Rupiah
Terimbas The Fed
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS,
07 Maret
2018
Sejak Rabu (28/2) pekan lalu, kurs
rupiah melemah cukup tajam hingga melampaui batas psikologis. Titik
terendahnya mencapai Rp 13.800 per dollar AS, sebelum beranjak menguat ke Rp
13.700 per dollar AS (5/3).
Melemahnya rupiah kali ini bisa
dibilang murni disebabkan oleh faktor eksternal, yakni pidato pertama pemimpin
bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, yang baru, di depan Kongres AS.
Powell secara resmi menggantikan Janet Yellen yang tak mau dipilih lagi,
sejak 5 Februari 2018.
Sebagai pemimpin baru The Fed,
tampaknya Powell ingin memberikan tambahan kepercayaan (trust) kepada pasar,
bahwa perekonomian AS sekarang sedang baik. Hal ini memang didukung dengan
data yang cukup meyakinkan. Data pengangguran, misalnya, kini mencapai 4,1
persen, yang merupakan level terbaik sejak tahun 2000. Penyerapan tenaga kerja
di luar sektor pertanian (non-farm payrolls) juga amat baik, yakni sekitar
200.000 orang berhasil mendapat pekerjaan setiap bulan.
Sepanjang 2017, pertumbuhan
ekonomi AS mencapai 2,3 persen. Ini level yang termasuk baik untuk sebuah
perekonomian yang produk domestik bruto (PDB)-nya terbesar di dunia, 19,3
triliun dollar AS. Sementara inflasi tercatat 2,1 persen, atau level ideal
untuk ukuran AS.
Data lain di sektor riil: penjualan mobil mencapai 17,25 juta setahun. Ini
termasuk impresif. Satu-satunya indikator yang masih lemah adalah defisit
perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan, yang selalu besar. AS
menderita defisit sebesar 375 miliar dollar AS terhadap China. Namun, ini
khas dan ”biasa” bagi AS.
Normalisasi suku bunga
Karena sederet data positif
tersebut, Powell pun mulai berani menjanjikan kenaikan suku bunga akan
diteruskan secara lebih cepat. Suku bunga acuan saat ini (fed fund rate/FFR)
adalah 1,25-1,50 persen. Sepanjang 2017, masih di era Yellen, FFR naik tiga
kali di bulan Maret, Juni, dan Desember. Kenapa The Fed ingin meneruskan
kenaikan suku bunganya? Padahal negara-negara lain, misalnya Indonesia,
justru ingin menurunkan suku bunga untuk mendorong konsumsi dan investasi?
Jawaban singkatnya harus merunut
kejadian krisis ekonomi global 2008. Pada saat itu, The Fed di bawah
ketuanya, Ben S Bernanke, menempuh kebijakan penurunan suku bunga dan
mencetak uang (quantitative easing). Kebijakan uang longgar (easy money) ini
dimaksudkan untuk melakukan relaksasi likuiditas. Ketika suatu negara terkena
krisis, obat di sektor moneter adalah melonggarkan likuiditas.
Kebijakan moneter longgar AS
berakhir pada suku bunga 0,25 persen dan cetak uang 4,5 triliun dollar AS
pada Mei 2013, ketika Pemerintah AS mulai menyadari terjadinya pemulihan
ekonomi. Sejak itu, suku bunga diarahkan untuk naik. Mengapa? Karena jika
suku bunga berlanjut rendah dan inflasi rendah, perekonomian AS akan
”terjebak” pada stagnasi, seperti yang dialami Jepang sejak 1990-an.
Kombinasi antara suku bunga nyaris nol persen dan inflasi rendah bahkan
deflasi hanya berujung pada pertumbuhan ekonomi rendah di bawah 1 persen.
Untuk mengungkit agar pertumbuhan
ekonomi tidak rendah, Pemerintah AS perlu mengembalikan suku bunga ke level
”normal baru” (new normal). Belum ada kesepakatan, berapakah suku bunga ideal
untuk perekonomian AS saat ini. Namun, dari berbagai diskusi, tampaknya akan
mengarah ke sekitar 2 persen.
Bahwa The Fed akan menaikkan suku
bunga, itu sudah terantisipasi sejak pertengahan 2013. Namun, yang
mengejutkan pasar adalah Powell akan menaikkan suku bunga sampai empat kali
pada tahun ini. Berarti, suku bunga akan berada pada level 2,25-2,50 persen
pada akhir tahun ini. Pasar pun bereaksi dengan cepat, yakni dollar AS
menguat (apresiasi) dan indeks harga saham di New York jatuh.
Kurs dollar AS menguat terhadap
hampir semua mata uang dunia. Indeks dollar AS (the ICE Dollar Index)—nilai
relatif dollar AS terhadap sejumlah mata uang mitra dagang utama AS, yakni
euro, yen, pound sterling, yuan/renminbi, peso Meksiko, won, dan real
Brasil—langsung menguat 0,6 persen. Dengan kata lain, mata uang seluruh dunia
umumnya melemah terhadap dollar AS, misalnya mata uang Swedia (depresiasi 5
persen), Australia (4 persen), Indonesia (2,8 persen), India (2,4 persen),
Malaysia (2,3 persen), Brasil (1,9 persen), zona euro (1,7 persen), dan Korea
Selatan (1,4 persen).
Saya menduga kenaikan suku bunga
sampai empat kali itu terlalu banyak. Becermin dari pengalaman sebelumnya,
Yellen tidak pernah menaikkan suku bunga sebanyak itu dalam periode setahun.
Maksimal hanya tiga kali, sebagaimana kejadian 2017. Mengapa? Jika suku bunga
dinaikkan terlalu cepat, maka akan timbul setidaknya dua komplikasi.
Pertama, kurs dollar AS akan
menguat karena banyak investor global akan memindahkan asetnya ke portofolio
dengan denominasi dollar AS. ”Memegang” aset berdenominasi dollar AS menjadi
lebih menguntungkan karena suku bunga atau imbal hasilnya lebih tinggi.
Namun, apresiasi dollar AS ini bisa berdampak negatif bagi negara perdagangan
AS.
Defisitnya bisa kian meningkat. Ini tidak sesuai dengan kampanye Presiden
Donald Trump, America first, yang bertujuan menurunkan defisit perdagangan.
Kedua, pasar uang dan pasar modal
bisa diibaratkan seperti ”bejana berhubungan”. Ketika pasar uang menawarkan
suku bunga lebih tinggi, likuiditas pun akan mengalir dari pasar modal ke
pasar uang. Itulah sebabnya, ketika suku bunga naik, harga saham di New York
jatuh. Kini indeks Dow Jones menurun jauh ke level 24.538, dari level
sebelumnya pernah 26.600.
Berdasarkan dinamika tersebut,
saya menyangsikan bahwa The Fed benar-benar akan meningkatkan suku bunganya
empat kali hingga mencapai 2,50 persen tahun ini. Itu terlalu agresif
(overshot) yang bisa menjadi bumerang bagi mereka. Kenaikan suku bunga yang
moderat saya perkirakan hanya 2-3 kali pada tahun ini, yang berakhir pada 2
persen. Ini akan lebih aman bagi AS dan bisa mengurangi volatilitas sektor
finansial global.
Redam volatilitas rupiah
Volatilitas rupiah mau tidak mau
harus dihadapi Bank Indonesia (BI) dengan menjalankan kebijakan intervensi.
Dari sisi kemampuan mengintervensi, saat ini BI sedang berada pada level
nyaman. Cadangan devisa sebelum BI melakukan intervensi adalah nyaris 132
miliar dollar AS. Inilah rekor tertinggi cadangan devisa yang pernah kita
miliki.
Sebagai ilustrasi, cadangan devisa
pada saat krisis 1998 hanya 20 miliar dollar AS, yang berarti amat jauh di
bawah jumlah utang luar negeri kita 130 miliar dollar AS (1 berbanding 6).
Sementara saat ini, cadangan devisa 132 miliar dollar AS tatkala jumlah utang
luar negeri mencapai 352 miliar dollar AS (1 berbanding 3). Kesimpulan,
posisi saat ini jauh lebih baik dan masih aman.
Dari sisi fundamental ekonomi,
sebenarnya tidak ada alasan bagi rupiah untuk terdepresiasi. Pertumbuhan
ekonomi 5,07 persen, inflasi dua bulan pertama 0,79 persen, neraca
perdagangan surplus 11,84 miliar dollar AS yang berujung menguatnya cadangan
devisa merupakan hal-hal positif yang mestinya tidak mendorong pelemahan
rupiah. Hanya faktor eksternal dengan sentimen yang sangat kuat yang bisa
menggoyahkan rupiah.
Apalagi saat ini ada harapan
perekonomian akan tumbuh lebih tinggi karena ditopang oleh membaiknya harga
komoditas, misalnya batubara yang mencapai 100 dollar AS per metrik ton.
Berdasarkan pengalaman 2010-2013, kenaikan harga komoditas dapat mendorong
permintaan konsumsi rumah tangga sehingga bisa tumbuh di atas 5 persen.
Sementara itu, pasar modal
Indonesia relatif menyikapi gejolak global ini dengan tenang. Memang sempat
terjadi koreksi pasar, tetapi angkanya terkendali. Pada awal pekan ini,
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih nyaman di level 6.578 (Senin, 5/3).
Ini masih termasuk tinggi dan berbeda arah dibandingkan dengan rupiah yang
melemah. Pasar rupanya tetap memiliki rasionalitas bahwa prospek saham masih
baik sehingga tidak perlu melakukan aksi jual berlebihan.
Akhirnya, saya yakin Powell bakal
lebih sabar untuk tidak terlalu agresif menaikkan suku bunga FFR sehingga
pasar bisa lebih rasional menyikapi dan tidak panik. Selanjutnya, kurs mata
uang seluruh dunia pun akan berangsur pulih ke ekuilibrium yang lebih
berkelanjutan. Imbasnya, kurs rupiah bisa menyempit derajat volatilitasnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar