Makna Pigura dalam
Kanvas Hanafi Asep Rahmat Hidayat : Anggota Kelompok Kepakaran dan Layanan
Profesional Perkamusan dan Peristilahan Badan Bahasa |
MAJALAH TEMPO, 11
Juni
2022
KANG Hikmat Gumelar
mendedah hikayat Hanafi dan pigura dalam kolom ini pada April lalu. Sebagai
“alumnus” Jatinangor, yang sedang beristikamah meniti jalan perkamusan, saya
menanggapi tulisan itu. Ada dua hal yang perlu berjawab, yaitu saran bahwa
perlu penambahan makna kata dan contoh penggunaan serta penghindaran dari
pemaknaan yang menyesatkan dalam kamus. Untuk saran Kang Hikmat,
saya sependapat dan berterima kasih karena telah diingatkan kembali terkait
dengan fakta bahasa yang ada. Tampaknya penyusun kamus bukannya abai,
melainkan menunggu makna “bingkai” untuk pigura diuji oleh waktu dan saya
yakin waktu telah mengujinya, sehingga penambahan makna tersebut tinggal
menunggu jadwal pemutakhiran kamus. Hal penting lain adalah
perihal kesesatan makna dengan mempertanyakan sumber pemaknaannya. Kamus
memang serupa belantara makna dengan membekukan makna yang pernah ada tanpa
meramalkan masa depan makna, tapi selalu siap mencatat perkembangannya. Tanpa
pelita yang cukup, saya juga sering tersesat di jurang terdalam belantara itu
dan kali ini pelita tersebut perlu kita arahkan ke masa lalu. Saya belum bersua dengan
awal kemunculan pigura dalam bahasa kita, tapi setidaknya kegiatan berloukis
sudah dicatatkan untuk schilderen dalam Spraeck Ende Woord-Boeck In De Maleysche
(1603). Untuk schilderijen “lukisan”, Roorda sudah mencatatnya dengan pigura:
“kita mau bli…ampat pigura” (Verzameling, 1866). Para pakar dalam Komisi
Istilah juga bersepakat memadankan schilderij dengan lukisan, gambaran, dan
pigura sebagaimana diumumkan dalam Bahasa dan Budaja (1952). Selanjutnya,
Kamus Umum Bahasa Indonesia (1954) mencatat pigura: gambar, lukisan, yang
bertahan sampai Kamus Besar Bahasa Indonesia teranyar. Seperti kesaksian Kang
Hikmat, kini sulit menemukan orang yang menggunakan kata pigura dalam arti
lukisan. Namun dulu penggunaannya sangat lazim, seperti kesaksian berikut
ini. Dalam Atheis (1966), Achdiat menulis: “pada dinding bergantung pula
beberapa pigura yang melukiskan potret orang-orang yang tidak kukenal.... Aku
berdiri, ingin tahu siapa sebetulnya pigura-pigura itu”. Abbas dalam Kasih
Tak Putus (1966) menulis: “di bawah pigura Ngarai itu, terletak satu stel
medja”. Selanjutnya, Yakub (Panggilan Tanah Kelahiran, 1985) mencatat: “bebas
memeriksa album-album, gambar-gambar, pigura-pigura, patung-patung kecil”,
sementara Umar Kayam (Jalan Menikung, 1999) menulis: “di balik jendela yang
lebar itu pemandangan alam juga kelihatan berhenti. Nampak seperti pigura
lanskap”. Buku-buku umum lain juga
bersaksi. Dalam Kitab Peladjaran Administrasi (1963) tertulis: “sebaiknja
dalam kantor diberi hiasan dengan peta-peta, pigura-pigura dan hiasan-hiasan
lain”. Tertulis juga dalam buku Dr. Mohamad Amir: Karya dan Pengabdiannya
(1986): “tidak salahnja kita membatja Shakespeare, Dante dan Goethe, amat
berfaedah kita mengagumi pigura Rembrandt”. Fakta lain adalah adanya
penggunaan kata lis untuk “bingkai”. Dalam Kitap Tjonto Soerat-Soerat Melajoe
(1919), Fokker mencatat lijst dan raam untuk “bingkai”. Dalam lampiran
majalah terbitan lembaga kebahasaan, Istilah-Istilah (1951), termuat juga
kata lijst yang dipadankan dengan bingkai. Karena itu, kemudian muncul bentuk
lis pigura atau bingkai pigura, misalnya dalam Perihal Aquarium dan Ikan-Ikan
Hias (1962): “maka tepi katja diberi bingkai pigura (lijst). Dengan demikian
udjud aquarium ini seolah2 merupakan sebuah lukisan hidup”. Dalam
laporan-laporan pemerintah, seperti Jakarta Timur dalam Angka (1977),
Perusahaan-Perusahaan Industri (BPS, 1956), dan Lampiran Ketetapan
Garis-garis Besar Pola Pembangunan (MPRS, 1969), tercatat berbagai perusahaan
yang bergerak di bidang “pembikinan lis pigura”. Makna “bingkai” untuk
pigura bisa jadi muncul karena lesapnya kata lis atau bingkai yang beranalogi
pada lis pigura/bingkai pigura atau bisa juga karena kesalahkaprahan berubah
kaprah. Semoga kita bisa bersepakat: makna yang sudah ada tidaklah sesat dan
makna yang belum tercatat tidaklah haram. Keduanya adalah makna yang sahih
dan beralasan untuk digunakan. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/bahasa/166140/makna-pigura-dalam-kanvas-hanafi
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar