Produktivitas
Pekerja dan Kesejahteraan
Bambang Soesatyo ; Ketua DPR RI; Fraksi Partai Golkar
|
KORAN
SINDO, 13 Maret 2018
KLAIM pemerintah tentang meningkatnya
produktivitas pekerja Indonesia melahirkan pertanyaan tentang relevansinya
dengan kesejahteraan pekerja. Apakah komunitas pekerja juga menikmati nilai
tambah dari peningkatan produktivitas itu?
Sepanjang pekan pertama Maret 2018 ini
pemerintah menyoal isu atau masalah ketenagakerjaan. Presiden Joko Widodo
(Jokowi) menyoal perlakuan terhadap tenaga kerja asing (TKA) dengan
kualifikasi tertentu. Presiden mendorong para menteri untuk tidak terlalu
kaku dalam menyikapi kebutuhan TKA dengan kualifikasi khusus. Pemerintah
harus luwes jika investasi baru memang butuh TKA dengan keahlian khusus.
"Pasar tenaga kerja sudah melewati
batas-batas negara. Kita banyak mengirim tenaga kerja atau sering kita sebut
sebagai buruh migran ke berbagai negara di Timur Tengah, di Asia Tenggara,
maupun di Asia Timur, dan pada saat yang bersamaan sejalan dengan masuknya
investasi kita juga menerima masuknya tenaga kerja asing dengan kualifikasi
tertentu yang dibutuhkan dalam proses investasi," kata Presiden saat
membuka rapat terbatas (ratas) soal TKA di Jakarta, Selasa (6/3).
Menindaklanjuti perintah Presiden itu,
pemerintah merancang peraturan presiden (perpres) yang menjadi payung hukum
bagi TKA dengan keahlian khusus. Perpres itu akan membuat mekanisme baru
proses perizinan hingga pengawasan terkait TKA khusus. Dipastikan bahwa TKA
bisa diterima untuk jenis pekerjaan yang belum ada di Tanah Air.
Pada hari yang sama, Kementerian Tenaga
Kerja juga memublikasikan progres produktivitas pekerja Indonesia. Di
sela-sela Conference and Workshop on Innovation Development di Jakarta,
pejabat Kemenaker mengemukakah pada 2015 produktivitas per pekerja Indonesia
mencapai USD24,3 ribu. Angka ini dua kali lipat lebih tinggi dibanding
produktivitas pada 1990. Artinya, selama 25 tahun produktivitas Indonesia
tumbuh 3,1% per tahun. Gambaran ini diambil dari data Asian Productivity
Organization (APO). Hampir sama dengan APO, The Conference Board dalam Total
Economy Database mencatat produktivitas per pekerja Indonesia pada 2017 telah
menembus USD24,6 ribu.
Berdasarkan data-data itu, produktivitas
per pekerja Indonesia saat ini berada di peringkat 11 dari 20 negara anggota
APO. Sementara di lingkungan ASEAN, produktivitas per pekerja Indonesia di
peringkat keempat. Daya saing Indonesia di peringkat ke-36 di antara 137
negara. Sedangkan di lingkungan ASEAN, Indonesia berada di peringkat keempat
dari sembilan negara ASEAN yang tercatat dalam The Global Competitiveness
Report 2017-2018.
Memang, jika diperbandingkan dengan banyak
negara lain, termasuk di lingkungan ASEAN, progres data tentang peringkat
produktivitas dan daya saing Indonesia itu belum cukup memuaskan. Agar bisa
menjadi pemain utama di kancah perekonomian global, produktivitas pekerja
Indonesia harus terus dipacu. Kemenaker pun merekomendasikan agar kualitas
sumber daya manusia (SDM) Indonesia terus ditingkatkan. Inovasi, pemanfaatan
teknologi, dan perbaikan manajemen menjadi faktor-faktor yang penting untuk
terus dieksplorasi guna meningkatkan produktivitas dan daya saing nasional.
Saat ini tantangannya adalah bagaimana
menjaga keberlangsungan peningkatan grafik produktivitas pekerja Indonesia
(sustainable productivity ) itu. Tentu saja syarat utamanya adalah terjaganya
stabilitas nasional yang memungkinkan terwujudnya kegiatan produksi yang
kondusif. Tentang stabilitas nasional dan kondusivitas ini, biarlah menjadi
porsi pemerintah, Polri, dan TNI serta aparatur penegak hukum yang
mengelolanya. Sedangkan pekerjaan meningkatkan produktivitas pekerja menjadi
ranah para pemimpin perusahaan.
Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa
produktivitas pekerja sangat ditentukan oleh kualitas kebijaksanaan manajemen
perusahaan dalam memperlakukan karyawan atau para pekerjanya. Kualitas
kebijakan itu tentu saja harus selalu berpijak pada prinsip keseimbangan.
Dalam arti, mampu menyejahterakan pekerja dan mampu terus menumbuhkembangkan
bisnis perusahaan sesuai dengan tantangan yang akan dihadapi pada tahun-tahun
berikutnya.
Nilai
Tambah
Informasi dan data mengenai peningkatan
produktivitas pekerja Indonesia itu patut diapresiasi. Namun, gambaran
tentang progres produktivitas itu sudah barang tentu menghadirkan pertanyaan
tentang relevansinya dengan kesejahteraan pekerja Indonesia. Menjadi
konsekuensi logis jika produktivitas naik, kesejahteraan pekerjaan pun
idealnya membaik pula.
Maka itu, jika produktivitas pekerja
Indonesia tumbuh sebesar 3,1% per tahun, apakah persentase pertumbuhan itu
punya nilai tambah bagi perbaikan kesejahteraan pekerja Indonesia? Publik
tentu berharap Kemenaker juga punya penjelasan atas pertanyaan ini.
Pertanyaan ini patut dikedepankan karena hampir setiap tahun pekerja dan
manajemen perusahaan bersama pemerintah daerah harus berdebat ketika
menetapkan upah minimum provinsi (UMP).
Contohnya di Jakarta. Ketika pada Oktober
2018 Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menetapkan UMP DKI Jakarta 2018
sebesar Rp3.648.035, ketetapan ini diprotes pekerja. Para pekerja yang kecewa
melancarkan demo, menuntut besaran UMP Rp3,9 juta. Selain itu, setiap kali
memperingati hari buruh, para pekerja pun selalu berdemo. Pada 2017 para
pekerja menuntut penghapusan pola outsourcing
dan sistem magang, menuntut jaminan sosial pekerja, dan menolak upah
murah.
Artinya, pekerja Indonesia masih fokus pada
aspirasi dan perjuangan mereka untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup layak
(KHL). Pertanyaannya adalah apakah pertumbuhan produktivitas pekerja Indonesia yang 3,1% per tahun itu belum
cukup untuk memenuhi KHL? Kalau KHL belum tercapai, berarti pekerja Indonesia
belum sejahtera. Sekali lagi, data tentang pertumbuhan produktivitas pekerja
itu patut diapresiasi. Tetapi, data itu saja tidak cukup. Pada akhirnya, data
itu harus bisa memberi makna lebih kepada pekerja. Pertumbuhan produktivitas
pekerja idealnya juga mampu memperbaiki kualitas kesejahteraan pekerja dan
keluarganya.
Data mengenai pertumbuhan produktivitas
pekerja Indonesia itu bukan tidak mungkin akan digunakan serikat-serikat
pekerja untuk menaikkan daya tawar mereka dalam memperjuangkan besaran UMP di
tahun-tahun mendatang. Pemerintah dan dunia usaha harus bisa menyiapkan
jawaban yang masuk akal, agar keberlangsungan peningkatan grafik
produktivitas pekerja Indonesia itu selalu terjaga.
Bagi Kemenaker sendiri, ada konsekuensi
logis yang harus dijalani. Berangkat dari data mengenai pertumbuhan
produktivitas pekerja itu, Kemenaker harus semakin gigih mendorong
perusahaan-perusahaan meningkatkan kualitas kesejahteraan pekerja. Tentu saja
tetap berpijak pada keseimbangan antara menyejahterakan pekerja dengan kepentingan
menumbuhkembangkan bisnis perusahaan. Dengan tingkat kesejahteraan yang
cukup, pekerja akan lebih tenang dan dedikatif , serta semakin bersemangat
dalam upaya mendongkrak produktivitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar