: jika terdapat dua khilafah,
baiatlah yang kedua kepada yang pertama atau perangi mereka,” kata Solahudin.
Doktrin ini konon diambil dari riwayat Umar bin Khattab. Sekretaris Khilafatul
Muslimin Abdul Aziz membantah jika organisasinya bertujuan mengganti
Pancasila sebagai ideologi negara. Khilafatul Muslimin, kata dia, ditujukan
sebagai otoritas keagamaan tertinggi, mirip Keuskupan Katolik di Vatikan.
“Jadi kalau ditanya siapa pemimpin Anda, ya presiden, sementara pemimpin
agama berlaku di seluruh dunia,” tuturnya. Khilafatul Muslimin juga
tak gampang terbawa arus. Solahudin mengatakan Khilafatul Muslimin menjadi
salah satu kelompok Islam yang menolak bergabung dengan Front Pembela Islam
saat mendemo mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
dalam kasus penistaan agama atau biasa disebut Demo 212. “Mereka menolak ikut
karena merasa Ahok sudah mendapat hukum yang adil,” katanya. Mereka bahkan menolak
disamakan dengan HTI. Khilafatul Muslimin juga mengkampanyekan perdamaian.
Mereka menolak perang. “Sejak berdiri, belum pernah ada jejak kekerasan yang
kami lakukan,” kata Abdul Aziz. Setelah penangkapan Abdul
Qadir Baraja dan sejumlah tokohnya, kantor pusat Khilafatul Muslimin di Jalan
W.R. Supratman Bandar Lampung tampak berantakan seusai polisi menggeledahnya.
Bangunan berlantai empat itu, selain digunakan sebagai sekretariat, berfungsi
sebagai tempat tinggal Abdul Qadir dan pengurus lain. Amir Khilafatul Muslimin
Daulah Jawa-Madura, Hamzah, juga mempertanyakan pemidanaan terhadap Abdul
Qadir Hasan Baraja dan pimpinan lain. Ia menganggap konvoi kendaraan yang
terjadi di Cawang, Jakarta Timur, ataupun di Brebes, Jawa Tengah, bukan
pelanggaran pidana. Kegiatan itu rutin
diselenggarakan sejak empat tahun lalu. Tujuannya, kata Hamzah, untuk
menyiarkan gagasan Khilafatul Muslimin kepada umat Islam secara luas. “Konvoi
itu gagasan saya sebagai amir daulah. Semestinya saya yang ditangkap,”
ucapnya. Selain melakukan konvoi
terbuka, Khilafatul Muslimin memakai sejumlah sarana lain untuk
menyebarluaskan ajaran mereka. Di antaranya dengan menerbitkan buletin,
menyebarkan pamflet, dan membuat situs organisasi. Bahkan, kata Hamzah,
Khilafatul Muslimin telah memiliki 36 lembaga pendidikan yang tersebar di
sejumlah provinsi mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Mereka
juga memiliki kurikulum sendiri. Umumnya mereka mempelajari Al-Quran dan
hadis. “Yang terbesar ada di Lampung dan Nusa Tenggara Barat,” tuturnya. Sekolah-sekolah tersebut
berada di bawah Yayasan Pendidikan Khilafatul Muslimin. Berbeda dengan
Kepengurusan Khilafatul Muslimin yang tak mencatatkan diri, mereka mendaftarkan
yayasan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 31 Mei 2011. Yayasan yang berkedudukan
di Kompleks Ratal, Kelurahan Pekayon, Kota Bekasi, ini dirintis oleh enam
orang. “Salah satunya Abdul Qadir Hasan Baraja,” ujar Kepala Biro Hubungan
Masyarakat Kementerian Hukum dan HAM Hantor Situmorang. Meski mendaftarkan diri di
sejumlah catatan negara, anggota dan keluarga Khilafatul Muslimin hidup
berdampingan dengan komunitas dan penganut agama lain dengan damai. Contohnya di Kampung Khilafah
yang terletak di Jalan R.A. Basyid, Dusun Karang Anom, Desa Karang Sari,
Kecamatan Jatiagung, Kabupaten Lampung Selatan. Luasnya sekitar tiga hektare
dan dihuni sekitar 40 keluarga. Siapa pun boleh masuk dan berkunjung ke
wilayah ini asalkan menutup aurat dan tak merokok. Ada kalanya mereka
mengundang warga sekitar menghadiri acara hajatan seperti pesta pernikahan.
Penduduk Dusun Karang Anom juga berbaur dengan penduduk Kampung Khilafah.
Mereka tak mempermasalahkan kehadiran Khilafatul Muslimin. “Kami di sini
sudah bertahun-tahun hidup saling menghormati,” kata Sutris, pemilik warung
yang berdekatan dengan Kampung Khilafah. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/166181/seberapa-berbahaya-khilafatul-muslimin |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar