Mengedepankan
Pedagogi Egalitarian
Anggi Afriansyah ; Peneliti Sosiologi Pendidikan LIPI;
Pernah menjadi guru PPKn di SMAI Al
Izhar Pondok Labu
|
KOMPAS,
02 Maret
2018
Laporan Global Education
Monitoring 2016 menyatakan, dunia pendidikan mesti mengonstruksi kreativitas,
pemi- kiran kritis, kerja sama, penguasaan teknologi informa- si dan
komunikasi serta kemampuan literasi digital.
Masih menurut laporan itu,
seorang guru harus memahami isu-isu mengenai HAM, kewarganegaraan global,
pembangunan berkelanjutan, kesetaraan gender, dan pendidikan perdamaian.
Digital Dividens (2016) yang dirilis Bank Dunia juga menyebut beberapa
kemampuan yang perlu disiapkan dunia pendidikan dewasa ini yaitu kemampuan
kognitif, kemampuan sosial dan perilaku (behavioral), serta kemampuan
teknikal. Pertama, kemampuan kognitif yang mencakup kemampuan literasi dan
numerasi, serta kemampuan berpikir tingkat (high order cognitive skills).
Kedua, kemampuan sosial
dan behavioral, mencakup keterampilan sosial emosional, keterbukaan,
ketekunan, emosi yang stabil, kemampuan mengatur diri, keberanian memutuskan
dan keterampilan interpersonal. Terakhir, kemampuan teknikal yang merupakan
keterampilan teknis yang sesuai bidang pekerjaan yang akan digeluti, dan ini
terkait dengan pendidikan vokasi.
Selain hal-hal yang
disampaikan oleh dua laporan itu, yang juga patut menjadi perhatian adalah
pemahaman memadai dari peserta didik terhadap isu-isu lokal yang ada di
sekitar mereka. Jangan sampai anak didik memiliki cara pandang yang memadai
mengenai dunia global tetapi melupakan lokalitas di sekitarnya. Kenal dunia
luar tetapi tak mengenal tetangganya sendiri. Melupakan rumahnya,
meninggalkan warisan budaya bangsanya, dan yang paling berbahaya jika sudah
tak peduli terhadap nasib saudara sebangsanya.
Yang juga perlu menjadi
perhatian bersama adalah masifnya penetrasi internet. Menurut survei Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2017, ada 143,3 juta penduduk
(54,7 persen) pengguna internet di Indonesia. Kemudahan ini membuat anak
didik lebih cepat dapat informasi. Beragam informasi akan mudah didapat,
hilir mudik di gawai masing-masing anak. Menjadi persoalan ketika anak didik
ini tak memiliki kapasitas memadai dalam menyeleksi dan memilah informasi
yang sesuai dengan perkembangan mereka. Atau informasi yang penuh narasi
kebencian kepada pihak yang berbeda yang berusaha memecah belah bangsa.
Mengubah
paradigma
Maka paradigma
pembelajaran di ruang kelas tentu perlu diubah. Proses pembelajaran di kelas
tidak bisa lagi melulu merujuk pada buku pelajaran yang itu-itu saja. Celaka
apabila guru sampai enggan memperbarui pengetahuannya. Lebih celaka jika guru
terus menerus mereproduksi pengetahuan masa lampau di depan anak didiknya dan
mengulang materi lama yang sudah tak lagi relevan lagi di masa kini apalagi
di masa depan. Guru tak bisa memosisikan diri sebagai sentral utama
pembelajaran.
Freire (1972) mengkritik
proses pendidikan yang memosisikan guru sebagai subyek yang selalu bercerita
dan peserta didik sebagai obyek yang harus selalu patuh mendengarkan. Apalagi
jika guru membicarakan realitas yang seolah-olah statis, terpisah satu sama
lain, dan dapat diramalkan. Peserta didik diposisikan layaknya bejana kosong
yang mesti diisi sebanyak-banyaknya pengetahuan. Mereka harus pasrah menerima
dan mencatat apa yang dianggap kebenaran oleh sang guru. Tak ada ruang
interaksi dan juga dialog.
Sandeep Purao (2014) dalam
Towards and Egalitarian Pedagogy for the Millenial Generation: A Reflection
menyebut perlunya pedagogi egalitarian (an egalitarian pedagogy) dalam proses
pendidikan dewasa ini. Berbeda dengan pedagogi tradisional yang memberi ruang
besar bagi guru secara dominan untuk mengatur setiap proses pembelajaran,
pedagogi egalitarian mengedepankan pembelajaran yang lebih partisipatif,
terbuka, dan reflektif.
Pengarusutamaan pendidikan
yang mengedepankan pedagogi egalitarian inilah yang mesti dilakukan setiap
insan yang aktif di dunia pendidikan. Dalam konteks tersebut, aktor utama
yang paling menentukan keberhasilan pedagogi egalitarian adalah guru. Di era
kiwari, peran guru tetaplah krusial. Mereka adalah pion terdepan yang
berhadapan secara langsung dengan kids zaman now dengan ragam
karakteristiknya.
Untuk konteks pedagogi
egalitarian yang harus diutamakan adalah dialog antara peserta didik dengan
guru ataupun rekannya di kelas. Tak ada rasa canggung bagi peserta didik
untuk menyatakan argumentasinya. Kondisi ini hadir ketika guru sebagai orang
dewasa memosisikan anak didik sebagai kawan diskusi yang asyik. Atmosfer
pembelajaran di kelas dibuat semenyenangkan mungkin, sehingga pembelajaran
penuh dialog akan terjadi.
Praktik pedagogi
egalitarian akan berdampak positif terhadap iklim demokratisasi di Indonesia,
karena sejak awal anak didik terlibat secara aktif di arena pendidikan yang
memosisikan mereka secara setara. Di situ mereka akan belajar arti
sesungguhnya saling menghormati, toleransi atas perbedaan, dan juga kemampuan
mendengarkan pendapat dari pihak yang berbeda pandangan. Mereka juga
dihadapkan pada permasalahan keseharian yang butuh penyelesaian yang kreatif
dan penuh solusi jitu. Bukan hanya sekadar gaduh berteriak. Ini akan jadi
pembelajaran berharga bagi anak didik.
Di level implementatif, misalnya,
semangat pedagogi egalitarian nampak betul dalam praktik-praktik pendidikan
yang dilakukan almarhum Romo Mangun. Ia menyebut pendidikan akan mengantar
dan menolong peserta didik mengenali potensi diri agar menjadi manusia
mandiri, dewasa, dan utuh. Manusia yang merdeka sekaligus peduli dan solider
dengan sesama manusia lain. Upaya ini dilakukan sebagai ikhtiar untuk meraih
kemanusiaan yang sejati (Y Sari Jatmiko, 2008).
Dalam konteks tersebut,
peserta didik diberi ruang besar untuk mengembangkan dirinya menjadi manusia
seutuhnya. Melalui praktik-praktik langsung di ruang-ruang kelas mereka tak
akan canggung ketika berhadapan dengan masalah di dunia nyata ketika mereka
lulus nanti. Mengapa harus guru yang menjadi pion terdepan? Sebab,
bagaimanapun dalam konteks masyarakat Indonesia mereka adalah teladan yang
menjadi rujukan bagi anak-anak didiknya maupun masyarakat di sekitarnya.
Dalam perspektif Ki Hadjar
Dewantara, sang mahaguru pendidikan di republik ini, guru harus menjadi
pamong yang menuntun proses pengembangan potensi anak didik. Peserta didik
merupakan subyek yang harus memiliki ruang seluasnya untuk melakukan
eksplorasi secara kreatif, mandiri dan bertanggung jawab (St Sularto, 2016).
Momong, among, ngemong adalah sistem yang masih sangat relevan dengan kondisi
kekinian dan sesuai semangat pedagogi egalitarian.
Kita tentu berharap
pedagogi egalitarian ini dapat diterapkan di ruang-ruang pendidikan di
Indonesia. Kerja panjang yang hanya mampu dilakukan oleh para guru yang punya
semangat teguh mencipta anak bangsa yang akan mengubah Indonesia menjadi
lebih baik di masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar