Pertumbuhan
Model Baru
A Prasetyantoko ; Ekonom di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
|
KOMPAS,
06 Maret
2018
Direktur Pelaksana Dana Moneter
Internasional Christine Lagarde dalam konferensi internasional tingkat tinggi
di Jakarta pekan lalu menguraikan perlunya model baru pertumbuhan ekonomi
menghadapi ketidakpastian dan kemajuan teknologi (digital). Tentu saja bukan
hal baru, tetapi relevansi dan urgensinya meningkat drastis belakangan ini.
Sebenarnya, kaitan antara inovasi
(teknologi) dengan siklus bisnis dan pertumbuhan ekonomi telah lama dikaji.
Joseph Schumpeter, pelopor mazhab Austria, pada 1930-an telah melihat peran
(inovasi) teknologi dalam dinamika naik dan turunnya perekonomian (siklus
bisnis). Pada era 1980-an, Paul Romer dan Robert Lucas menyoroti faktor
endogen, seperti pengetahuan, teknologi, bahkan teknik manajerial, sebagai
penentu pertumbuhan ekonomi.
Ke depan, berbagai implikasi dari
kebangkitan Revolusi Industri 4.0 akan menentukan dinamika perekonomian.
Esensi Revolusi Industri 4.0 adalah menyatunya tiga aspek utama, yaitu aset
fisik, digital, dan biologi, dalam satu kesatuan (ekosistem). Berbagai
inovasi di hampir semua hal akan disangga tiga ekosistem utama, yaitu big
data, cloud computing, dan internet of things.
Akibat kemajuan revolusioner ini,
proses bisnis juga berubah radikal, dengan ciri lebih cepat, lebih ringkas,
mudah diakses, dan murah. Bagi konsumen tentu sangat menguntungkan. Namun,
tantangannya, kebutuhan tenaga kerja akan merosot drastis.
Dikutip Christine Lagarde, studi
McKinsey menunjukkan, tak lama lagi, sekitar 60 persen tenaga kerja yang
aktif sekarang akan tereliminasi ketangkasan teknologi. Bagi negara maju, ini
adalah solusi mengingat mereka pada dasarnya kekurangan tenaga kerja. Namun,
bagaimana dengan kita di negara berkembang yang tengah mengalami bonus
(surplus) demografi ini?
Perekonomian kita tahun ini
diproyeksikan tumbuh 5,3 persen dengan prospek yang baik dalam jangka menengah.
Jika dikelola dengan baik, dalam lima tahun ke depan bisa tumbuh pada kisaran
6-7 persen. Kendati prospek jangka menengah baik, ada beberapa catatan dalam
jangka pendek ini. Pertama, nilai tukar berfluktuasi cukup lebar.
Kedua, dari sisi fiskal terlihat
beberapa titik kerentanan, seperti beban subsidi yang meningkat akibat
kenaikan harga minyak pada kisaran 60 dollar AS per barrel atau di atas
asumsi APBN. Selain itu, kerawanan juga muncul akibat kesenjangan antara
peningkatan pengeluaran terkait proyek infrastruktur dan penerimaan yang
stagnan. Reformasi perpajakan diperlukan, tetapi tak bisa diharapkan dalam
jangka pendek ini.
Ketiga, dari sisi ekonomi riil,
upaya meningkatkan daya saing terus dilakukan, tetapi tetap saja
kesenjangannya terlalu lebar. Akselerasi tambahan pasokan infrastruktur harus
mempertimbangkan manajemen risiko dan aspek keselamatan yang seakan
terabaikan, seperti tampak dalam berbagai insiden belakangan ini. Paket
kebijakan ekonomi juga masih kusut di lapangan dan masih perlu beberapa tahun
lagi untuk melembagakannya. Intinya, transformasi struktural perlu waktu,
kalaupun arahnya sudah benar tak bisa dinikmati segera.
Dalam situasi seperti ini, adopsi
teknologi harus dilakukan. Bagaimana kita memaksimalkan teknologi sebagai sumber
pertumbuhan baru? Pertama, dari sisi moneter, ketergantungan kita pada
likuiditas asing begitu tinggi sehingga gejolak kecil saja berdampak
signifikan bagi kita. Dengan demikian, isunya, bagaimana kemajuan teknologi
bisa dirancang untuk meningkatkan penetrasi sektor keuangan sehingga pasokan
likuiditas dari dalam negeri bertambah. Meski tak cepat, program inklusi
keuangan harus dikedepankan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi.
Kedua, reformasi perpajakan dalam
rangka meningkatkan penerimaan juga bisa diakselerasi dengan adopsi
teknologi. Ketiga, transformasi struktural bisa diarahkan untuk memacu
perkembangan industri berbasis teknologi (digital). Dari sekitar 17.000 usaha
rintisan yang ada di Indonesia, ada empat yang bernilai di atas 1 miliar dollar
AS atau disebut sebagai unicorn, yaitu Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, dan
Bukalapak. Keberadaan mereka harus ditopang ekosistem yang baik agar bisa
memberi nilai tambah bagi perekonomian kita.
Dalam pidatonya, Lagarde menyentuh
tiga aspek pokok, yaitu mengelola ketidakpastian, mendorong inklusi dalam
perekonomian, dan mempersiapkan diri menghadapi revolusi digital. Kemajuan
teknologi akan diikuti ketidakpastian yang makin tinggi. Cara terbaik
menghadapinya adalah menggunakan teknologi itu sendiri untuk memperkuat
keberlanjutan ekonomi, melalui pendekatan inklusif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar