Catatan Pinggir
Peliknya Sebuah
Identitas Goenawan Mohamad : Sastrawan, Pendiri Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 11
Juni
2022
KITA duduk di bangku
taman, di bawah ratusan anak-anak tangga Basilika Sacré-Coeur. Kita baru
berjalan turun, dan kamu agak sakit. Aku juga harus menghela napas: tadi, di
dalam gereja itu, kamu menyalakan lilin dan berdoa di keheningan sebuah
pojok, sementara di luar ini orang ramai berpiknik. Perubahan suasana itu
agak menyesakkan. Kamu berdoa. Mungkin untuk sebuah percintaan. Mungkin
karena sebuah percintaan. Doa, barangkali juga cinta yang intens, adalah
seperti keajaiban. Ia seakan-akan kekal. Ilusi keabadian itu seperti
diawetkan di sebuah ruang rahasia Tuhan. Kita tak bisa mengambilnya kembali.
Tapi di Taman Wilette ini, ruang terbuka dan waktu memburu. Dari tangga
pertama ini, ke jalan kota di bawah sana, di antara pohon dan rumput musim
panas, waktu membawa serta perubahan, pertanyaan, ketidakpastian. Kita duduk di bangku, dan
memandang ke seberang. Ada sepasang suami-istri Arab bermain dengan anaknya.
Agak di kejauhan, sejumlah bocah dengan ikal rambut orang Maghreb dan
Martinique berebut bola. Astaga! Aku ingat, Sitor Situmorang pernah membuat
sebuah sajak tentang tempat ini, 40 tahun yang silam. Kini taman ini telah
jadi taman umum yang riuh rendah, dan basilika di tanah tinggi Montmantre itu
telah jadi tempat turisme yang bersenang hati. Empat puluh tahun yang lalu
Sitor pernah kemari, mencoba melihat, dari ketinggian ini, seluruh Paris yang
sedang ditinggalkan surya. Sepi. Tapi kini sepi itu juga meninggalkannya. Di
sebelah kanan taman, sebuah kereta gantung yang tiap hari mengangkut ratusan
pelancong dipasang dari jalan ke ketinggian Sacré-Coeur. Paris kini bukan lagi
sederet sejarah, hantu-hantu yang menghuni bangunan suram abad lalu. Paris
kini adalah titik perhentian bagi tamu baru yang tak kunjung reda. Wisatawan,
imigran, orang buangan. Mereka hari itu bertemu
juga di Sacré-Coeur. Apa arti basilika ini akhirnya bagi aku, wisatawan yang
datang kebetulan? Apa pula bagimu, orang luar yang percaya kepada doa? Dan
apa arti gereja ini bagi pasangan muda Arab itu? Aku baca sebaris keterangan
dari informasi turisme: Basilika Sacré-Coeur mulai dibangun di tahun 1876 dan
selesai 1919. Arsiteknya, Paul Abadie, mencontoh gereja Romanesque berkubah
lima. Kita perlu informasi
turisme. Pasangan Arab itu mungkin tidak. Mereka dilahirkan di Paris. Mereka
berbicara Prancis. Meskipun 40 tahun yang lalu, ketika Sitor Situmorang
sampai di sini, mereka belum ada. Mereka belum lahir, dari sepasang orang tua
Tunis atau Aljazair yang belum bermigrasi ke Prancis. Apa arti basilika ini
bagi mereka? Doa, misa, dan patung Yesus di dalam ruang yang remang itu jauh
dari dunia pribadi mereka. Sejarah bangunan ini, iman yang mendorong orang
mendirikannya; semua itu tak berkaitan dengan hidup mereka. “Kami disebut orang Beur,”
aku ingat seorang penulis keturunan Arab berkata di sebuah restoran di dekat
stasiun Gare du Nord. Ia kemudian bercerita bahwa “Beur” adalah bahasa verlan
atau “prokem” Prancis, yang berarti “arabe”; diucapkan terbalik. “Orang
Beur”. Panggilan itu semula untuk mengejek. Kini ia telah dibalik jadi kata
yang dengan bangga dan marah dipakai untuk menyebut diri sendiri di kalangan
imigran Arab generasi kedua; mereka yang hari itu juga berdatangan ke taman
Basilika Sacré-Coeur. Waktu memburu. Doa mungkin
tak bisa diubah, semacam sumpah, tapi kata bisa. Kini kata “generasi kedua”
buat kaum Beur tidak sepenuhnya berarti seperti yang hendak dikatakan. Kami
bukan pendatang generasi kedua. Kami orang Prancis. Tentu, orang di Aljazair,
Tunisia, atau Maroko mengejek kami sebagai “orang Arab dari Prancis”, dan
orang kulit putih di wilayah lain kota kami mencemooh kami sebagai “Arab
kotor”. Tapi kami bukan semua itu. “Saya orang Prancis,” seperti tulis Leila
Sebbar. Leila lahir di Paris,
dengan ibu Prancis dan ayah Aljazair. Orang-orang menyebutnya “penulis Afrika
Utara dengan ekspresi Prancis”, tapi ia menolak kategorisasi itu. Leila
menulis beberapa novel, dan serangkaian surat yang dikirimkannya kepada Nancy
Huston diterbitkan di tahun 1986, dengan judul Lettres Parisiennes: Autopsie
de l'exil. Dengan bahasa yang liris dan analisis yang tajam, Leila berbicara tentang
bagaimana sulitnya sebuah identitas, di sebuah zaman ketika setiap detik
orang asing saling bersua, hingga apa pun bisa terjadi: cinta, pembunuhan,
peradaban. Exil, yang dalam bahasa
Indonesia sering disebut “pembuangan” atau “orang buangan”, bagi Leila Sebbar
punya arti sendiri. “Jika aku bicara tentang eksil, aku juga bicara tentang
persimpangan kultural.” Ada sambungan dan patahan, “Di mana aku... hidup dan
menulis.” Dan Leila bertanya, “Bagaimana mungkin untuk menampik sebuah
identitas yang bersahaja?” Pertanyaan ini mengganggu
orang dewasa ini di Prancis dan jangan-jangan juga di Indonesia. Sebab waktu
memburu dan pengalaman berubah, juga sebuah negeri, juga sebuah demografi;
berubah, meskipun memakai nama yang sama. Identitas yang sederhana pun
merundung kita, apalagi ketika kita bertemu dengan kategori “keturunan
asing”. Maka memaklumkan “saya
orang Prancis”, seperti statemen Leila, adalah mengubah definisi “Prancis”
itu secara drastis. “Prancis” tidak hanya berarti keturunan Asterix dari Gaul,
tak hanya Katolik yang hadir di misa di Sacré-Coeur, tapi bisa juga keturunan
Quraisy atau Li Taipo. Statemen itu sekaligus juga menampik untuk
mengidealisasi “keasingan”. Kami orang Beur, yang juga orang Prancis, tak
ingin jadi pengembara. Kami tak hendak jadi tokoh romantik yang tak berumah,
tak berwilayah. Juga kau dan aku. Di taman
ini kita tamu. Kita punya negeri, punya masa lalu, dan cuma sesekali
bepergian, terkadang capek dengan kenangan. Hanya sesaat di depan Tuhan, di
sebuah sudut di Basilika Sacré-Coeur, ketika kau berdoa, manusia tak punya
wilayah. Tapi juga kau tahu, di depan Tuhan, tak ada orang luar. ● Sumber :
https://majalah.tempo.co/read/catatan-pinggir/166178/peliknya-sebuah-identitas |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar