Catatan Pinggir
Antisemit Goenawan Mohamad : Sastrawan, Pendiri Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 25
Juni
2022
ADA satu film dengan
adegan yang tak terlupakan: Schindler's List. Saya menontonnya di tahun 1994.
Saya masih ingat beberapa menit menatap layar dengan mata basah, menatap
seorang anak perempuan 3 tahun bermantel merah di antara ribuan tahanan
Yahudi yang digiring tentara Jerman untuk dibantai.... Film dari tahun 1993 itu
hitam-putih. Warna merah mantel bocah itu sebuah kejutan yang hening. Kita tak tahu nama si
upik. Tapi kita tahu ia sebuah beda, sesuatu yang istimewa, sebagaimana tiap
korban adalah istimewa—cerita yang unik yang terimpit ribuan mayat yang
ditimbun seperti kayu pembakaran. Gadis kecil itu, pucat dan bisu, adalah
sabda: ia pantang diringkas ganas hanya jadi “Yahudi” dalam teriakan Hitler
yang akan dibinasakan di Auschwitz. Dunia yang tak punya
hati—agaknya itulah yang terjadi. Saya ingat satu kalimat Adorno: “Setelah
Auschwitz, menulis puisi adalah biadab.” Saya tak paham benar apa maksudnya,
tapi kekejaman di kamp konsentrasi ini (ada sejuta orang lebih dibunuh) telah
meninggalkan kenangan yang meracuni perasaan. Tak hanya bagi seorang Yahudi. Penyair Amerika Anne
Sexton, mungkin mengikuti Adorno, menulis sajak “After Auschwitz”. Ia
tuliskan “amarah yang sehitam cangkuk” yang merasuki dirinya tiap kali, tiap
pukul 08:00 pagi, kaum Nazi mengambil seorang bayi dan “menjadikannya tumis
di penggorengan…”. Anger, as
black as a hook, overtakes
me. Each
day, each
Nazi took,
at 8:00 A.M., a baby and
sauteed him for breakfast in
his frying pan. Bagaimana puisi bisa
ditulis dalam keadaan seperti itu? Bagaimana puisi akan bisa bicara ketika
manusia sepenuhnya keji dan tak bermartabat hingga Ajal pun memandanginya
dengan acuh tak acuh sambil “menggaruk-garuk lubang dubur”? Auschwitz: sebuah
kenangan, sebuah penanda yang mengerikan. Kita akan menyimpannya dalam tata
simbolik dengan makna yang angkuh—yang ingin diterima secara universal. Namun “universal” adalah
taraf yang problematis. Kini memang “Auschwitz” dianggap sebuah sebutan untuk
kekejian yang sekeji-kejinya—kutukan yang diasumsikan diterima di mana saja
dan kapan saja. Tapi penanda selalu tumbuh dari tempat tertentu, waktu
tertentu. Di luar Jerman abad ke-20, pembantaian di Indonesia (1966), di
Kamboja (1975), Rwanda (1994), Serbia (1999) punya bahasa lain: kebiadaban
tanpa “Auschwitz”. Maka absurd jika orang
Indonesia, atau Cina, atau Papua, diharap membaca kekejaman dan kebencian
sebagai satu pengalaman yang niscaya terkait dengan antisemitisme Eropa.
Sejak mula, antisemitisme berpusar di wilayah yang jauh dari Asia. Dalam A Convenient Hatred:
The History of Antisemitism oleh Phyllis Goldstein, saya tak menemukan di
wilayah Timur Jauh ini apa yang terjadi dalam antisemitisme di Timur Tengah
sejak setengah abad Sebelum Masehi, setelah bangsa Yahudi beremigrasi keluar
dari Yudea, menjauhi kekacauan dan kelaparan. Dalam diaspora itu manusia yang
berbeda-beda bertemu—bersaing, bersengketa, bermusuhan; kebencian dan
stereotipe pun berkecamuk. Juga kekerasan. Menurut Goldstein, baik
orang Yunani maupun Romawi berhasil menciptakan stereotipe yang berlanjut,
juga setelah kekuasaan imperial mereka roboh—stereotipe yang mempersetankan
orang Yahudi. Dengan kata lain,
antisemitisme—ekspresi massal kebencian dan tindakan kekerasan yang
membinasakan—adalah pusaran sejarah Eropa. Bukan pengalaman kita. Di Hindia
Belanda di ujung 1930-an, benih-benih antisemitisme dicoba ditanamkan
organisasi NSB (Nationaal-Socialistische Beweging) yang memuja Hitler dan
Mussolini. Tapi tak sukses. Ternyata kita punya paranoia lain: terhadap
minoritas Tionghoa, terhadap umat Syiah, terhadap umat Ahmadiyah. Tak berarti kini
imperialisme berakhir; prasangka imperialis bahkan tetap ada di balik
musuh-musuh fasisme. Ia lamat-lamat terasa pada pandangan yang Eropa-sentris:
hampir apa saja dilihat mau tak mau membawakan gema “Eropa”. Di Kassel, Jerman,
hari-hari ini, dipasang sebuah mural yang dibangun Taring Padi, kelompok seni
rupa sayap kiri dari Yogya. Mural itu, dengan deretan gambar karikatural,
diciptakan 20 tahun yang lalu sebagai ekspresi melawan militerisme Orde Baru.
Ajaib atau entah, tahun ini di Jerman ia dianggap membawakan pesan “antisemitis”. Ia pun dirobohkan tanpa
ada pertanyaan: siapa sebenarnya yang mengontrol makna? Juga makna mural itu?
Taring Padi, sang perupa? Duta Besar Israel? Dan siapa yang berhak
memberangus? Bukankah—saya di sini sedikit meniru Roland Barthes—“karya seni
adalah pertanyaan minus jawaban”? Ada yang menyesali para
seniman Indonesia itu tak kenal khazanah grafis Eropa dan tak sadar seraut
wajah di mural itu adalah reproduksi kartun Nazi yang mempersetankan bangsa
Yahudi. Mungkin. Tapi kita tahu, hidung bengkok tak hanya cemooh buat Yahudi
yang tengik. Imperialisme tata simbolik Jerman tak mau tahu ada hidung Durna
dan Butoterong dalam wayang kulit, yang berabad-abad diukir para juru
sungging tanpa antisemitisme. Tapi buat apa? Tafsir
sudah ditutup. Kekuasaan menang. Saya ingat gadis kecil Schindler's List:
bagaimana kalau kita dipaksa melihatnya hanya sebagai intermeso merah yang
sial? ● Sumber :
https://majalah.tempo.co/read/catatan-pinggir/166288/antisemit |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar