Inkonsistensi
Pemerintah Mengganjal Pengembangan PLTS Atap Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 18
Juni
2022
MANDEKNYA izin untuk
pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap menimbulkan pertanyaan atas
komitmen pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) soal transisi
energi. Masalah ini menjadi indikator bahwa pemerintah setengah hati
menyediakan listrik dari energi bersih, yang sudah menjadi bagian dari
konsensus global menghadapi risiko perubahan iklim. Pengguna PLTS atap di
sejumlah daerah mengeluhkan lambatnya penerbitan izin oleh PLN. Sebagian
bahkan menduga perusahaan setrum pelat merah itu sengaja menghambat izin,
setelah pemerintah menerbitkan regulasi baru soal PLTS atap on-grid atau yang
tersambung dengan jaringan listrik PLN. Melalui Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 yang terbit pada Agustus 2021,
pemerintah mengubah aturan ekspor listrik atau penjualan kelebihan daya PLTS
atap kepada PLN. Dalam aturan lama, PLN bisa membeli kelebihan listrik yang
dihasilkan PLTS atap maksimal 65 persen dari nilai yang seharusnya. Kini
pengguna PLTS atap bisa “mengekspor” kelebihan listriknya kepada PLN dengan
penggantian 100 persen. Nilai ekspor ini bisa menjadi pengurang tagihan atas
biaya pemakaian listrik serta jaringan milik PLN yang tetap harus dibayar
oleh pengguna PLTS atap on-grid. Di satu sisi, pemerintah
menerbitkan aturan ini sebagai insentif agar pengguna PLTS atap on-grid kelas
industri dan rumah tangga terus bertumbuh. Namun PLN kewalahan membayar
tagihan ekspor listrik yang cukup besar. Perhitungan Kementerian ESDM
menyebutkan PLN bisa merugi Rp 350 miliar jika harus menyerap listrik PLTS
atap yang mencapai 450 megawatt-peak tahun ini. Kerugian PLN bisa lebih
besar karena listrik dari pembangkit lain tak terpakai. Apalagi sudah
beberapa tahun PLN mengalami oversupply akibat pertumbuhan pelanggan tak
sebanding dengan kenaikan pasokan. Di Jawa saja PLN mendapat tambahan pasokan
6 gigawatt dari pembangkit listrik baru, sementara kenaikan permintaan hanya
800 megawatt. Kondisi ini yang dicurigai membuat PLN mengganjal izin PLTS
atap on-grid. Ada sejumlah faktor yang
menyebabkan pengembangan listrik dari sumber energi bersih seolah-olah
bertentangan dengan bisnis PLN. Yang utama adalah sikap pemerintah yang
ambisius untuk membangun pembangkit listrik batu bara dan bahan bakar fosil
lain, dengan dalih penyediaan infrastruktur untuk investor. Padahal, jika ada
kajian matang, bisa diketahui jika akhirnya pasokan listrik jadi tak seimbang
dengan permintaan. Proyek pembangkit listrik energi fosil, selain
mengesampingkan komitmen transisi energi, hanya menguntungkan pemasok batu
bara atau bahan bakar minyak. Faktor lain adalah sikap
pemerintah yang setengah hati dalam transisi energi. Jika memang serius,
sudah sejak dulu pemerintah membuat aturan yang ramah terhadap pengembangan
energi baru dan terbarukan (EBT), termasuk dengan mengubah undang-undang
kelistrikan yang mengatur monopoli jaringan oleh PLN. Monopoli ini yang
menghambat penyediaan listrik mandiri dari EBT, yang sudah berlangsung di
banyak negara maju. Seiring dengan inovasi,
pengembangan sumber EBT seperti PLTS atap akan makin murah. Bagi investor,
skema ini bisa jadi lebih menarik ketimbang harus bergantung pada PLN.
Pemerintah semestinya mendorong program penyediaan listrik mandiri tersebut,
bukan sebaliknya mempertahankan monopoli PLN yang kerap berujung pada
inefisiensi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar