Ekstremisme
Sejarah dalam Dua Monumen Soeharto
Iqbal Aji Daryono ; Esais; Tinggal di Bantul
|
DETIKNEWS,
06 Maret
2018
Maret
telah tiba. Ini "bulan suci Soeharto". Pada Maret ini ada dua di
antara sekian pasak legitimasi historis kekuasaan panjang Soeharto, yakni
tanggal 1 dan tanggal 11. Maka, demi merayakan Maret yang indah, Senin
kemarin saya meluncur ke kampung Kemusuk.
Saya
tiba setelah 30 menit perjalanan. Memorial Jenderal Besar HM Soeharto, begitu
bunyi tulisan di papan penanda. Patung besar sosok Soeharto berseragam dinas
tentara menyambut saya dengan anggunnya. Ia menjadi pengganti gupala yang
menjaga satu kompleks megah berasitektur Jawa dengan dominasi warna putih-biru.
Di sebelah kiri berdiri musala mewah berkubah sewarna emas, berdekatan dengan
dinding besar yang menampilkan relief sosok Sang Hero berkopiah dan berkain
sarung, lengkap dengan slogan-slogan Jawa tentang kesederhanaan, kesalehan,
dan kebijaksanaan.
Di pendopo,
saya menjumpai sepasukan bapak-ibu lanjut usia dari Srumbung, Magelang yang
duduk lesehan dengan khusyuknya. Usai menyimak video di layar televisi,
mereka manggut-manggut takzim ketika seorang pemandu menyampaikan puja-puji
kepada Soeharto.
Segala
ketakziman itu kian paripurna ketika kami masuk bersama ke gedung diorama.
Ini museum yang kelengkapan fasilitasnya jauh lebih baik daripada
museum-museum di Indonesia pada umumnya. Bikinan Probosutedjo, gitu loh!
Meski artefak-artefak sejarah tidak tampak terpajang, segala tampilan audio
visual yang dilengkapi narasi-narasi panjang membuat pengunjung benar-benar
mendapatkan sesuatu.
Tentu,
"sesuatu" tersebut sesuai dengan misi museum itu: glorifikasi atas
sosok Soeharto. Maka bab-bab sejarah yang tampil di sana adalah ruas-ruas
perjalanan yang dulu kala selalu dikibarkan oleh rezim Orde Baru. Mulai
Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949, peran Soeharto dalam Operasi Trikora 1962,
Peristiwa G30S 1965 yang dilengkapi gambaran tentang betapa kejamnya PKI
(tentu bagian ini sangat menonjol), Supersemar 1966, pelantikan sebagai
Presiden ke-2 RI, lalu dipungkasi dengan capaian-capaian pemerintahan
Soeharto seperti penghargaan dari FAO atas swasembada pangan, keberhasilan
program KB, dan sebagainya.
Dahsyat
sekali. Setiap jengkal gambaran atas sosok Sang Jenderal Besar di area seluas
hampir 4000 meter persegi itu adalah gambaran kesempurnaan. Seorang patriot,
pembela kebenaran, penegak ideologi bangsa, lelaki yang sederhana, seorang
ayah sejati bagi segenap rakyat Indonesia.
"Kepadamu,
bapak kami Soeharto... terima kasih dari rakyat semua..." Saat saya
berada di dalam gedung diorama, sayup-sayup Titiek Puspa berdendang dari
pelantang suara di pendopo.
***
Usai merayakan
kejayaan seorang pahlawan tanpa cela, saya meluncur ke arah selatan,
lagi-lagi 30 menit perjalanan. Kampung Bibis, Kelurahan Bangunjiwo, Bantul.
Tak banyak orang yang tahu tempat ini. Saya sih tahu, karena waktu SD
kadangkala suka bersepeda ke sana, dan yang pasti karena semua anak di zaman
saya menonton film Janur Kuning karya Alam Surawidjaja.
Bibis
adalah sebuah dusun yang menjadi markas gerilyawan Republik. Tempat ini
terpencil, tersembunyi, namun strategis dan konon selalu gagal diendus oleh
hidung tentara Belanda. Lebih dari seabad sebelumnya, di balik bukit belakang
Bibis juga bermarkas salah satu musuh besar Belanda yang paling ditakuti di
sepanjang sejarah kolonial: Pangeran Diponegoro.
Pada
awal tahun 1949, segala persiapan Serangan Umum terpusat di Bibis. Tempat itu
merupakan markas Brigade X Daerah Wehrkreis III di bawah pimpinan Letkol
Soeharto. Boleh dibilang, Bibis adalah jantung yang memompa darah ke segenap
sistem pembuluh darah perlawanan rakyat ketika tentara dan segenap gerilyawan
di semua sektor perlawanan tumplek bleg untuk menghantam kekuatan Belanda di
Yogyakarta.
Dengan
posisi Bibis sepenting itu, saya terpukau menyaksikan kondisinya saat ini.
Monumen Bibis, saya ingat di masa kecil saya, cukup asri. Bangunan pendopo
utama terawat baik, dengan diorama yang menggambarkan aktivitas para
gerilyawan pada Serangan Umum. Di sebelahnya ada beberapa relief pertempuran,
juga ruang untuk memajang benda-benda peninggalan.
Sekarang,
yang ada tinggal bangunan sunyi yang kotor berdebu, dan sangat cocok untuk
lokasi reality show uji nyali ataupun berburu hantu. Kotak kaca berisi
diorama di pendopo sudah diselubungi kain karena tak lagi layak tonton,
bangunan samping retak-retak, beberapa barang peninggalan Letkol Soeharto
semisal helm baja teronggok di meja begitu saja, seolah tak tersentuh tangan
manusia selama dua dasawarsa.
"Sejak
Pak Harto turun, dana perawatan berhenti total, Mas. Paling dari Pemda kami
dapat dana kalau ada saluran listrik yang rusak. Itu pun prosesnya ribet
sekali. Padahal kalau dulu ya dana perawatan selalu tersedia," kata Pak
Santo, yang muncul saat saya sedang celingukan di gedung samping pendopo.
Santo
adalah anak Harjo Wiyadi, kepala dusun atau Dukuh Bibis pada masa Letkol
Soeharto dan sekitar 500 anak buahnya bermarkas di situ. Tanah dan bangunan
markas pejuang tersebut mulanya memang milik keluarga Harjo Wiyadi, namun
kemudian diwakafkan sebagai monumen.
Selain
tentang terlantarnya Monumen Bibis, dari Pak Santo juga saya mendengar bahwa
tempat itu sempat akan diserang dan dibakar oleh sekawanan orang, entah
siapa, pada Mei 1998. Untunglah warga setempat segera membuat barikade di
jalan, untuk menghadang kawanan itu.
Tak
cuma tentang rencana penyerangan. "Sejak itu, banyak barang peninggalan
Pak Harto lenyap, Mas. Konon dibakar dan dimusnahkan entah oleh siapa.
Termasuk beberapa koleksi di Monumen Yogya Kembali," sambungnya dengan
wajah perih.
***
Bagaimana
semestinya kita memandang sejarah? Apakah sejarah harus menjalankan fungsi
pragmatis, sebagaimana dijalankan Muhammad Yamin di masa lalu? Yamin meracik
sejarah demi nasionalisme. Maka proyek sejarah Indonesia versi Yamin adalah
alat untuk satu tujuan tertentu.
Ketika
air bah kritik sejarah mulai membanjir, kita berani menggoyang Muhammad
Yamin. Kita berani meragukan Nugroho Notosusanto. Kita berani menyampaikan
versi lain dari Perang Padri, dengan menunjukkan bahwa perang tersebut semata
serangan brutal kelompok Islam modernis kepada lokalitas. Kita berani
memunculkan sudut pandang baru bahwa kejayaan Sultan Hasanuddin adalah kabar
mengerikan bagi rakyat Bone. Dan lebih kencang lagi, kita berani mengangkat
tinggi-tinggi fakta bahwa PKI bukan pelaku tunggal dalam Tragedi 1965.
Kita
tiba pada sebuah masa tatkala sejarah tak dapat sepenuhnya lagi ditempatkan
sebagai instrumen untuk mencapai tendensi-tendensi. Fakta-fakta keras yang
terbentang di halaman-halaman sejarah kini kita sajikan sebagai murni fakta,
yang lambat laun melepaskan historiografi dari mitos dan sakralisasi. Kita
pelan-pelan bergerak meninggalkan Yamin, menjauh dari Nugroho, dan melepaskan
diri dari sikap-sikap ekstrem dalam memandang sejarah.
Malangnya,
kepada Soeharto kita tak kunjung bisa menjalankan laku yang sama. Kenapa?
Kedua monumen yang saya kunjungi itu nongol di depan mata saya sebagai
kutub-kutub ekstrem dari cara memandang sejarah yang penuh tendensi. Kemusuk
adalah pemujaan berlebihan, Bibis dalam nasibnya sekarang adalah pencampakan
habis-habisan.
Soal
Kemusuk, tiada guna kita berdebat. Toh yang membangun memang adik Soeharto.
Itu proyek keluarga. Tak mungkin mereka mengungkit kegagalan pemerataan
kesejahteraan atas nama pertumbuhan pembangunan, apalagi tentang darah yang
tertumpah dan berceceran selama kekuasaan Orba.
Namun
soal Bibis, ini mengganggu pikiran saya. Begini. Soeharto memang mencapai
puncak kariernya sebagai seorang diktator. Tapi Soeharto yang diktator adalah
Soeharto pada masa ketika ia memang menjalankan peran sebagai diktator,
bukan? Apakah dengan realitas despotisme Soeharto sejak dia memegang kuasa,
otomatis segala hal pada jejak sepatunya adalah kelaliman?
Kisah
Bibis dan SU 1 Maret terjadi jauh sebelum Soeharto tumbuh menjadi despot,
bahkan jauh sebelum dia mulai memegang tongkat kuasa. Lantas landasan nalar
apa yang dipakai ketika kebencian kepada despotisme Soeharto dilampiaskan
juga ke SU 1 Maret, fase sejarah ketika ia sungguh punya peran tak
terbantahkan?
Kita
selalu khawatir dengan ekstremisme dalam perilaku beragama. Namun entah
kenapa, ekstremisme dalam memandang sejarah tidak cukup melahirkan
kegelisahan di benak kita. Apakah Anda yakin bahwa sikap hitam-putih dalam
menyikapi sejarah tidak akan meluas kepada jenis-jenis sikap ekstrem yang
lain?
"Ah,
mentang-mentang setahun lagi Pemilu. Partai-partai Cendana sudah bermunculan,
pula. Pantesan orang ini mulai caper bela-bela Soeharto. Cari proyek baru ya,
Bal?"
Hahaha.
Tuh, kan! Cara pandang "mutlak-mutlakan" begitu langsung tampak di
dinding Facebook saya saat pertama kali saya unggah tulisan tentang Bibis.
Begitulah produk lingkungan berwacana kita yang serba ekstrem. Memberikan
respek objektif atas satu fase historis ketika Soeharto belum jadi diktator
dianggap sama dengan membela Soeharto. Ini sih cuma deja vu saja. Sebab
mengkritik perilaku umat Islam dianggap sebangun dengan anti-Islam, dan
menolak isu kebangkitan PKI dibilang mendukung PKI.
Persis,
kan?
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar