Apa yang Salah dalam
Menangani Khilafatul Muslimin Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 11
Juni
2022
KISAH orang-orang yang
berkhayal sebagai pemimpin dunia datang dan pergi. Ada yang mengaku sebagai
khalifah dunia Islam, kaisar, nabi, atau juru selamat manusia. Yang membuat
geleng-geleng kepala, respons pemerintah tak pernah cerdas dan selalu
mengambil jalan pintas: menangkap dan memenjarakan orang-orang seperti itu.
Yang terbaru adalah penangkapan Abdul Qadir Hasan Baraja, pemimpin Khilafatul
Muslimin yang bermarkas di Lampung. Baraja, 79 tahun, dicokok
sepekan setelah konvoi sepeda motor pengikut Khilafatul Muslimin di sejumlah
kota viral di media sosial. Polisi menuduh Baraja, yang oleh pengikutnya
disebut khalifah, menebarkan provokasi, ujaran kebencian, dan kabar bohong
untuk menjelekkan pemerintah. Polisi menjerat Baraja, antara lain, dengan
Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan. Baraja disalahkan karena organisasinya
memakai lambang dan menyebarkan paham yang mirip dengan organisasi separatis
atau terlarang. Ancaman hukumannya tak main-main: maksimal penjara seumur
hidup. Dari sudut pandang hak
asasi manusia, tindakan polisi jelas berlebihan. Kalaupun Baraja dan
pengikutnya bercita-cita membangun khilafah, sepanjang hal itu masih di alam
pikiran dan belum menjelma menjadi tindakan antisosial atau kekerasan, mereka
seharusnya tidak dipidanakan. Mereka cukup diawasi atau dibina. Sebab, yang
bisa diadili hanyalah perbuatan, bukan pemikiran seseorang. Polisi sebaiknya belajar
memakai kacamata psikolog untuk merespons kasus seperti ini. Kemunculan nabi,
khalifah, atau kaisar jadi-jadian bisa dibaca sebagai gejala gangguan mental.
Ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, orang-orang itu berhalusinasi alias
menganggap khayalan atau mimpi sebagai kenyataan. Modusnya mirip-mirip.
Misalnya, mereka mengklaim mendapat wahyu atau bisikan dari kekuatan gaib
untuk menyelamatkan dunia. Kedua, orang-orang itu mungkin terjangkiti delusi
atau penyakit waham. Yang paling umum adalah delusion of grandeur alias waham
merasa sebagai orang hebat, jauh melebihi kapasitas sesungguhnya. Halusinasi dan delusi bisa
menjangkiti siapa saja, termasuk orang yang sudah menjadi pemimpin kelompok
tertentu. Dalam kasus Baraja, faktanya dia telah lama menjadi panutan bagi
pengikutnya. Setelah bolak-balik masuk penjara dalam kasus terorisme, Baraja
mendirikan Khilafatul Muslimin pada 1997. Baraja, pada suatu waktu, mengirim
surat kepada pemimpin Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), Abu Bakar
al-Baghdadi. Surat itu konon meminta Al-Baghdadi berbaiat kepada pemimpin
Khilafatul Muslimin yang lebih dulu dideklarasikan di Lampung. Kalau kisah
itu benar, itulah tanda-tanda delusi. Lantas, mengapa ada saja
orang yang mau menjadi pengikut tokoh-tokoh pengidap gangguan mental itu?
Para ahli sosiologi mengidentifikasi sejumlah faktor penyebabnya, dari
marginalisasi dan keterpurukan komunal hingga kehilangan sosok panutan dalam
masyarakat. Orang-orang yang terpinggirkan dari komunitas asal, misalnya
karena kehilangan jabatan atau status yang dihormati, cenderung mencari-cari
dunia baru yang membuat dirinya kembali diakui dan dihormati. Dalam kasus
lain, ketika pemimpin suatu masyarakat atau negara melenceng jauh dari
harapan, sebagian pengikutnya biasanya mencari-cari panutan alternatif yang
dianggap lebih ideal. Masalahnya menjadi lebih
rumit ketika problem psikis dan sosial itu direspons dengan keliru.
Kemunculan kelompok “alternatif” sering divonis dengan memakai doktrin
keagamaan. Maka muncullah stigma aliran sesat, murtad, atau sempalan yang
dilekatkan penganut agama utama. Begitu dicap demikian, kelompok minoritas
tersebut terancam menjadi korban persekusi. Yang membuat runyam,
aparat pun sering sembarangan melekatkan tuduhan “makar”. Pada kasus
Khilafatul Muslimin, polisi menuduh Baraja berniat mengganti Pancasila
sebagai dasar negara dengan mengusung cita-cita kebangkitan khilafah. Jika
ukurannya jumlah pengikut dan aset Khilafatul Muslimin saat ini yang tak
seberapa, polisi jelas sedang memompakan ketakutan secara berlebihan kepada
masyarakat, untuk membenarkan tindakannya. Jalan pintas menangkap
Baraja dan pengikutnya jelas tidak mengatasi masalah. Yang terjadi justru
bisa sebaliknya: Baraja dan Khilafatul Muslimin malah mendapat simpati
masyarakat yang lebih luas. Dengan begitu, aparat sama saja turut merakit bom
waktu yang bisa meledak setiap saat. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/166142/apa-yang-salah-dalam-menangani-khilafatul-muslimin |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar