JK
Kembali Menjadi Wapres Jokowi?
Denny Indrayana ; Guru Besar Hukum Tata Negara UGM;
Melbourne Law School dan Faculty of
Arts, University of Melbourne, Australia
|
KOMPAS.COM,
26 Februari
2018
HALAMAN dua harian Kompas
edisi Senin (26/2/2018) menurunkan berita berjudul “PDI-P Kaji Kembali Jusuf
Kalla”.
Inti berita itu adalah
PDI-P dalam Rakernasnya di Denpasar, Bali, mendiskusikan kemungkinan
memasangkan kembali Joko Widodo (Jokowi) dengan Jusuf Kalla (JK) sebagai
pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada
Pemilu Presiden (Pilpres) 2019. Aturan UUD 1945 dianggap masih multitafsir
dan membuka ruang interpretasi bagi Jusuf Kalla untuk kembali menjabat
sebagai wakil presiden (wapres).
Apakah benar demikian?
Bagaimana seharusnya soal masa jabatan presiden dan wakil presiden di dalam
konstitusi kita dibaca dan diartikan?
Soal kemungkinan Jusuf
Kalla kembali menjadi wapres sudah saya dengar beberapa waktu lalu. Seorang
rekan di lingkaran Lembaga Kepresidenan menghubungi dan menanyakan pendapat
saya terkait aturan masa jabatan kepresidenan, yang mencakup presiden dan
wakil presiden.
Saya tegas menjawab, Pak
JK tidak bisa lagi menjadi wakil presiden. UUD 1945 jelas membatasi masa
jabatan presiden dan wakilnya untuk hanya maksimal dua kali masa jabatan.
Tentu saja pendapat saya
bukan karena figur Pak JK, yang meskipun sudah senior masih sehat serta tentu
sangat layak untuk berkompetisi dan menjadi wapres kembali.
Ini semata-mata soal
ketaatan kita pada aturan dasar bernegara, aturan kita berkonstitusi.
Penghormatan terhadap UUD 1945 tidak boleh kita tawar, apalagi terkait masa
jabatan presiden dan wakil presiden.
Meskipun tidak hadir dalam
Rakernas PDI-P, saya memahami mengapa nama Pak JK muncul sebagai opsi
cawapres bagi Jokowi. Pak JK adalah pasangan yang ideal dari banyak sisi.
Beliau terbukti mampu
membantu mengangkat elektabilitas Jokowi, utamanya karena pengalamannya
sebagai pemimpin yang sudah sangat teruji, representasi luar jawa, dan
mewakili aspirasi Islam yang moderat.
Sekali lagi, saya memahami
mengapa aspirasi demikian muncul di PDI-P dan memandang persoalan ini bukan
dari sosok pribadi Pak JK. Persoalan mendasar yang menyebabkan Pak JK tidak
dapat lagi menjadi cawapres adalah karena batasan maksimal dua periode
jabatan wapres di dalam konstitusi kita.
Pasal 7 UUD 1945 mengatur,
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu
kali masa jabatan”.
Seharusnya, kalimat itu
dibaca mengatur, satu, masa jabatan presiden adalah lima tahun; dan dua,
hanya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali
masa jabatan alias maksimal dua periode jabatan.
Pandangan yang mengatakan
bahwa Pak JK dapat kembali menjadi wapres berargumen bahwa dua kali periode
jabatan wapres beliau tidak terjadi berurutan, yaitu pada 2004–2009 dan
2014–2019. Terlebih lagi, periode jabatan itu terjadi dengan pasangan
presiden yang berbeda yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.
Berpegang pada alasan
tidak berurutan dan dengan pasangan presiden yang berbeda demikian, muncullah
interpretasi hukum bahwa Pak JK masih dapat menjadi wapres kembali.
Atas pendapat tersebut,
saya berbeda pandangan. Tidak ada ketentuan dalam Pasal 7 UUD 1945 itu yang
mengatur bahwa maksimal dua periode itu hanya berlaku untuk masa jabatan yang
berurutan ataupun hanya jika dengan pasangan presiden yang sama.
Jika demikian pembatasannya,
maka rumusannya harus secara tegas mengatur pembolehannya. Yang terjadi
justru adalah sebaliknya, sebagaimana akan saya jelaskan di bawah ini.
Melanggar Konstitusi
Yang jelas diatur
konstitusi kita adalah presiden dan wakil presiden hanya dapat dipilih
kembali untuk satu kali masa jabatan. Titik.
Memilih kembali Pak JK
sebagai wapres akan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya frasa selanjutnya
bahwa wapres “dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu
kali masa jabatan”.
Jika Pak JK diizinkan
kembali menjadi wapres, itu artinya seseorang bisa menjadi wapres lagi hingga
lebih dari satu kali masa jabatan, yang tentu saja bertentangan langsung
dengan maksud rumusan Pasal 7 UUD 1945.
Memang, berbeda dengan
undang-undang ataupun UUD 1945 sebelum diubah empat kali, konstitusi kita
tidak lagi mempunyai penjelasan resmi. Namun, maksud pembuat Pasal 7 UUD 1945
dapat dilacak dari risalah sidang Perubahan Pertama UUD 1945.
Bahkan, khusus masalah
masa jabatan presiden dan wakil presiden dapat pula dilacak lebih awal pada
saat perumusan Ketetapan MPR Nomor XIII Tahun 1998 tentang Pembatasan Masa
Jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Maknanya, salah satu
langkah awal reformasi kita adalah mengoreksi soal masa jabatan presiden yang
tidak jelas pada Orde Baru dan akhirnya berujung pada lahirnya masa jabatan
presiden yang tanpa batas dan otoritarianisme.
Semua perdebatan, baik
dalam perumusan Ketetapan MPR soal pembatasan masa jabatan presiden dan wakil
presiden maupun dalam perdebatan perubahan Pasal 7 UUD 1945, menegaskan bahwa
original intent atau maksud pembuatnya adalah masa jabatan presiden dan wakil
presiden adalah maksimal dua kali masa jabatan, tidak lebih.
Karenanya, memberi ruang
bagi presiden dan wakil presiden untuk menjabat lebih dari dua kali tidak
hanya bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945 tetapi juga bertabrakan dengan
prinsip dasar reformasi yang ingin membatasi masa jabatan presiden dan
wakilnya untuk maksimal dua periode saja.
Jika hal demikian kita
biarkan, maka semangat reformasi yang pada 21 Mei 2018 ini berusia dua dekade
akan semakin mati suri.
Melanggar
Undang-Undang
Di atas adalah penjelasan
terkait masa jabatan presiden dan wakilnya di dalam UUD 1945. Lebih jelas
bahwa masa jabatan lembaga kepresidenan tidak boleh lebih dua kali dapat
dibaca dalam undang-undang terkait pemilihan presiden.
Di UU tersebut, semuanya
mensyaratkan calon presiden dan wapres tidak boleh pernah menjabat lebih dari
dua kali. Dalam peraturan pilpres terbaru—Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum—hal tersebut masuk dalam aturan syarat calon presiden dan
wakil presiden.
Huruf n Pasal 169 UU 17
Tahun 2017 mengatur, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil
Presiden adalah: belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden,
selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”.
Ketentuan syarat itu makin
menegaskan bahwa maksimal seseorang bisa menjabat selaku presiden dan wakil
presiden adalah dua kali periode jabatan. Seseorang yang pernah menjabat sebagai
wakil presiden (ataupun presiden) lebih dari dua kali—sebagaimana halnya
Wapres Jusuf Kalla—tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi calon wakil
presiden.
Kalau masih ada saja yang
berargumen bahwa Pak JK masih bisa menjadi calon wapres karena periode
jabatannya tidak berturut-turut, maka argumentasi demikian dipatahkan oleh
penjelasan dari Huruf n Pasal 169 UU 17 Tahun 2017.
Penjelasan tersebut
mengatur, "Yang dimaksud dengan 'belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa
jabatan dalam jabatan yang sama' adalah yang bersangkutan belum pernah
menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik
berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut
kurang dari 5 (lima) tahun”.
Demikianlah penjelasan
singkat terkait wacana mewapreskan kembali Pak Jusuf Kalla. Dengan segala
hormat saya kepada Pak JK dan PDI-P yang mempunyai aspirasi demikian, saya
berpandangan rencana itu tidak memungkinkan diwujudkan karena bertentangan
dengan UUD 1945 dan lebih jelas lagi menabrak syarat wakil presiden dalam
undang-undang terkait pemilihan presiden.
Karena aturan
pembatasannya sudah jelas dalam UUD 1945 dan UU Pemilu maka rencana
mengajukan isu hukum ini ke Mahkamah Konstitusi sudah tidak lagi relevan
dilakukan.
Jadi siapa calon Wakil Presiden
yang akan mendampingi Pak Jokowi? Siapa pula yang akan menjadi pesaingnya
dalam Pilpres 2019? Dinamika politiknya pasti akan menarik hingga detik-detik
terakhir pendaftaran capres dan cawapres pada Agustus tahun ini.
Yang pasti, mari kita
pastikan semua proses itu sejalan alias tidak bertentangan dengan konstitusi
kita bernegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar