Memahami
Gempa “Megathrust”
Daryono ; Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini
Tsunami, BMKG
|
KOMPAS,
19 Maret
2018
Lebih sepekan terakhir, istilah
gempa megathrust menjadi sangat populer di tengah-tengah masyarakat. Tentunya
hal ini tidak lepas dari peran berbagai media yang memberitakan adanya
potensi gempa megathrust dengan magnitudo 8,7 yang dapat berdampak terhadap
Jakarta.
Informasi potensi gempa megathrust
mengemuka dan menjadi viral dimulai usai diselenggarakan acara Sarasehan
Ikatan Alumni Meteorologi dan Geofisika yang bertempat di Kantor BMKG Pusat,
Jakarta, pada 28 Februari 2018, dengan tema “Gempabumi Megathrust Magnitudo
8.7, Siapkah Jakarta?”
Tema sarasehan di atas tentu saja
berdasarkan hasil kajian ilmiah. Rahma Hanifa (2014) dalam disertasi
doktornya di Nagoya University, Jepang, yang berjudul “Interplate Earthquake
Potential off Western Java, Indonesia, Based on GPS Data” menyebutkan zona
megathrust selatan Jawa Barat dan Banten berpotensi memicu gempa dengan
magnitudo 8,7. Sementara hasil kajian Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen,
2017) dalam buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017 juga
mengungkap bahwa zona megathrust selatan Jawa Barat dan Banten memiliki
potensi gempa dengan magnitudo maksimum 8,8.
Pentingnya
mitigasi
Pesan utama panitia sarasehan
sebenarnya ingin menyoroti pentingnya upaya mitigasi gempa bumi. Dengan
adanya potensi gempa kuat, diharapkan pemerintah lebih memerhatikan peta
rawan bencana sebelum merencanakan penataan ruang dan wilayah.
Dalam konteks ini perlu ada upaya
serius dari berbagai pihak untuk mendukung dan memperkuat penerapan building
code dalam membangun infrastruktur. Masyarakat juga diharapkan terus
meningkatkan kemampuannya dalam memahami cara penyelamatan saat terjadi
gempa.
Dalam perkembangannya, informasi
gempa megathrust magnitudo 8,7 malah memicu salah pengertian. Masyarakat
ternyata justru lebih tertarik untuk membahas potensi kekuatan gempa yang
mencapai magnitudo 8,7 daripada pesan mitigasinya.
Potensi gempa magnitudo 8,7
akhirnya terus bergulir menjadi berita meresahkan. Berita bohong (hoax) pun
berkembang, seolah dalam waktu dekat di Jakarta akan terjadi gempa dahsyat
dengan magnitudo 8,7.
Ramainya perbincangan mengenai
gempa megathrust membuat para ahli kebumian bertanya-tanya. Apakah masyarakat
sudah benar dalam memaknai arti gempa megathrust? Ternyata masih banyak yang
belum tepat dalam memahaminya. Gempa megathrust seolah seperti sesuatu yang
baru, yang akan terjadi di sekitar Jakarta dalam waktu dekat, berkekuatan
sangat besar, dan akan menimbulkan kerusakan dahsyat. Pemahaman seperti ini
tentu saja kurang tepat.
Sekadar
istilah
Zona megathrust sebenarnya sekadar
istilah untuk menyebutkan sumber gempa di zona subduksi lempeng. Dalam hal
ini, lempeng samudra yang menunjam ke bawah lempeng benua dapat menimbulkan
terjadinya gempa bumi. Jika terjadi gempa, maka bagian lempeng benua yang
berada di atas lempeng samudra akan bergerak naik (thrusting).
Jalur subduksi ini umumnya sangat
panjang, dengan kedalaman yang mencakup seluruh bidang kontak antar-lempeng.
Dalam perkembangannya, zona subduksi diasumsikan sebagai sebuah “patahan naik
yang besar”, yang kini populer disebut sebagai zona megathrust.
Zona megathrust sebenarnya bukan
hal baru. Di Indonesia, zona sumber gempa ini sudah ada sejak jutaan tahun
lalu saat terbentuknya rangkaian busur kepulauan. Zona megathrust terdapat di
beberapa zona subduksi aktif, seperti: (1) zona subduksi Sunda yang mencakup
barat Sumatera, selatan Pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumba, dan Flores, (2) zona
subduksi Banda dan Seram, (3) zona subduksi Lempeng Laut Maluku, (4) zona
subduksi Utara Sulawesi, dan (5) zona subduksi utara Papua. Hingga saat ini
baru 16 zona megathrust yang dapat dikenali potensinya. Seluruh wilayah ini
merupakan daerah seismik aktif dan berpotensi terjadi gempa kuat.
Seluruh aktivitas gempa yang
bersumber di zona megathrust dapat disebut sebagai gempa megathrust. Gempa
megathrust tidak selalu berkekuatan besar. Sebagai sumber gempa, zona
megathrust dapat membangkitkan gempa dalam berbagai variasi magnitudo dan
kedalaman. Data menunjukkan, justru “gempa kecil” yang tidak berpotensi
merusak lebih sering terjadi. Namun demikian, zona megathrust juga berpotensi
membangkitkan gempa kuat.
Bangun
literasi mitigasi
Meskipun kajian ilmiah mampu
menentukan potensi magnitudo maksimum gempa megathrust, akan tetapi hingga
saat ini teknologi belum mampu memprediksi dengan tepat dan akurat kapan dan
di mana gempa akan terjadi. Maka, dalam ketidakpastian ini, yang perlu
dilakukan adalah upaya mitigasi dengan menyiapkan langkah-langkah konkret
untuk meminimalkan risiko kerugian sosial ekonomi dan korban jiwa seandainya
gempa dimaksud benar-benar terjadi.
Adanya salah pengertian di
masyarakat terkait gempa megathrust merupakan bukti bahwa masih ada
kesenjangan dalam komunikasi sains (science communication). Para ahli
kebumian kita tampaknya masih memiliki setumpuk pekerjaan rumah dalam
membangun literasi mitigasi bencana di masyarakat. Antara sains sebagai
teknologi dan sains sebagai kebijakan agar dapat memberikan manfaat luas bagi
masyarakat, tampak masih ada kesenjangan pada komunikasi sains.
Seyogyanya para pakar memiliki
lebih banyak kesempatan berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat. Ini
penting agar seluruh lapisan masyarakat menjadi tercerahkan dan tidak terjadi
kesalahpahaman setiap ada informasi potensi bencana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar