Subsidi,
Haruskah?
Candra Fajri Ananda ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 12 Maret 2018
Seperti dugaan, kenaikan harga minyak dunia
akan berimbas pada kebijakan anggaran pemerintah pusat. Di satu sisi kenaikan harga minyak dunia
otomatis akan mendorong kenaikan harga bahan ba kar minyak (BBM) dan secara
tidak langsung akan ikut mencu kil harga tarif dasar listrik (TDL). Perubahan
ini akan men dorong sentimen negatif dari para pelaku usaha dan rumah tangga
seiring beban biaya produksi/konsumsi yang me ning kat. Seandainya pe me -
rin tah akan memberikan sub - sidi energi, sentimen ne gatif akan berpindah
kepada in - vestor obli gasi karena hal ini akan meng ubah asumsi makro APBN.
Pemerintah dianggap ku - rang konsisten dengan ran - cang an sebelumnya yang
men - janjikan adanya reformasi fiskal yang mengedepankan belanja produktif.
Di luar itu peme rin - tah juga perlu
berhati-hati ka - rena mulai mendekati mo men - tum pilkada dan pilpres.
Secara otomatis apa pun kebijakan pe - merintah akan terus disorot oleh
masyarakat. Tentunya pan dangan masyarakat sedikit banyak akan berpengaruh
ter - hadap stabilitas perekonomian domestik. Lengah sedikit saja bisa
mengubah banyak per - sepsi. Tidak ada kata yang lebih tepat selain
pemerintah harus ekstra hati-hati. Proyeksi harga minyak du - nia hingga
kuartal I-2018 di - perkirakan masih naik meski - pun pelan. Goldman Sachs
mem perkirakan acuan harga mi nyak Brent hingga akhir kuartal I-2018 menjadi
USD62 per barel, sedangkan cuan harga minyak Amerika SerikatWest Texas
Intermediate (WTI) akan mencapai sebesar USD57,5 per barel.
Adapun dalam APBN 2018, ICP ditetapkan
sebesar USD48 per barel. Asumsi ber - ikutnya mencatat, ketika ter - jadi
stress test akibat kenaikan ICP sebesar USD20 per barel, beban subsidi akan
bertambah se besar Rp11,68 triliun. Pe - nam bahan beban itu antara lain
berasal dari subsidi energi, yak - ni BBM dan listrik. Dua sub sidi ini
sifatnya sangat elastis de - ngan kenaikan harga mi nyak. APBN 2018 hanya
meng ang - gar kan subsidi energi Rp94,42 triliun, naik tipis dari perkiraan
tahun 2017 Rp89 tri liun. Angka subsidi sudah me ro sot drastis selama
Pemerintah Presiden Joko Widodo (Joko wi). Apa yang akan dilakukan pemerin -
tah menjadi sangat me narik karena menyangkut berbagai dimensi pembangunan.
Pada pendekatan teoretis, subsidi energi dibutuhkan pada saat daya beli pasar
mulai me nu - run.
Dengan kata lain subsidi di - gunakan untuk
memper ta han - kan daya beli masyarakat agar tetap menjangkau harga pasar.
Sifat subsidi dapat diberikan kepada produsen maupun kon - sumen dengan
tujuan yang sama, yakni menjaga stabilitas harga dan daya beli. Maka da - lam
pendekatan ini, sah-sah saja jika pemerintah hendak memberikan subsidi energi
seiring mulai melambungnya harga minyak mentah dunia. Akan tetapi kali ini
peme - rintah tidak bisa bergerak bebas karena telanjur terjebak dengan retorika
kebijakan sendiri.
Di awal masa pemerintahan Pre si - den
Jokowi, pemerintah men - ca but subsidi energi besar-be - saran dengan dalih
akan di alih - kan pada pos-pos belanja yang lebih tepat untuk memperkuat
kerangka pertumbuhan eko no - mi. Tiga tahun belakangan ke - bijakan tersebut
terus dirawat secara konsisten. Nah, sekarang sangat mungkin akan me nim -
bulkan pertanyaan besar kepa - da pemerintah. Apakah betul ini demi menjaga
daya beli un - tuk produksi/konsumsi? Atau - kah sekadar kebijakan populis
semata?
Frame
Politik
Jika ditarik ke ranah politik, ke bijakan
subsidi bisa diiba rat - kan seperti dua mata pedang. Subsidi sudah sangat
gamblang akan membebani keuangan ne - gara. Akan tetapi jika mampu dikelola
dengan baik, hasilnya akan ikut menjaga daya beli ma - syarakat. Namun hal
tersebut dapat terjadi jika pengelolaan - nya tepat sasaran. Nah selama ini
ketepatan tersebut masih sangat diragukan. Presiden Jokowi beserta jajarannya
juga membahas soal ketepatan sa - saran sebagai alibi untuk me - narik
besaran subsidi energi. Makanya sampai sekarang ke - bijakan subsidi masih
terus ber - gulir menjadi kontroversi.
Dan yang lebih mengejut - kannya lagi,
pemerintah berwa - cana menggulirkan (kembali) peningkatan subsidi energi.
Kre dibilitas dan konsistensi pe - merintah akan kembali meng - ha dapi
ujian. Memang rencana kebijakan subsidi belum sampai menggerus kepercayaan
inter - nasional terhadap prospek eko - nomi Indonesia. Setidaknya hal itu
terpampang atas kenaikan peringkat utang Indonesia dari Lembaga Rating &
Informa - tion, Inc (R & I), yang mengubah Sovereign Credit Rating (SCR)
kita dari BBB- (outlook positif) menjadi BBB (outlook stabil). Faktor
pengubahnya berasal dari stabilitas makro yang posi - tif yang direfleksikan
dari in - flasi yang stabil dalam ting kat - an yang rendah, defisit fiskal
yang terjaga, serta rasio utang yang dianggap masih dalam angka yang aman.
Di luar itu masih ada juga karena alasan
defisit akun berjalan yang kecil, dana devisa yang masih banyak, dan
investasi infrastruktur yang terbilang progresif. Kendati demikian rating ter
- sebut belum tentu mampu me - redam gejolak yang mungkin segera bergulir.
Sekali lagi pe - merintah perlu menyiapkan berbagai jurus yang tepat untuk
menghindari polemik. Karena dampaknya bisa berkembang cukup liar jika tidak
dapat di - kendalikan. Khususnya terhad - ap stabilitas sosial dan politik.
Sumber anggaran untuk pe - nambahan subsidi juga belum jelas dari mana
asalnya.
Apakah nanti akan disediakan melalui
pergeseran alokasi belanja, atau malah menambah utang? Yang jelas, Menko
Perekonomian su - dah menjelaskan penambahan subsidi tidak akan koheren de -
ngan peningkatan defisit fiskal dan tentunya disediakan dari utang. Karena
asumsinya keti - ka harga minyak dunia naik, pe - nerimaan negara juga akan
ikut meningkat sehingga tidak perlu ada respons kekhawatiran yang berlebihan
atas kesehatan fis - kal pemerintah.
Simalakama?
Andai kata apa yang diung - kapkan Menko
Perekonomian memang betul-betul akan ter - jadi, mungkin kita tidak perlu
khawatir lagi dengan polemik subsidi energi. Setidaknya an - caman inflasi
dari komponen harga yang diatur pemerintah (administered prices) bisa ter -
jaga. Nah, yang menarik, meski - pun pemerintah sudah men - jelaskan bahwa
kebijakan sub - sidi tidak perlu terlalu diper - masalahkan, faktanya survei
Indeks Kepercayaan Konsu - men (IKK) yang dilakukan Bank Indonesia (BI) untuk
periode Februari 2018 justru meng - alami penurunan. IKK Februari berada di
angka 122,5 poin, lebih rendah ketimbang bulan sebelumnya yang berada di
angka 126,1 poin.
Makna dari penurunan seperti ini men je -
las kan bagaimana situasi pasar yang belum sejalan dengan ekspektasi
pemerintah. Hal yang sangat mungkin dirasakan masyarakat, bahwa bisa jadi
mereka tidak cukup yakin de - ngan niatan kebijakan subsidi kali ini, sekadar
berkaitan de - ngan effort untuk menjaga daya beli masyarakat. Lantas apa
yang perlu dila - ku kan pemerintah? Pertama, jika memang pemerintah sudah
meyakini bahwa kebijakan sub - sidi sudah sangat tepat untuk menstabilkan
kondisi pasar, ada baiknya pemerintah tetap fokus untuk menjalankan se -
suatu yang terbaik bagi masya - rakat.
Namun penjelasannya harus clear. Karena
sifatnya un - tuk perlindungan stabilitas har - ga, seharusnya ada horizon
wak tu yang jelas, termasuk ter - kait mekanismenya. Misalnya terkait dengan
peruntukan sub sidi apakah akan diberikan kepada produsen ataukah kon -
sumen? Proses politik yang di - tempuh perlu ditetapkan sub si - di ini akan
diarahkan ke mana. Kedua, diskursus yang ber - gulir mulai mengarah pada
persoalan keadilan. Keadilan yang dimaksud berkaitan de - ngan ketepatan
sasaran yang selama ini tingkat akurasinya dinilai cukup “rawan”.
Subsidi memiliki dampak yang ber be - da,
terutama jika tidak tepat sa - saran. Ada asumsi bahwa meka - nisme subsidi
yang selama ini dilakukan belum mengarah kepada pihak yang betul-betul
membutuhkan. Kecenderung - an nya subsidi lebih banyak digunakan untuk
konsumsi ke - timbang meningkatkan pro - duk si. Asumsi ini pula yang juga
digunakan pemerintahan Pre - si den Jokowi untuk mengetat - kan alokasi
subsidi. Peng alam - an penting dalam mengurangi subsidi di awal pemerintahan
Presiden Jokowi memberikan pelajaran adanya “konflik”, ter - utama munculnya
pihak yang merasa dirugikan.
Diskursus tentang keadilan menjalar ke
siapa sebenarnya yang layak mendapatkan benefit. Apakah keadilan merujuk pada
asumsi semua harus mendapatkan treat ment yang sama? Faktor leadership dan
komunikasi yang efektif sekali lagi bisa sangat menentukan dalam memba - ngun
arah kebijakan dan me - ngendalikan fenomena keti - dak puasan masyarakat.
Ketiga, dalam jangka pan - jang ada baiknya jika peme rin - tah juga semakin
memper ha - tikan pengembangan penggu - na an energi baru dan terba ru - kan
(EBT). Karena ketergan - tung an terhadap pola yang kon - vensional sudah
cukup banyak memberikan kerugian baik dari sisi fiskal maupun kesehatan
lingkungan. Kita terlalu banyak menggunakan sumber energi yang polutif,
khususnya yang terkait dengan penyediaan ener gi listrik.
Sejumlah ka lang - an menganggap PT
Perusahaan Listrik Negara (PLN) terjebak pada pemakaian sumber energi batu
bara yang sangat polutif, mahal, dan pasokannya juga ba - kal semakin langka.
Saat ini se - ki tar 60% pembangkit listrik mi lik PLN masih menggunakan batu
bara. Itu belum termasuk proyek 35.000 MW yang sedang dikembangkan. Akibatnya
su - dah cukup fatal. Ketika harga batu bara melambung seperti se karang ini,
PLN cukup ge la - gapan karena biaya produksi lis - trik tahun ini berpotensi
mem - bengkak seperti pada 2017. Di sisi lain kemungkinan kenaikan harga
dalam waktu dekat sudah tertutup karena pemerintah menjanjikan tidak akan
menaik kan harga BBM dan TDL bersubsidi hingga tahun depan. Hal ini belum
include dengan berapa biaya yang harus di ba - yar kan kepada Pertamina un -
tuk kebutuhan subsidi harga.
Jadi, selama tidak diiringi dengan
langkah-langkah ku ra - tif, dalam jangka waktu yang ti - dak dapat
ditentukan pola kebijakan terkait subsidi energi ini akan terus bergulir
sebagai kontroversi. Ada baiknya jika pemerintah mempersiapkan dengan data
dan akurasi target subsidi yang jelas dan terukur. Apalagi saat ini merupakan
tahun politik, saat semua isu yang muncul akan menjadi isu politik yang
sensitif dan akan menghabiskan banyak energi. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar