Rohingya
dan Ganjalan Diplomasi
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional
|
KORAN
SINDO, 28 Februari 2018
MASALAH Rohingya masih
menjadi persoalan yang mengganjal diplomasi di ASEAN. Media massa masih
banyak melaporkan perkembangan di lapangan yang menunjukkan situasi yang
memburuk dari hari ke hari.
Seandainya pun dianggap
tidak memburuk, fakta-fakta baru yang mendukung asumsi terjadinya pembantaian
massal karena upaya penyingkiran suatu ras atau bangsa mulai terungkap.
Informasi yang paling mengejutkan misalnya, berasal dari Associated Press
tentang eksekusi massal dan temuan kuburan massal warga Rohingya.
Informasi-informasi
tersebut meletakkan ASEAN dalam posisi tertekan. ASEAN sesungguhnya secara
internal membangun mekanisme penanganan kasus Rohingya dengan mendasarkan
rekomendasinya pada laporan Advisory Commission on Rakhine State yang
dipimpin oleh Kofi Annan tetapi secara eksternal juga diuji posisinya melalui
kerja tim pencari fakta yang akan dipimpin oleh diplomat Indonesia Marzuki
Daruzman.
Dalam setiap pertemuan di
antara Menteri-menteri luar negeri di ASEAN, masalah Rohingya menjadi sering
dibicarakan. Menteri-menteri luar negeri ASEAN, misalnya, memiliki sebuah
agenda rutin untuk membahas masalah-masalah terkini dan memberikan tanggapan
atas beberapa masalah yang memiliki dampak kepada kawasan.
Agenda rutin itu disebut
dengan ASEAN Retreat dan terakhir dilaksanakan adalah tanggal 6-9 Februari
lalu. Ada banyak agenda yang dibahas dan salah satu yang terpenting adalah
masalah Rohingya di Myanmar. Agenda ini bukan pertama kali dimunculkan tetapi
juga pernah dibicarakan bahkan ketika pertemuan diadakan di Myanmar pada
bulan Desember 2017.
Dalam Retreat di bulan
Desember 2017, menteri-menteri luar
negeri ASEAN menuntut Myanmar untuk memberikan akses kemanusiaan kepada
wilayah-wilayah yang dianggap mengalami krisis kemanusiaan. Akses kemanusiaan
terutama diberikan kepada lembaga bantuan international seperti PBB dan World
Food Program yang terputus aksesnya sebelum pertemuan para menteri ASEAN itu
terjadi.
Menteri-menteri ASEAN
mengadakan lagi retreat pada minggu lalu di Singapura. Singapura saat ini
mendapat giliran keketuaan di ASEAN menggantikan Filipina. Pertemuan itu
kembali mengangkat masalah Rohingya dan memberikan satu rekomendasi lagi
untuk pemerintah Myanmar.
Meskipun sikap ASEAN masih
normatif ada satu rekomendasi yang menuntut Pemerintah Myanmar melaksanakan
rekomendasi the Advisory Commission on Rakhine State dan menunggu
terbentuknya the Advisory Board for the implementation of the recommendations
on Rakhine State di bawah pimpinan Prof Dr Surakiart Sathirathai, mantan
wakil perdana menteri and menteri luar negeri Thailand.
Tim yang dipimpin Kofi
Annan memiliki mandat yang berbeda dibandingkan tim yang dipimpin oleh
Marzuki Darusman. Tim Marzuki ini adalah Tim Pencari Fakta (TPF), dibentuk
oleh Dewan HAM PBB berdasarkan laporan UN Office of the High Commissioner for
Human
Rights yang menemukan
bahwa telah terjadi kejahatan terhadap komunitas etnis Rohingya di negara
bagian Rakhine utara dan hal tersebut terjadi secara luas dan sistematis
sehingga dapat diindikasi kemungkinan terjadinya kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Mandat yang berbeda ini
juga mendapatkan reaksi yang berbeda dari Pemerintah Myamar. Pemerintah
Myanmar lebih menyambut tim yang dipimpin oleh Kofi Annan dibandingkan tim
Marzuki Darusman. TPF ini harus segera memberikan laporan mereka bulan Maret
2018 dan laporan final untuk diproses di bulan September 2018.
Hingga saat ini, TPF belum
berhasil masuk ke wilayah Myanmar karena Pemerintah Myanmar memerintahkan
kedutaan besar di seluruh negara untuk melarang memberikan visa kepada
seluruh anggota TPF. Oleh sebab itu, TPF ini hanya menginvestigasi dan
mendapatkan laporan dari warga Rohingya yang selamat keluar dari Myanmar dan
tinggal menjadi pengungsi di beberapa negara.
TPF ini berupaya menemukan
apakah pemerintah Myanmar telah melakukan perintah atau pembiaran terjadi
kejahatan genosida. Istilah genosida sendiri lahir dari sejarah pembunuhan
sistematis orang-orang Yahudi oleh Nazi selama Holocaust.
Genosida pertama kali
dikenali sebagai kejahatan menurut hukum internasional pada tahun 1946 oleh
Majelis Umum PBB dan dikodifikasi sebagai kejahatan independen dalam Konvensi
1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (Konvensi
Genosida). Konvensi tersebut telah diratifikasi oleh 149 negara (pada Januari
2018).
Konvensi tersebut
mewujudkan prinsip-prinsip yang merupakan bagian dari hukum kebiasaan umum
internasional dimana konvensi ini akan diterapkan kepada seluruh negara baik
yang ikut meratifikasi ataupun tidak. ICJ juga telah menyatakan bahwa
larangan genosida adalah norma hukum internasional (atau ius cogens) yang
ketat dan akibatnya, tidak diizinkan ada perendahan (derogation).
Secara prosedural laporan
TPF akan menjadi pembahasan di UN Human Rights Council (Dewan HAM PBB). Dalam
pernyataan pers mereka saat mengunjungi Bangladesh di 27 Oktober 2017,
penderitaan dan kesengsaraan yang ditemukan sebagai hasil wawancara dengan
para korban digambarkan sangat mendalam.
Sementara kekerasan
seksual yang dialami korban sangatlah kejam sehingga para anggota TPF mengaku
sangat terusik dan terguncang. Dalam kondisi seperti itu, sulit dibayangkan
bahwa laporan akhir dari TPF akan berbeda jauh dari simpulan sementara bahwa
telah terjadi kejahatan kemanusiaan di Myanmar.
Saat ini di ASEAN belum
ada mekanisme lain yang berjalan menangani masalah ini secara formal selain
melalui Retreat Menteri Luar Negeri dan ASEAN Coordinating Center for
Humanitarian Assistance (AHA Center). Di Komisi HAM ASEAN yakni AICHR, mandat
meminta informasi dari Myanmar demi mencari solusi bersama yang dilakukan
oleh Indonesia justru terjegal oleh adanya beberapa wakil negara yang berkata
tidak sudi mendengarkan pemaparan dari Myanmar. Alasannya mereka tidak ingin
mencampuri urusan dalam negeri Myanmar.
Sungguh ironis. Di saat
mata dunia tertuju pada problem yang jelas-jelas tidak bisa disangkal di
kawasan, mengapa ada saja negara anggota ASEAN yang memilih untuk menutup
mata? Apakah kemudian hasil temuan TPF juga akan menemukan reaksi serupa dari
ASEAN?
Kejadian di Myanmar memang
batu ujian bagi ASEAN khususnya bagi diplomasi berbasis pelibatan secara
konstruktif (constructive engagement) yang selama ini dipegang erat-erat
sebagai bagian dari prinsip mencari konsensus.
Kasus seperti Myanmar
seharusnya tidak diperlakukan sama seperti kasus mendorong implementasi norma
internasional di level nasional atau menunggu kementerian/lembaga di dalam
negeri Myanmar untuk memberi respons atas undangan ASEAN.
Di saat bukti kekerasan
dan pelanggaran HAM bertambah terus, perlu ada upaya bersama untuk menggerakkan
Myanmar agar secepatnya mengubah cara-caranya mengelola isu apapun yang
dikeluhkan saat ini terjadi di Rakhine.
Kegiatan seperti ini tidak
bisa dianggap mencampuri urusan dalam negeri karena tujuannya bukan untuk
“membajak” kedaulatan. Melainkan untuk memulihkan martabat manusia di negara
tersebut dan menghindari ASEAN menjadi bulan-bulanan perhatian dunia dan
tersandera secara politik akibat tidak kunjung usainya urusan Myanmar.
Memperhatikan perkembangan
isu ini, dan bila tidak ada terobosan berarti, hanya soal waktu saja bahwa
ASEAN akan makin terhambat dalam mencapai visi ASEAN 2025 sebagai suatu
komunitas yang peduli. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar