Timor
Leste & Indonesia
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional
|
KORAN
SINDO, 14 Maret 2018
Timor Leste dan Australia berhasil
menyepakati perjanjian perbatasan yang telah lama dinegosiasikan sejak negara
itu masih tercatat sebagai provinsi di Indonesia hingga merdeka pada 2002.
Pengelolaan perbatasan itu menjadi penting karena menyangkut lokasi sumber
minyak “Greater Sunrise”.
Blok ini berjarak 150 km dari Timor Leste
dan 450 km dari Darwin, Australia; namun terkait luas blok, 20% masuk wilayah
Timor Leste dan 80% berada di perairan Australia. Pentingnya perundingan ini
menyebabkan mantan pejuang gerilya semasa perlawanan terhadap Indonesia,
Xanana Gusmao yang kini menjabat ketua tim perunding, harus hidup di luar
negeri selama kurang lebih delapan bulan untuk mengawal perundingan tersebut.
Sebelum kesepakatan pekan lalu terjadi,
Australia dianggap menarik ulur bahkan mengatakan baru mau berunding pada
2056 sesuai dengan perjanjian antara pemerintahan Timor Leste dan Australia
pada 2006. Pada tahun itu, Australia dan Timor Leste memiliki Certain Treaty
on Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS) di mana kedua negara
sepakat untuk membagi hasil pendapatan minyak dan gas di Timor Gap dan tidak
membahas perbatasan dulu hingga 2056 atau 50 tahun sejak perjanjian itu
ditandatangani.
Namun, Timor Leste menggugat perjanjian ke
pengadilan internasional ketika terjadi skandal penyadapan di ruang kabinet
Timor Leste oleh Dinas Rahasia Australia pada 2012. Tujuan penyadapan itu
untuk mengetahui strategi pemerintah Timor Leste dalam perkara yang terkait
dengan ladang minyak Greater Sunrise. Timor Leste menjadikan kejadian
penyadapan itu sebagai dasar untuk berargumentasi bahwa Australia tidak
memiliki niat baik dan telah mencederai isi perjanjian itu.
Timor Leste kemudian menuntut memulai
pembahasan mengenai perbatasan, termasuk hak eksplorasi dan ekonomi Greater
Sunrise. Australia pun akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan kasus tersebut
di luar pengadilan karena khawatir dampak politik dan diplomasinya terbuka
apabila diselesaikan lewat pengadilan.
Keinginan Timor Leste untuk segera
membicarakan perbatasan tidak lepas dari kenyataan bahwa ceruk minyak dan gas
Bayu-Udan yang sejak 2004 menjadi sumber pendapatan negara dan membiayai
lebih dari 80% Anggaran Belanja Negara Timor Leste, mulai mengering.
Awalnya ladang minyak ini diperkirakan akan
mulai turun produksinya pada 2025, tetapi fakta di lapangan mulai tahun 2012
produktivitasnya semakin menurun dan akan kehilangan nilai ekonomisnya (akan
menjadi rugi bila tetap dieksplorasi) pada 2021. Bayangkan apa yang terjadi
kepada Timor Leste bila CMATS tidak dibatalkan. Negeri itu akan kehilangan
pendapatan, dan yang terpenting adalah pertahanan dan keamanannya.
Menyurutnya sumber minyak dan gas tentu
akan menguntungkan Australia karena daya tawar mereka semakin tinggi dan kuat
ketika berhadapan dengan Timor Leste. Namun demikian, ada beberapa strategi
Timor Leste yang tidak dapat diungkapkan di sini yang mampu membuat Australia
untuk tidak terlalu jemawa dalam negosiasi hingga akhirnya mencapai
kesepakatan pekan lalu.
Kita dapat menyebut terjadinya perjanjian
perbatasan antara Timor Leste dan Australia adalah kemenangan besar untuk
masyarakat Timor Leste. Timor Leste termasuk cukup gigih dan tangguh
menghadapi tekanan dari Australia yang meminta agar pipa gas diarahkan untuk
melalui lepas pantai (offshore) Darwin saja.
Timor Leste menghendaki agar kilang minyak
dan pengolahannya dibangun di daratan (onshore) Timor Leste. Apabila pipa
diarahkan ke Darwin, Timor Leste akan mendapat 80% dari penghasilan dan bila
diarahkan ke Timor Leste hanya mendapat 70%. Hal ini mirip seperti perdebatan
Blok Masela di Indonesia, onshore menjadi penting karena akan memicu
perekonomian lokal dan menciptakan lapangan pekerjaan.
Indonesia juga memantau perkembangan yang
terjadi di Timor Leste dan mengukur dampaknya. Secara teoretis, apabila
kilang minyak disepakati dibangun onshore, juga akan berdampak terhadap
perekonomian Indonesia, karena selama ini pemenuhan minyak bumi berbentuk
solar dan bensin dipasok dari Indonesia, tepatnya melalui Pertamina.
Dengan proyek Greater Sunrise ini, Timor
Leste mulai mengambil langkah konkret untuk mendiversifikasi sumber
pendapatan dan impor untuk penduduknya. Jika selama ini lebih dari 50%
kebutuhan sehari-hari masyarakat Timor Leste diimpor dari Indonesia, ke depan
Timor Leste terus mengembangkan kerja sama bilateral dengan negara-negara
yang juga ingin menjual produknya ke Timor Leste.
Gerakan pemerintah Timor Leste untuk
memperkenalkan negeri itu kepada sebanyak-banyaknya investor semakin kuat.
Dua hari lalu mereka meresmikan Pusat Informasi Turisme dan menyiapkan
program-program penguatan promosi turisme dan diplomasi publik yang lebih
gencar.
Indonesia dan Timor Leste perlu saling
mendekatkan diri karena keuntungan-keuntungan yang akan dinikmati oleh kedua
negara. Secara geopolitik, Indonesia dan Timor Leste wajib menjaga hubungan
baik karena letaknya yang berbatasan langsung.
Budaya dan sejarah Indonesia di Timor Leste
masih kuat. Bahasa Indonesia dan bahkan sejumlah buku pelajaran masih
digunakan. Hal ini menyebabkan secara psikologis hubungan personal orang
Indonesia dan Timor Leste juga positif.
Indonesia juga berkepentingan agar Timor
Leste dapat lebih stabil di masa depan dan dapat melalui dinamika politik
internal yang berkembang di dalam negeri dengan lebih baik. Kita tidak dapat
mengintervensi, tetapi kita dapat mengembangkan kapasitas sumber daya manusia
di Timor Leste agar dapat menghadapi tantangan global di Asia-Pasifik. Jika
Indonesia ikut ambil bagian dalam pembangunan di Timor Leste, mestinya kita
pun dapat menikmati buah-buah positif dari persahabatan dengan saudara kita
itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar