Mengonsumsi
Gosip di Media Sosial
Abdul Hair ; Peneliti di Lingkar Studi Media dan Kebudayaan (Lisan)
|
DETIKNEWS,
09 Maret
2018
Bagi
yang aktif di media sosial, terutama Instagram, pasti sudah tidak asing lagi
dengan akun gosip seperti @lambeturah dan @lambenyinyir. Sampai dengan
tulisan ini dibuat, @lambeturah sudah diikuti 4,5 juta pengguna. Sedangkan
@lambenyinyir sudah diikuti 1,5 juta pengguna. Artinya peminat gosip di
Indonesia, apapun medianya, tetap besar.
Alih-alih
melihat gosip sebagai informasi yang tidak bermutu, saya ingin mendiskusikan
hal lain mengenai gosip. Pertama, mengenai perbedaan cara masyarakat dalam
mengonsumsi gosip di media arus utama dan media sosial. Kedua, mengenai gosip
sebagai arena pertarungan wacana tentang perempuan. Untuk mendiskusikan kedua
hal ini, saya akan menggunakan gosip pelakor (perebut laki-laki orang) yang
sedang hangat akhir-akhir ini sebagai titik berangkatnya.
Pertama,
pengguna internet tidak tepat lagi dilihat sebagai konsumen gosip semata.
Sebab setiap aktivitas pengguna internet adalah aktivitas konsumsi dan
produksi sekaligus. Berbeda dengan media arus utama yang mendapatkan
informasi gosip dari wartawannya, di media sosial gosip justru berasal dari
pengguna itu sendiri. Produksi dan konsumsi gosip di media sosial bersifat
pengguna-ke-pengguna (many-to-many): diproduksi oleh banyak orang dan
dikonsumsi untuk banyak orang pula.
Karena
cara produksinya yang berubah, pihak yang digosipkan pun ikut berubah. Jika
dulu yang digosipkan selalu dari kalangan selebritis, kini masyarakat biasa
pun bisa menjadi bahan gosip. Bahkan dalam beberapa kasus, seperti gosip
pelakor, informasi itu langsung diberikan oleh pihak yang berseteru melalui
rekaman video di ponsel pribadinya. Biasanya gosip menyangkut masalah pribadi
sangat dihindari untuk diumbar di depan publik. Dengan kehadiran media
sosial, hal yang sebaliknya justru terjadi.
Bukannya
semakin berhati-hati dalam membagikan informasi pribadi (mengingat sifat
informasi di media sosial yang sangat cair dan mudah menyebar), informasi
justru datang langsung dari pihak yang digosipkan itu tanpa perlu diminta
terlebih dahulu oleh wartawan atau masyarakat. Wartawan media arus utama
semakin kecil peranannya sebagai sumber informasi. Karena di media sosial,
orang yang sedang digosipkan juga bisa merangkap sebagai "wartawan"
untuk gosip yang menyangkut dirinya sendiri.
Kedua,
tidak hanya terlibat dalam aktivitas konsumsi (sekaligus produksi) gosip,
lebih dari itu, gosip telah menjadi arena kontestasi pandangan politik
masyarakat. Terutama pandangan politik menyangkut perempuan dan ide
kesetaraan gender. Sebelum mendiskusikan hal ini lebih jauh, terlebih dulu
akan saya bahas mengenai acara gosip di televisi (infotainment) dalam
menyebarkan informasi yang mendukung gerakan perempuan.
Acara
gosip, yang mayoritas ditonton oleh perempuan, sering dituduh tidak berpihak
pada perempuan. Sebab acara ini bukannya semakin meningkatkan kapasitas
intelektual dan peran perempuan dalam masyarakat, tetapi justru membujuk
perempuan untuk tetap di rumah dan duduk berjam-jam di depan televisi.
Artinya acara ini tidak membawa perempuan untuk menjadi lebih kritis terhadap
nasib kaum mereka sendiri.
Di
balik semua itu, ternyata acara gosip justru menjadi sumber pengetahuan bagi
perempuan mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Meskipun acara gosip
sering menampilkan berita kekerasan dalam rumah tangga para selebritis, tapi
dari sini pemirsa televisi menjadi tahu bahwa KDRT bukanlah sesuatu yang
wajar dalam kehidupan rumah tangga. Melainkan tindakan kriminal serius yang
bisa dilaporkan dan dipidanakan.
Artinya,
acara gosip tidak bisa dimaknai sebagai acara yang sepenuhnya buruk bagi
masyarakat, khususnya perempuan. Sebab acara gosip justru bisa digunakan
untuk membantu menyebarkan ide-ide mengenai gerakan perempuan, sarana untuk
menyebarkan informasi-informasi yang berguna bagi perempuan agar aktif
membela kepentingan mereka sendiri, sekecil apapun itu. Hal ini salah satunya
mewujud dalam kampanye anti KDRT seperti yang telah kita diskusikan di atas.
Tidak
berbeda jauh dengan media arus utama, gosip di media sosial juga sering
dituding menjadi sarana untuk mengukuhkan ideologi patriarki. Hal ini bisa
dilihat dari gosip pelakor yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang
netral. Satu-satunya yang patut dipersalahkan adalah perempuan yang telah
"merebut" laki-laki orang tersebut.
Sama
seperti acara gosip di televisi, gosip di media sosial juga tidak bisa dimaknai
sepenuhnya buruk.
Kerangka
pikir Stuart Hall dalam artikel Notes on Deconstructing 'the Popular' (1981)
bisa membantu kita untuk membaca fenomena ini. Bagi Hall, budaya pop tidak
bisa dimaknai sepenuhnya sebagai media yang mengukuhkan wacana dominan dalam
masyarakat, tapi juga arena potensial untuk melawan wacana dominan itu.
Artinya budaya pop lebih tepat dilihat dan dimaknai sebagai arena pertarungan
wacana dan ideologi yang dominan dan tersubordinasi dalam masyarakat.
Gosip,
yang notabene adalah budaya pop, juga bisa dimaknai demikian. Meskipun gosip
pelakor di media sosial semakin mengukuhkan wacana dominan dalam masyarakat
yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang netral, tetapi ada peluang yang
bisa digunakan untuk melawan wacana itu. Peluang ini bisa ditemukan pada
fitur komentar dan berbagi yang khas dari media sosial. Dengan kata lain,
kedua fitur ini dapat dijadikan peluang untuk memperjuangkan ide-ide
feminisme.
Dalam
satu kiriman video pelakor di Instagram misalnya, kita tidak hanya bisa
menjumpai komentar yang menyudutkan perempuan, yang dalam hal ini mewakili
wacana dominan dalam masyarakat. Tetapi juga komentar yang ingin melawan
wacana dominan itu, yang melihat bahwa setiap perselingkuhan selalu
melibatkan dua pihak yang aktif.
Laki-laki
yang berselingkuh bukanlah pihak netral apalagi pasif, tetapi pihak yang
aktif dalam memutuskan dan menjalani hubungan dengan orang lain yang bukan
istrinya. Tanpa ada keaktifan dari kedua belah pihak, mustahil perselingkuhan
bisa terjadi.
Tidak
hanya di kolom komentar, narasi yang sama juga bisa ditemukan ketika video
itu dibagikan ulang. Di sini bisa kita lihat bahwa fitur komentar dan berbagi
ini telah menjadi arena konstestasi terbuka atas wacana mengenai gender dan
seksualitas.
Karena
sumber gosip terbesar saat ini berasal dari media sosial, acara gosip
(infotainment) di media arus utama seringkali menampilkan komentar pengguna
media sosial mengenai gosip yang sedang berlangsung. Artinya, ada peluang
komentar yang melawan wacana dominan ini untuk semakin menyebar, tidak hanya
di media sosial, tapi juga di media arus utama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar